Annelis Clandestine
Gemerisik hujan deras menimbulkan aroma tenang, kilat yang menyambar dari luar jendela seolah tak dihiraukannya. Suara pekak dan mati listrik seakan-akan membuatnya nyaman dalam ketenangan, dia tersenyum.
Jemari lentik itu menyalakan lilin di atas kaca, lalu beranjak duduk sembari meraih kertas berlapis. Manik hitam yang terlihat dalam remang cahaya itu menelik kalimat yang bercetak tebal; Penemuan Mayat Pendiri Perusahaan Besar di Sungai Berakhir Dramatis.
Bibirnya mengulas, namun air mata itu merembes membasahi pipinya. “Mengapa harus secepat ini, hm?”
***
Gadis itu berjalan cepat menyeberangi zebra cross seraya membawa satu kotak bekal makanan. Senyuman terbit dari sudut bibirnya. Hari ini dia akan menemui Ziyan, pria yang dekat dengannya beberapa bulan terakhir.
Memang, keduanya tidak pernah menyatakan mempunyai hubungan khusus, hanya saja kedekatan mereka sudah seperti sepasang kekasih.
Annelis Clandestine, gadis itu tersenyum tatkala studio foto yang dia tuju sudah di depan mata. Malam ini dia membawakan roti bakar untuk Ziyan, pria yang begitu dicintainya. Dia tahu jika Ziyan malam ini masih berada dalam studio, sebab banyak sekali model yang harus pria itu potret.
Kaki jenjangnya melangkah memasuki ruangan, senyum tak pernah pudar meski angin malam sukses membuat rambutnya sedikit berantakan. Jemari lentik itu menarik handel pintu yang dia tahu mengarah ke ruangan sesi foto.
“Ziyan, aku membawakan makanan untukmu—astaga!” Annelis memekik kencang, matanya menatap nanar sosok Ziyan yang sedang memeluk seorang gadis.
Ziyan yang menyadari kehadiran Annelis seketika melepaskan pelukannya, dia menatap dengan air muka terkejut. “Annelis, sejak kapan kamu berada di situ?” tanyanya dengan nada bergetar.
Annelis tidak menjawab, dia justru menatap sosok yang sekarang ini berdiri di belakang tubuh Ziyan. Dia—Serenia William's, sahabatnya dari SMA.
Ziyan meraih lengan Annelis yang tampak kecewa itu, dia menatap dengan memohon. “Ann, dengarkan aku. Ini semua tidak seperti apa yang kamu lihat, aku dan Sera hanya sedang melakukan sesi fotografi,” ucapnya seolah memberi ketenangan.
Annelis tersenyum tipis, dia mengangguk lemah. “Aku tahu, aku datang ke mari hanya ingin membawakan makanan untukmu. Kalau begitu, lanjutkan saja, aku harus pulang.”
“Ann ....” Ziyan masih terus menahan lengan putih itu, dia tidak ingin Annelis berpikir macam-macam.
“Tidak apa-apa, aku memang harus pulang cepat,” ucap gadis itu dengan lirih. “jangan lupa dimakan, dan Sera, semoga harimu menyenangkan,” imbuhnya melepas pegangan tangan Ziyan lalu berjalan keluar.
Sera menatap Ziyan dengan ekspresi bersalah, gadis itu duduk di sofa mungil tempat make up. Melihat sahabatnya seperti itu tadi membuatnya terpukul, dia tidak ingin Annelis terus-menerus merasakan sakit hati.
“Aku tidak yakin semuanya akan baik-baik saja, pelan-pelan dia juga pasti akan tahu,” ujar Sera menunduk dalam.
“Lalu, bagaimana? Haruskah kita membatalkan perjodohan ini? Aku tidak ingin kehilangan Annelis, tapi aku juga tidak ingin melawan Papa.” Ziyan mengatakan itu seraya duduk di kursi yang berada di dekat Sera. Pria dengan setelan kaos putih dilapisi jaket Denim hitam terlihat semakin tampan, apalagi kalung silver berliontin persegi itu, semakin membuat keren penampilannya.
“Aku tahu. Bahkan kamu jauh mencintai Annelis daripada aku, calon tunanganmu.”
Ziyan mengembuskan napas pelan, dia mengusak rambutnya dengan kasar. Tidak seharusnya memang dia mempermainkan Annelis, gadis yang selalu perhatian dengannya. Selama ini, dia juga mencintai Annelis, tapi dengan keadaan yang ada Ziyan tidak pernah mampu untuk mengungkapkan perasaannya, tidak mempunyai kekuatan untuk menjadikan Annelis kekasihnya.
