Luisa Resto

1033 Words
Kaki jenjang dengan sepatu pantofel itu mulai melangkah dengan anggun. Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menyingkirkan perasaan gugup yang menelisik dalam dadanya. Lalu, dengan ragu gadis itu mengetuk pintu kaca di depannya, bersamaan dengan itu suara dari dalam yang menyuruhnya masuk membuat Annelis mengembuskan napas. “Permisi, Pak. Saya ingin menyerahkan ini sekaligus meminta pengarahan untuk tugas saya sebagai karyawan baru,” ucapnya dengan nada formal. Pria yang duduk membelakangi Annelis itu mengangguk singkat. “Duduk. Aku akan membuatkan jadwal tugas untukmu, Annelis,” balasnya seketika membuat gadis itu melebarkan matanya. Bagaimana bisa direktur utama itu mengetahui namanya? Mereka bahkan belum pernah bertemu sebelumnya. Sesaat sosok itu berbalik badan. Rupanya dia Aarav, pria yang membantunya semalam. Aarav meraih kertas kosong di dekat mesin printer, lalu mengambil bolpoin bertinta biru yang digunakan untuk menuliskan sesuatu di atas kertas itu. Sedetik kemudian Aarav menyerahkan kertas itu kepada Annelis. "Ini, semuanya sudah tertulis di situ. Jika ada yang kurang jelas kau bisa menanyakan langsung kepada karyawan lama di kantor ini," ucap Aarav. Annelis mengangguk mengerti. Gadis itu menerima kertas dari Aarav lalu membacanya sebentar. "Baik, Pak. Terima kasih." Pria itu hanya tersenyum tipis. "Semoga harimu menyenangkan." Aarav menatap Annelis yang beranjak dengan senyum yang selalu terlukis di bibirnya. Gadis itu mengangguk singkat. "Semoga saja." *** Sekembalinya dari ruangan Aarav, Annelis memutuskan untuk langsung pergi ke meja kerjanya. Ini hari pertama untuk gadis itu bekerja sebagai data analyst, meskipun hal itu bukan lah impiannya, paling tidak untuk sekarang ini dirinya mampu memberikan balas budi kepada Amira atas jasa wanita itu yang telah merawat dan memberinya pendidikan hingga perguruan tinggi. Annelis membuka laptop yang sudah disediakan, gadis dengan rambut kecoklatan itu meraih sticker yang berada di dalam tas kecilnya lalu ditempelkan di sisi komputer. Sesaat, senyumnya mengembang. "Sticker stitch untuk semangat di hari pertama bekerja," gumamnya mengulas senyum. Gadis itu mulai mengoperasikan komputer dan mencatat data-data penting lalu menafsirkan melalui teknik statistik. Ini tidak terlalu sulit, Annelis sudah pernah melakukan hal ini sebelumnya. Lima belas menit Annelis mampu menyelesaikan beberapa pekerjaan miliknya. Dia melirik beberapa data analyst lain yang berada di meja seberang, mereka sedang memijat kepala sambil sesekali membetulkan posisi kacamata. Sepertinya apa yang mereka kerjakan cukup serius. Dia tidak ingin ikut campur. Annelis memilih mencoret-coret kertas kosong yang berada di hadapannya. Gadis itu menghela napas. Ruangan yang sunyi ditambah suhu udara yang dingin akibat adanya dua mesin AC membuat orang-orang merasa betah berada dalam ruang kerja. Tidak ada suara apa pun kecuali mesin printer yang sesekali digunakan oleh karyawan yang mencetak data. Annelis menopang dagu, memainkan pulpen bertinta biru di atas kertas hvs. Pikirannya melayang menanyakan bagaimana keadaan Ziyan di luar sana. Mendadak, dadanya terasa sesak tatkala mengingat kalimat terakhir yang didengar sebelum memutuskan untuk pergi. "Annelis, apa kamu sudah menyelesaikan pekerjaan pertamamu?" Suara Aarav tiba-tiba menarik kesadarannya. Annelis mengusap wajahnya yang baru saja melamun, lalu menatap pria yang mendekatkan kepalanya di dekat wajahnya. Pria dengan setelan formal itu menatap layar komputer dengan senyum simpul. "S-saya baru saja menyelesaikannya, Pak," ucap Annelis saat Aarav mengoreksi pekerjaannya yang belum sempat dicetak itu. Aarav mengangguk pelan. "Bagus. Saya menyukai cara kerjamu yang bisa dikatakan cepat itu. Bagaimana jika setelah ini kita makan siang bersama?" "Eh? Tidak perlu, Pak. Lagi pula saya bisa makan siang di kantin," balas Annelis merasa tidak enak hati. Dia hanya merasa tidak pantas makan bersama direktur utama yang cukup disegani itu, pun Annelis khawatir orang lain akan berpikiran lain kepadanya. Aarav tersenyum tipis. "Saya ingin membicarakan soal tantemu," lanjutnya membuat Annelis melebarkan mata. "Bagaimana?" Kali ini pria itu mengangkat sebelah alisnya membuat Annelis merasa semakin sulit untuk menolak. Gadis itu mengembuskan napas samar. "Baiklah. Setelah saya menuntaskan pekerjaan lain," balas Annelis menampilkan senyum segan. Aarav mengangguk singkat, pria itu menepuk bahu Annelis dengan pelan, lalu berlalu begitu saja. "Oh, astaga ... kenapa dia sangat menuntut." *** Pelayan datang silih berganti, mengantarkan hidangan mahal yang tak ada habisnya. Dia menghela napas. Meja tempatnya duduk dan makan kini penuh dengan hidangan berbahan dasar protein. Luisa Resto, rumah makan yang Aarav pilih karena cukup menonjol di kota ini. Meskipun harga olahannya yang cukup tidak masuk akal dengan porsi yang disuguhkan, tetap saja lokasi ini sangat padat oleh pengujung. Rata-rata orang berdasi dengan tunggangan mobil mewah. Ya, hanya orang-orang kaya yang datang ke mari. Satu-satunya orang miskin hanya dia, Annelis. "Kamu tidak akan kenyang hanya dengan melihatnya. Lagi pula makanan itu tidak akan habis sendiri hanya karena ditatap olehmu," ucap Aarav sembari menyiapkan sesendok steak ke dalam mulutnya. Annelis mengembuskan napas. Menatap atasannya yang dinilai sangat berlebihan itu. Bagaimana tidak, Aarav sudah sangat membantunya untuk mencarikan penginapan, memberinya uang untuk makan selama sebulan, dan sekarang ... pria tidak waras itu memesan hampir semua menu yang ada di daftar masakan untuknya. Benar-benar sudah tidak waras. "Saya sudah tidak berselera hanya dengan melihat banyak sekali hidangan ini," ucap Annelis berkata jujur. "Saya tidak menyuruhmu untuk berselera, cukup makan dan habiskan. Jangan membuang-buang waktu, setelah ini kamu harus kembali bekerja," balasnya. Annelis mencibik. "Bapak bilang akan membicarakan tentang tante saya, ada apa dengannya?" "Tidak ada. Saya hanya berbohong untuk bisa mengajakmu keluar makan siang bersama. Saya bosan memakan masakan di kantin kantor, tidak ada yang bisa diajak keluar." Pria itu berucap tanpa beban, kembali menyiapkan makanan demi makanan dengan terampil. Tanpa memperhatikan Annelis yang sudah mengigit bibir bawahnya dengan emosional. "Jika anda ingin, anda bisa mengajak siapa saja untuk makan siang di restoran semewah ini. Saya pikir anda sudah salah memilih orang, saya bahkan tidak terlalu suka untuk berkunjung ke tempat seperti ini. Hanya membuang-buang uang," desisnya. "Kamu tidak menyukainya? Itu artinya kamu bukan target pasarnya," balas Aarav enteng. Pria itu memang selalu membalas segala sesuatu dengan deretan kalimat menyebalkan yang terlontar dari lidah licinnya. Annelis mengusap wajah dengan kasar. Andai saja sosok yang duduk di depannya bukan seorang direktur utama, mungkin gadis itu sudah mengacak-acak wajah Aarav sedari pria itu memesan banyak sekali makanan. "Cepat makan, saya tidak punya banyak waktu untuk menghabiskan semua ini," seru Aarav. "Tidak bisa menghabiskan malah marah-marah," gumam Annelis berceloteh pelan. "Apa?" Pria itu menghentikan makannya, menatap gadis yang sedang mengoceh dengan tajam. "A-ah, tidak ada. Lanjutkan saja, Pak." Annelis tersenyum lebar, mengamati Aarav yang seperti orang kesetanan itu, lalu membatin, 'Cih!' To Be Continued
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD