Aarav membuka pintu ruangan data analyst, di sana dia bisa melihat Annelis sedang duduk berhadapan dengan laptop, begitu pun dengan beberapa data analyst lain yang tampak tenang. Pria itu menghela napas, mengamati bagaimana gadis kecil itu bisa mengerjapkan mata dengan begitu tenang, seolah tanpa dosa.
Lantas, Aarav berjalan mendekat, berdiri di belakang Annelis yang masih mengamati layar komputer dengan lekat. Dia bisa mendengar deru napas Annelis yang terdengar memburu, jemari lentik itu juga menekan tombol keyboard dengan bergetar.
"Kondisi lapar akan membuat orang-orang berubah menjadi tremor secara mendadak," ujar Aarav membuat gadis itu seketika menoleh. Dia terkejut dengan kehadiran Aarav yang terkesan mendadak itu, belum lagi kalimat yang membuat jantungnya hampir copot.
"Pak Aarav, ada urusan apa anda datang ke mari?" tanya Annelis membalik badannya, menatap pria yang berdiri bersandar pada pilar besar.
"Kenapa bertanya begitu, tidak suka jika saya memperhatikan kinerja karyawan baru yang beberapa saat lalu berlagak sok pintar di depan jajaran direksi, hum?
Annelis mengembuskan napas. Mengapa pria itu masih saja mengungkit masalah pernyataan dalam rapat beberapa jam yang lalu, itu sudah berakhir. Lagi pula dirinya tidak membuat rekan rapatnya mengernyit keheranan, mereka justru menyetujui apa yang dia katakan. Hei, apa yang dia sampaikan tidak seburuk itu.
"Bapak terus saja menyinggung masalah rapat, saya pikir itu sudah berlalu. Lagi pula saya tidak pernah meminta untuk menggantikan posisi orang lain di sana, anda yang memaksanya," balas Annelis merasa kesal. Pekerjaannya sudah cukup membuat pusing, dan Aarav harus datang untuk mengungkit kekalahannya dengan menyalahkan orang lain. Ini menyebalkan.
"Lalu, kamu menyalahkan saya, begitu?" Aarav tertawa. "Belum puas kamu membuat saya malu di depan jajaran direksi, sekarang kamu ingin membuat saya menurut kepadamu, begitu?"
Annelis memejamkan mata sebentar. Berurusan dengan Aarav tidak akan ada habisnya. Pria yang menjadi direktur utama ini sangat sombong dan selalu ingin menang.
"Saya tidak pernah mengatakan untuk anda harus menurut kepada saya, lagi pula itu semua tidak akan mungkin mengingat posisi saya di perusahaan ini. Jadi, tolong Bapak keluar dan biarkan saya menyelesaikan pekerjaan ini sesuai waktu yang ditentukan." Annelis berdiri, mendekatkan wajahnya pada telinga Aarav. "Saya sedang sibuk," lanjutnya kemudian kembali duduk menghadap komputer.
Sontak saja Aarav membelalak. Rasanya pria itu ingin mengacak-acak wajah Annelis yang sudah membuatnya naik darah, tapi biar bagaimana pun dia harus mempertahankan harga dirinya. Dengan perasaan dongkol Aarav meninggalkan ruangan itu, tentu saja dengan tatapan aneh dari karyawan lain.
Sudah cukup, kali ini saja dia berurusan dengan Annelis. Gadis itu rupanya cukup cerdik dan manipulatif. Sebelumnya Aarav selalu berpikir jika Annelis adalah gadis lembut dengan senyum teduhnya, rupanya gadis itu bisa berubah menjadi ular.
***
Hari berlalu dengan begitu cepatnya, suara gemercik tirta yang membumi membelah keheningan malam ini. Kondisi kantor yang sudah sepi membuat beberapa karyawan nekat untuk pulang saat itu juga, mengingat hari semakin larut dan rasa lelah yang kian memeluk tubuh.
Aarav melirik arlojinya, mendecak kasar tatkala melihat parkiran cukup jauh dari lantai dasar. Dia harus berlari di tengah guyuran hujan untuk sampai di ujung sana, sungguh hari yang menjengkelkan. Sesaat, pria itu melirik dua manusia yang berjalan mendekat dengan tawa ringan yang sesekali terdengar olehnya. Aarav melebarkan matanya menyadari siapa yang sedang berjalan mendekat itu.
‘Mereka, bagaimana bisa?’ batinnya menatap tidak suka. Aarav mengembuskan napas kasar, melirik sekali lagi pada dua manusia yang kian mengikis jarak.