“Aku akan memberi tahu papa, perjodohan kita dibatalkan saja,” ucap Sera tiba-tiba.
Ziyan menoleh, dia menatap gadis itu dengan kasihan. Pria itu tahu jika Sera pasti sangat kecewa, gadis itu sudah mencintainya dari lama, sebelum dia mengenal Annelis. Tapi, perasaan mereka bertolak belakang, Ziyan hanya menganggap Sera sebagai sahabat, tidak lebih.
Ziyan menggeleng pelan, dia mengenggam tangan hangat Sera. “Jangan. Kita akan mengatakannya pelan-pelan, aku yakin Annelis bisa menerimanya.”
“Maksudmu? Kita akan tetap bertunangan dengan Annelis menjadi kekasihmu, apa kau sudsh tidak waras, Ziyan? Ini gila, papa pasti tidak akan menyukainya!”
“Lalu harus bagaimana lagi? Aku tidak bisa melepaskan kalian, aku menyayangi kamu dan Annelis!” Ziyan berucap dengan nada tinggi. Dia benar-benar kehilangan akal, rasa cintanya kepada Annelis menghilangkan kewarasannya.
Sera menggeleng cepat. “Tidak. Aku tidak mau. Kamu harus memilih antara kita, aku atau Annelis,” putus Sera.
Ziyan bergeming, pria itu menyandarkan tubuh pada bahu kursi. “Semua ini tidak semudah yang kamu pikirkan, Sera. Aku harus memilih, dan itu sangat menyiksaku.”
***
Annelis berjalan cepat menyeberangi zebra cross lalu melewati sisi jalan. Buliran bening sudah tidak bisa dia tahan, air matanya seolah menetes tanpa henti. Ini sudah kesekian kalinya dia melihat Ziyan bersama dengan Sera, selama ini, selama bertahun-tahun mereka saling mengenal tidak pernah dia melihat keduanya begitu dekat.
Dia sadar jika dirinya bukan siapa-siapa, memang sudah seharusnya dia tidak merasa cemburu begini. Akan tetapi, semuanya seakan terjadi tanpa bisa dihentikan. Dia mencintai Ziyan, dan yang dia tahu pria itu juga mencintainya.
Annelis menghentikan langkahnya di depan sebuah minimarket yang sudah tutup, dia memutuskan untuk duduk di bangku cor sembari menenangkan diri.
Tak lama ponsel yang berada di dalam sakunya berdering, dengan tergesa-gesa perempuan itu meraihnya kemudian menarik ikon berwarna hijau.
"Iya, halo, Tante? Baik, Anne akan segera pulang."
Dia memutuskan sambungan telepon, lalu beranjak pulang ke rumah. Tadi itu Amira, adik sang mama yang selama ini merawatnya dengan sepenuh hati. Memang, sifatnya kadang keras dan sedikit menuntut. Akan tetapi biar bagaimana pun beliaulah satu-satunya orang yang Annelis miliki di dunia ini. Ah tidak, mungkin dia masih mempunyai sosok papa, itu pun jika papanya mau mengakui dia.
Sepuluh menit berjalan kaki gadis itu sudah sampai di rumah sederhana yang cukup untuk ditinggali kiranya sepuluh orang. Pelatarannya memang luas, tetapi dengan bangunan yang hampir tidak pernah direnovasi sejak pembangunan awal itu membuat kediamannya terlihat ketinggalan zaman.
Annelis melepas sendalnya, dia masuk dan disambut dengan sosok Amira yang sedang berkacak pinggang.
"Dari mana saja kamu, Annelis? Tidak lihat sekarang jam berapa? Mau sampai kapan kamu hanya luntang-lantung setelah lulus kuliah, hah? Biaya pendidikanmu tidak sedikit, tante harus pinjam sana sini untuk menyekolahkan kamu, dan sekarang hasilnya apa?" Amira mulai berceloteh, wanita itu memang terjerat hutang semenjak Annelis memasuki bangku kuliah. Meskipun tidak semuanya untuk biaya pendidikan Annelis karena gadis itu mendapatkan potongan uang pendidikan dari kampusnya, tapi tetap saja Amira selalu menyalahkan gadis itu.
"Maaf, Tante. Annelis salah," lirihnya menunduk.
"Memang, kamu memang salah!" seru Amira. Wanita itu melemparkan secarik kertas berisi alamat sebuah perusahaan. "ini, kamu datang ke sana secepatnya. Tante tidak tahan hidup dililit hutang seperti ini!" imbuhnya kemudian berlalu, meninggalkan Annelis yang hanya bisa menatap nanar secarik kertas itu.
To Be Continued