Derap kedua pasang kaki bersepatu itu memasuki ruang dengan penerangan ekstra. Kaca tebal seakan-akan memenuhi setiap sudut lobi gedung, membuat bangunan ini tampak seperti castel. Ditambah para pegawai yang berpakaian rapi, benar-benar pemandangan yang menyegarkan.
Annelis menghentikan langkahnya manakala sosok pria yang mengajaknya ke mari berhenti di depan meja resepsionis. Dia memesan satu buah kamar di lantai atas, dan tentu saja hal itu membuat Annelis mengernyit heran.
“Tuan, tapi aku tidak punya cukup uang untuk menginap di hotel mewah ini,” bisik Annelis memperhatikan pria itu yang sedang mengisi data cek in.
Dia menoleh, tersenyum simpul. “Tidak masalah. Kau tidak perlu mengkhawatirkan soal biaya, semuanya sudah kuselesaikan ... kau hanya perlu tidur dan beristirahat malam ini,” ucapnya dengan santai.
Sesaat, pria itu berjalan cepat menuju pintu lift. Annelis hanya mengekor tanpa bertanya apa pun. Keduanya masuk usai pintu lift terbuka, kemudian menekan tombol untuk mengantarkan mereka ke lantai tiga.
“Aku Aarav ... Aarav Wilson." Pria itu menyodorkan tangannya, memperkenalkan diri dengan suara rendah.
“Annelis Clandestine,” balas Annelis mengulas senyum.
Aarav mengangguk. Pria itu kembali menatap depan tanpa suara, mencerminkan sosok yang begitu dingin dan menjaga sopan santun.
“Apa anda juga tinggal di sini?” tanya Annelis ketika pintu lift terbuka, bersamaan kakinya berayun untuk melangkah.
Aarav mengangguk singkat, dia melemparkan kunci kamar Annelis dengan santai, spontan gadis itu menerimanya meski sedikit terkejut.
“Kamarku ada tepat di sampingmu, jika membutuhkan sesuatu katakan saja." Pria dengan pakaian formal itu menghilang di balik pintu nomor 98. Annelis mengembuskan napas, melirik kunci yang berada di tangannya dengan malas.
“Kurasa malam ini akan terasa lebih cepat dari biasanya,” gumamnya lalu memasuki kamarnya.
***
Sinar mentari menyeruak di antara gorden putih itu, sedangkan sosok yang masih meringkuk di balik selimut tebal hanya melenguh panjang. Annelis mengerjap, lalu kembali menenggelamkan wajahnya di balik selimut tebal. Jika saja alarm yang dipasang di ponselnya tidak berbunyi nyaring, mungkin gadis itu akan kembali terlelap dalam tidurnya.
Annelis menyibak selimut tebal itu, lalu meraih penjepit rambut dan berjalan ke arah balkon. Untuk pertama kalinya dia bisa menikmati indahnya kota Surabaya di pagi hari. Dia menghirup aroma pagi dalam-dalam, lalu mengembuskan dengan pelan. Annelis memperhatikan adimarga yang dipadati kendaraan, senyumnya mengembang.
“Sudah bangun, hum?”
Annelis menoleh, sekali lagi dia tersenyum ... mengangguk. Rupanya Aarav, dia baru saja melupakan pria yang sudah menolongnya itu. Dia ternyata mempunyai balkon yang bersebelahan dengan balkon kamarnya.
“Ah, ya ... aku baru saja terbangun oleh suara nyaring alarm,” balasnya tersenyum canggung.
Aarav mengangguk saja. Pria itu melempar pandangannya ke jalan raya yang kian padat itu.
“Aku mengenal tante Amira, dulu dia adalah kekasih papaku. Tetapi hubungan mereka sudah berakhir.” Aarav tersenyum simpul, melirik Annelis yang sepertinya sedang terkejut itu. “mungkin kau merasa heran ketika aku langsung menyambutmu dengan ramah. Ya, kau tahu ... tante Amira menghubungiku beberapa jam sebelum kau datang ke kantor kami,” lanjutnya.
“J-jadi ... kalian sudah saling mengenal sebelumnya?”
Aarav mengangguk pelan, memamerkan senyum khas dirinya. Pria itu menghirup aroma sejuk pagi ini, seakan sesuatu dalam hatinya sedang berteriak kegirangan.
“Ya ... seperti apa yang ada di pikiranmu. Tante Amira meninggalkan papa karena beberapa hal, kurasa itu masalah pribadi mereka, aku tidak akan ikut campur lebih dalam. Ah, ya, omong-omong apa kau sudah menyiapkan diri untuk interview hari ini?” tanya Aarav melirik Annelis yang masih menggunakan piyama tidurnya.
Gadis itu menggeleng cepat. “Interview? Hari ini? Astaga, kupikir aku harus mengajukan circullum vintage untuk melamar pekerjaan,” pekik Annelis.
Aarav tertawa. “Tidak perlu. Kau diterima, langsung pergi ke ruang HRD untuk interview pagi ini. Jangan lupa membawa ijazah terakhirmu sebagai pertimbangan.”
Usai mengatakan itu Aarav masuk kembali ke kamarnya meninggalkan Annelis yang sedetik kemudian berlari dan mengorek koper untuk mencari sesuatu yang dibutuhkan nanti.
***
“Kau bisa menanyakan ruangan HRD kepada karyawan lain. Aku harus pergi untuk mengurus sesuatu, setelah itu datanglah ke ruangan direktur utama. Dia akan menjelaskan tugas apa saja yang harus kau lakukan,” ucap Aarav sembari melepas sabuk pengaman.
Annelis mengangguk paham. Gadis itu keluar dari mobil lebih dulu, lalu melenggang masuk membawa surat rekomendasi dari Aarav. Sempat terbesit dalam benaknya tentang siapa sebenarnya Aarav, pria itu terlihat mempunyai posisi tinggi di perusahaan ini.
Tidak mau terlalu memikirkan tentang pria itu, Annelis menggeleng pelan. Dia menarik napas sejenak lalu berjalan dengan anggun menuju ruangan HRD. Sesaat, gadis itu bertanya kepada karyawan perempuan yang sedang berlalu-lalang, setelah mengetahui letak ruangan HRD, gadis itu kembali mengayunkan kaki jenjangnya.
Tok tok tok!
“Permisi, apakah ini ruangan kepala HRD?” tanya Annelis dengan ragu.
Pria tua yang duduk mengamati lembaran itu mengangkat wajahnya, melihat Annelis yang berdiri dengan senyum di bibirnya. “Benar. Masuklah ....”
Annelis menurut, dia duduk di bangku yang berhadapan langsung dengan pria tua itu. Sekilas dia membaca nama pria tua yang masih tampak segar dengan rambut yang sudah setengah memutih.
Ren Yin, pria yang berusia lebih dari setengah abad itu sudah menjabat di perusahaan ini sedari awal dibangun. Dia merupakan orang kepercayaan Aarav yang memang terkenal dengan kejujurannya. Tidak sampai di situ, selain menjadi kepala HRD, Ren juga menjadi salah satu orang yang selalu siap memberikan saran kepada Aarav. Entah urusan pekerjaan, atau pun masalah pribadi.
Pria itu membaca berkas yang Annelis berikan, lalu mengangguk pelan. “Ah ... rekomendasi dari Aarav rupanya,” gumam Ren masih mampu didengar oleh Annelis. “kalian saling mengenal sebelumnya?” tanya Ren menatap Annelis.
Gadis itu menggeleng canggung. “Tuan Aarav mengenal tanteku,” lirihnya.
Ren mengangguk. Dia meminta ijazah yang Annelis bawa, lalu membacanya dengan saksama. Sedetik kemudian, sebuah senyum tipis terbit di bibir tuanya. “Pilihan Aarav memang tidak pernah salah, kau diterima. Dari riwayat pendidikanmu sepertinya aku sudah tidak perlu mengajukan pertanyaan lain. Aarav pasti sudah melihat bagaimana kinerjamu.”
Ren mengembalikan dokumen Annelis, tetapi tidak untuk ijazah. Lantas, pria itu menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Annelis. “Selamat bergabung dengan kami, aku akan melihat dedikasimu selama tiga bulan pertama. Semoga kinerjamu memuaskan,” ujar Ren dengan senyum lebar.
Annelis tersenyum, menerima jabatan tangan itu. “Terima kasih, Tuan. Aku akan bekerja sebaik mungkin, jangan khawatir.”
“Kuharap begitu.”
Annelis berdiri, berpamitan untuk pergi. Dia harus ke ruangan direktur utama untuk meminta tugas yang akan dikerjakan sebagai data analyst. Gadis itu menaiki lift untuk sampai di lantai atas, sesaat dia menahan napasnya. Menatap pintu kaca bertuliskan Direktur A itu membuatnya sedikit berdebar.
“Semuanya akan berjalan lancar, kau pasti bisa!” gumam Annelis menyemangati dirinya sendiri.
To Be Continued