“Danish, sedang apa kau bersamanya?” tanyanya dengan nada tidak suka. Aarav memperhatikan Annelis yang sepertinya enggan melihat ke arahnya, mungkin gadis itu masih kesal dengan perdebatan singkat siang lalu.
“Ah, aku hanya ingin mengantarkan Annelis untuk pulang. Dia bekerja hingga larut malam, tidak baik membiarkan seorang gadis pulang larut malam seorang diri,” balasnya tanpa menghilangkan senyum tipis yang terlukis pada bibir merahnya.
Aarav membuang muka, tertawa kecut mendengar jawaban dari asisten pribadinya itu. “Kau bekerja untukku, bukan untuk gadis sok pintar ini. Seharusnya kau mengantarku pulang, bukan sibuk mengurusi karyawan baru yang selalu merasa pintar itu,” sindirnya ketus. “Lagi pula tidak akan ada yang mau menculiknya, penculik bekerja untuk keuntungan, bukan mencari kerepotan.”
Sebelum Danish membuka mulutnya, Annelis sudah menyahut. Gadis itu tidak tahan dengan sindiran Aarav yang membuat telinganya terasa panas. “Pak Aarav yang terhormat, saya tidak pernah merasa lebih pintar dari anda. Kalau pun jajaran direksi lebih setuju dengan pendapat saya, itu seharusnya menjadi patokan untuk anda introspeksi diri. Jika kepala direksi bagian saja merasa tidak puas dengan keputusan yang anda ambil, bagaimana dengan klien yang akan mengajukan kerja sama?”
“Dia benar, anda harus mengobservasi hal yang mungkin saja menjadi penyebab jajaran direksi tidak setuju,” timpal Danish membuat Aarav semakin emosi. Pria itu mengigit bibir bawahnya. Sebenarnya, pria bodoh itu bekerja untuk siapa? Kenapa malah mendukung Annelis yang menyebalkan itu?
Aarav menghela napas. Dia malas berdebat. “Terserah kalian saja, saya sedang malas untuk berdebat!” cetus Aarav berlalu membelah hujan yang semakin deras. Sementara itu Annelis dan Danish hanya saling tatap sebentar, lalu membuang atensinya pada tirta yang tak lelah jatuh membasuh panas bumi.
Angin malam berhembus kencang, sukses mengantarkan hawa dingin yang tak tertahankan. Hujan yang tak kunjung reda membuat gadis berbaju merah itu mengusap lengannya dengan tidak nyaman. Dia merasa kedinginan, apalagi keduanya masih setia berdiri di lantai dasar, mengamati air hujan yang semakin masuk ke dalam. Danish melepas jas kerjanya, membalutkan ke tubuh ringkih Annelis yang tampak memucat. Lalu, pria itu tersenyum, kembali melempar pandangannya pada hujan di depan sana.
“Sepertinya pak Aarav menyukaimu,” ucapnya pelan.
Annelis membuka bibirnya, melihat Danish yang tiba-tiba saja berkata begitu. “Kenapa tiba-tiba saja berkata begitu? Aku bahkan berpikir jika pak Aarav membenciku.”
Pria itu tersenyum, tatapannya sama sekali tidak beralih dari tempatnya semula. Tetap menatap depan dengan kosong. “Dia bukan sosok yang mudah akrab dengan perempuan, dan ketika bersama denganmu, kalian terlihat serasi.” Danish melihat Annelis. “Kalian seperti pasangan yang baru saja meresmikan hubungan, sangat manis ketika bertengkar,” lanjutnya.
Annelis tertawa. “Apa kau sudah tidak waras, bagaimana bisa seseorang terlihat manis ketika bertengkar, ada-ada saja. Lagi pula, pak Aarav bukan seleraku. Dia terlalu sombong dan penuntut," ucap Annelis mengingat setiap kalimat yang terlontar dari bibir Aarav, gadis itu bergidik ngeri.
“Tapi dia juga sangat manis,” sambung Danish membuat Annelis bergeming. Tanpa mereka sadari sebuah mobil hitam milik Aarav masih terparkir di luar pagar kantor, memperhatikan gadis yang beberapa saat lalu membuatnya naik pitam.
Bibir merah alami tanpa sapuan lipstik itu mengulas senyum. Aarav selalu tertarik dengan gaya bicara Annelis yang menggemaskan, diam-diam dia mengamati gadisnya dari kejauhan. Sesekali tersenyum dan mengumpat saat Danish menyisihkan anak rambut gadis incarannya.
“Kau ... memang selalu penuh kejutan.”
To Be Continued