Hujan di Bulan September

1086 Words
Kabut tebal berkumpul dalam satu nabastala, gemuruh guntur seakan menggetarkan atma. Burung berbondong-bondong meninggalkan persinggahan, membawa serta jerami dan makanan untuk dibawa ke sarang tempat berpulang. Tak lama, gemercik hujan mulai terdengar telinga, membuat beberapa pengendara resah dan memilih mempercepat laju kendaraannya. Pun dengan dua sosok yang berdiri di depan kaca jendela. Annelis menatap luar dengan harap-harap cemas. Kedua tangannya saling memeluk tubuh berharap bisa menyalurkan kehangatan. Sementara di sampingnya Aarav tampak lempeng, melirik ke luar dengan datar dan kembali memainkan ponselnya dengan tenang. Gadis itu menghela napas. Ada banyak sekali pekerjaan yang menanti untuk dijamah, tetapi semesta tidak memungkinkan untuk dia kembali ke kantornya. Luisa Resto memang mempunyai loteng luas dilindungi jendela kaca pada sekeliling ruangan. Di sini orang-orang biasa duduk dan mengamati jalanan dari atas, berswafoto, mengabdikan momen kebersamaan bersama orang-orang terdekat. "Hujan sepertinya akan bertahan cukup lama, kita akan menghabiskan waktu seharian di sini," ucap Aarav membuat Annelis melirik sinis. Ini semua salah pria itu, jika saja Aarav tidak mengajaknya untuk makan siang di restoran ini, mungkin mereka tidak akan terjebak di tengah-tengah hujan begini. Ditambah, masih banyak sekali pekerjaan yang membayang-bayangi pikirannya, ah ... rasanya Annelis tidak akan bisa hidup dengan tenang mulai sekarang. "Sepertinya begitu." Annelis melangkah mundur, berjalan menuju tempat duduknya kembali. Dia mengembuskan napas, menghirup aroma hujan yang menguar melalui celah ventilasi yang terbuka. Rasanya menyejukkan, sungguh. Aarav menyusul Annelis dan duduk kembali di tempat mereka semula. Pria itu menopang dagu, memperhatikan gadis manis yang tampak sedang bosan itu. "Apa data analyst merupakan pekerjaan yang sebelumnya kamu impikan?" tanya Aarav melirik gadisnya. Annelis menggeleng lemah, meminum kembali minuman yang masih tersisa di gelasnya. "Tidak. Selama ini bukan itu yang saya inginkan." "Lalu?" Aarav mengangkat sebelah alisnya. Meminum bir yang ada di tangannya dengan santai. "Saya selalu ingin membuat komik dan melihatnya terpanjang di perpustakaan terbesar kota ini. Tapi saya pikir hal itu akan sangat mustahil mengingat saya yang juga membutuhkan banyak uang untuk itu," jelasnya menghela napas di akhir kalimat. "Ah ... ingin menjadi seorang komikus ternyata." Aarav mengangguk paham, pria itu kembali meneguk habis bir yang tersisa di gelasnya. "kamu bisa melakukannya setelah jam kerja usai, lagi pula pekerjaanmu tidak terlalu menyita waktu. Kamu bebas menggunakan komputer yang ada di kantor dengan catatan selama itu tidak menganggu kinerjamu," imbuhnya. Annelis melebarkan matanya. Dia menatap atasannya itu dengan tidak percaya. Beginikah rasanya mendapatkan bos yang baik hati? Ah, tidak-tidak. Sepertinya dia harus merevisi ucapannya, Aarav sama sekali tidak baik hati, pria itu hanya baik di saat tertentu saja. Lagi pula, Aarav terlalu pemaksa, Annelis tidak suka itu. Keduanya kembali larut dalam perbincangan. Rupanya, Aarav cukup mengerti tentang dunia seni, pria itu juga sedikit banyak mengetahui istilah-istilah dalam membuat komik. Dan tentu saja hal itu membuat Annelis merasa tertarik dengan obrolan mereka. Gadis itu merasa sedikit nyambung meskipun ada banyak hal yang belum Aarav ketahui tentang komik. "Hujannya sudah reda, masih ada dua jam untuk kembali ke kantor," ucap pria itu melirik arlojinya. Annelis mengangguk, sebelumnya gadis bersurai kecoklatan itu sempat melirik luar dengan senyum tipis. "Kita bisa kembali ke kantor, Pak. Dua jam waktu yang cukup untuk menyelesaikan pekerjaan hari ini, lagi pula suasana setelah hujan akan membuat orang betah berlama-lama duduk di depan komputer," jawab Annelis dibalas anggukan singkat oleh Aarav. Keduanya lalu beranjak menuju mobil yang terparkir di lantai dasar, kemudian melaju meninggalkan kawasan Luisa Resto dengan kecepatan rata-rata. *** Mentari bak ditelan malam, kartika berlindung dalam peluk mega. Layaknya pasar malam, suara berisik dari binatang malam memenuhi pendengaran. Aroma tanah khas guyuran hujan masih setia menguar, meninggalkan hawa dingin yang tak tertahankan. Merasa penat setelah seharian menghabiskan waktu duduk di depan komputer, gadis itu memutar kepalanya—menimbulkan bunyi patahan yang seketika membuat badannya baikan. Dia memegang lehernya, tersenyum mengamati foto dirinya dan sosok pria dari layar ponsel. Itu Ziyan. Entah bagaimana keadaannya hari ini. Jujur saja Annelis masih belum bisa melupakan pria itu dalam waktu dekat. Ziyan begitu melekat di ingatannya; senyumnya, tawa renyah, juga nada bicara yang selalu membuat dadanya berdesir. Annelis mengembuskan napas pelan, memutuskan mematikan ponselnya. Semalamam penuh dia tidak akan bisa tidur jika terus mengingat tentang pria itu. Memang sudah tidak seharusnya Annelis menungkit luka lama, lagi pula dia yakin jika Ziyan sudah bahagia di sana. Melangsungkan acara tunangan bersama sang sahabat, dan hidup menjadi bagian dari keluarga Sera. Tentu saja itu impian dari banyak pria. Mereka tidak perlu bekerja keras untuk menjadi kaya, hanya dengan menikah saja. Sesederhana itu. Gadis itu berjalan menuju balkon kamarnya, hendak menghirup aroma petrikor yang kebanyakan orang bilang bisa menghilangkan stres. Baru saja membuka pintu menuju balkon, Annelis sudah disambut sosok Aarav yang duduk di atas bangku kayu dengan cangkir yang masih dipenuhi kepulan asap. Aroma kopi hitam tercium saat angin dengan bebasnya mengibas ke arah barat. "Selamat malam, Annelis." Pria itu mengulas senyum, membuat wajahnya terlihat semakin tampan saja. Annelis membalas senyuman itu, dia menatap atasannya dengan segan. "Malam, Pak Aarav." "Malam ini bulan hanya terlihat sebagian, sisanya tertutup awan hitam. Saya biasa melihat hal ini dulu ... bersama mama." Aarav mengembuskan napas pelan, menatap langit yang hanya memperlihatkan bulan tanpa bintang. Angin malam yang berembus kencang sesekali membuat wajah tampan itu terpejam, menikmati kibasan pada rambutnya yang sedikit memanjang. Annelis memperhatikan atasannya itu dalam diam. Aarav seperti sedang menikmati de javu, saat-saat pria itu bisa duduk bersama orang terkasihnya. "Anda bisa menikmati lagi nanti ketika hari besar nanti. Anda bisa meluangkan waktu bersama dengan mama Anda di atas balkon rumah," balas Annelis melihat atasannya yang tampak tenang itu. "Mama saya sudah di surga, bersama oma yang selalu mengirimkan jambu air ketika saya masih anak-anak. Ah ... semuanya berjalan begitu cepat, ternyata selama ini saya sudah melewati tahun-tahun tanpa wanita yang saya cintai." Annelis mengembangkan pipinya, lalu membuang udara itu dengan pelan. "Jadi, selama ini Anda hanya tinggal bersama orang tua tunggal?" Gadis itu melirik atasannya. Entahlah, rasanya Annelis ingin tahu latar belakang keluarga Aarav yang tampak baik-baik saja. Sebelumnya, Annelis selalu berpikir jika pria itu hidup dengan segala kenikmatannya yang menjanjikan. Mempunyai posisi, uang yang berlimpah, dan tentu saja disegani banyak kolega. "Saya tinggal bersama Kakek. Papa tidak bisa menemani karena beliau selalu sibuk dengan urusan pekerjaannya. Di usianya yang semakin tua, kaksk akan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, bersama cucunya." "Tapi Anda tinggal di sini," sela Annelis. Aarav tertawa. "Tidak, kamu salah. Saya hanya menginap di sini untuk beberapa hari saja. Tentu saja tidur di rumah akan lebih menyenangkan." Annelis tertawa mendengar jawaban Aarav. Memang benar, biar bagaimana pun tempat ternyaman untuk beristirahat dan melepas penat hanyalah rumah. To Be Continued
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD