Surabaya Sore Hari

1157 Words
Di ruangan luas yang didominasi warna putih abu ini Sera duduk diam, dia sama sekali tidak berkutik saat Richard melayangkan tatapan tajam ke arahnya. Pria itu menggenggam gawai di tangannya dengan begitu erat, mungkin jika tidak berkualitas, gawai itu akan remuk dalam sekejap saja. “Dia akan segera ke mari,” ucapnya dengan nada datar. Sera menghela napas. Sekali lagi papanya pasti memanfaatkan posisi pekerjaan orang tua Ziyan untuk menjadikan alasan. Pria itu pasti akan memaksa Ziyan menikahinya, sebagai bayaran jika selama ini dia telah memberikan posisi yang bagus untuk papa Ziyan. Tak butuh waktu lama, suara motor besar terdengar di pelataran rumahnya. Sosok Ziyan muncul dari ambang pintu masih dengan pakaian yang sempat pria itu gunakan ketika bersama Annelis. Ziyan duduk di dekat Sera, melihat Richard dengan senyuman segan. “Saya ingin membicarakan rencana pernikahan kalian,” ucap Richard menatap manik mata Ziyan dengan lekat. “pernikahan kalian akan dipercepat, bulan ini. Tidak ada acara pertunangan dan party. Kalian akan menikah di gedung yang sudah saya persiapkan." Bibir Ziyan terbuka, matanya sedikit melebar tatkala mendengar pernyataan Richard. Dia melirik Sera yang berada di sampingnya. Sebelumnya mereka sudah membicarakan tentang pembatalan perjodohan ini, tapi kenapa mendadak rencana pernikahan mereka justru dipercepat? Mungkinkah Sera tidak menceritakan soal itu kepada Richard? “Tapi apa alasannya, Om? Bukankah pernikahan ini akan dilaksanakan tahun depan? Ziyan belum siap, saya masih harus mengisi banyak undangan fotografi di luar kota,” balasnya tidak setuju. “Karena saya tidak mau membuang-buang waktu! Katakan saja pada orang tuamu jika pernikahan ini akan dipercepat. Semuanya sudah saya persiapkan, tidak ada alasan menolak. Kau tahu bukan, pekerjaan ayahmu yang menjadi taruhannya!” Richard tersenyum licik. Pria itu menyilangkan kakinya sembari menopang dagu dengan angkuh. Ziyan melirik Sera sejenak, dia mengembuskan napas panjang. Entah bagaimana dia harus berbicara dengan Annelis nanti. Dia sudah terlanjur berjanji, apalagi Ziyan datang ke mari bersama gadis itu. Dia hanya khawatir Annelis akan mendengarkan semua ini. Dengan terpaksa Ziyan mengangguk. Sejujurnya dia tidak suka ini, menikah dengan gadis yang sama sekali tidak dicintainya. “Baik, saya akan mengatakan ini kepada papa dan mama. Saya pamit, ada banyak model yang harus dipotret siang ini.” Ziyan berdiri lalu menundukkan tubuhnya dengan hormat, kemudian melenggang pergi. Richard tersenyum miring. Pria dewasa itu melirik putrinya yang hanya terdiam menatap pintu tempat Ziyan pergi. “Kau lihat, hanya dengan sedikit gertakan pria itu sudah menurut, layaknya kerbau yang dicocok hidungnya,” kata Richard dengan sombongnya. Sera terdiam. Gadis dengan wajah teduh itu menunduk, memainkan jemarinya dengan abstrak. Khawatir jika Ziyan semakin membencinya karena ulah sang papa, dia yakin Ziyan tidak begitu menyukainya karena papanya yang begitu semena-mena. *** Ziyan termangu menatap motornya. Matanya beredar menyapu sekeliling lingkungan rumah, sesaat dia menghela napas. Di mana Annelis? Kenapa tiba-tiba gadis itu tidak ada di luar sini? Ziyan merogoh saku celananya, berinisiatif menghubungi Annelis meski ternyata ponsel gadis itu tidak aktif. Sekali lagi, Ziyan mengembuskan napas. Annelis pasti merasa bosan menunggu di luar rumah, dia pasti sudah pulang lebih dulu. Dengan perasaan yang tidak menentu, pria itu membelokkan motornya. Lalu melaju membelah padatnya jalanan ibu kota, membawa serta perasaan resah yang tidak berkesudahan. Sementara itu Annelis membuka lemari pakaian dengan kasar. Hari ini, dia memutuskan untuk pergi mengudara, terbang ke Surabaya untuk menopang kehidupan Amira. Jemari lentik itu meraih dan menata beberapa potong pakaian dengan cekatan, buliran bening sudah menetes membasahi pipinya. Dadanya terasa sesak tatkala mengingat apa yang didengarnya beberapa saat lalu, tentang Ziyan dan Sera yang ternyata harus menikah dalam waktu dekat. Tapi kenapa? Kenapa mereka menyembunyikan masalah sebesar ini darinya? Dan Ziyan ... kenapa pria itu seolah-olah memberikan harapan padahal dia tahu jika mereka tidak akan pernah bersama. Kenapa, kenapa Ziyan bisa sejahat ini. Annelis menutup lemari pakaian, dia terduduk di atas ranjang dengan lemah. Tangisnya semakin pecah tatkala foto yang ada di atas nakas mengingatkan betapa indah kenangannya dulu bersama Ziyan. Akan tetapi, semesta membuatnya harus melupakan Ziyan dengan paksa. Gadis itu menyeka air matanya, mengambil kertas yang ada di atas nakas, meraih koper lalu menariknya keluar kamar. Dia berjalan melewati Amira, sesaat Annelis menghentikan langkahnya manakala suara ketus Amira menusuk indera pendengaran. “Mau ke mana kamu?” tanya wanita itu ketus. Annelis menoleh, menampilkan raut baik-baik saja. “Annelis akan pergi ke Surabaya, Tante. Ke tempat perusahaan yang pernah Tante katakan,” balasnya lembut. Amira mengulas senyum. Wanita itu merogoh saku celananya kemudian memberikan lima lembar uang pecahan seratus ribuan. “Untuk ongkos perjalanan,” ucapnya menyodorkan uang itu. “kabari tante kalau kamu sudah sampai, jangan lupa transfer gaji kamu setiap bulannya!” Annelis menerima uang itu, dia mengangguk lemah. *** Terik berangsur sirna, mentari yang tadinya menyeruak pelan-pelan meninggalkan nabastala. Adimarga tampak sesak dipadati lalu-lalang kendaraan, ditambah para pekerja yang berlomba-lomba pulang ke rumah, menjadikan jalanan bak lautan manusia. Dia berjalan keluar dari stasiun kereta, menoleh ke segala arah, mencari tempat yang sekiranya bisa untuk dia menginap. Langkah kaki berbalut sepatu sneakers itu semakin jauh meninggalkan stasiun pemberhentian, menyeret koper yang berisi beberapa potong pakaian. Dia tersenyum, melambai. Menghentikan sebuah pengendara motor berseragam ojek, lalu menyerahkan alamat tujuannya dan mulai menaiki jok belakang. Annelis Clandestine, gadis berambut kecokelatan itu mengulas senyum. Surabaya memang panas, di suasana senja ini sama sekali tidak ada kibasan angin seperti biasanya. Ditambah, di musim pancaroba saat ini, kondisi geografis seakan membuat orang-orang berteriak frustrasi. Merasakan cuaca yang tidak menentu, panas, hujan, menyebabkan banyak penyakit yang bersarang. “Sedikit lebih cepat, Pak,” ucap Annelis menginterupsi. Supir ojek itu mengangguk, lalu mulai menambah laju kendaraannya. Tak lama motor yang mereka tumpangi berhenti di sebuah gedung yang menjulang tinggi. Annelis turun, membayar biaya ojek lalu mengamati kantor yang sempat Amira katakan kepadanya. “Astaga!” Annelis memekik tatkala tanpa sengaja seseorang menarik gerbang kantor, di saat bersamaan gadis itu hampir saja terhuyung dan jatuh ke aspalan. “Ah, maaf aku tidak melihatmu,” sesalnya dengan tatapan bersalah. “kau ... sedang apa di sini malam-malam begini?” tanyanya melirik koper yang Annelis bawa. Gadis itu tercenung, menelik wajah tampan yang tersuguh di hadapannya. Garis wajahnya bak terpahat sempurna, dan manik gelap yang memancarkan sinar rembulan. Dia ... sangat tampan. Annelis tersentak manakala sosok itu mengayunkan tangannya di depan wajah, seketika dia tertarik kembali dengan obrolan singkat itu. “Ah, aku ... aku sedang mencari alamat ini,” ucapnya menyerahkan secarik kertas yang pernah Amira berikan. Sosok itu menerimanya, mengamati dengan lekat tulisan yang tercetak di sana. “Ingin melamar pekerjaan?” Annelis mengangguk, tak hentinya mengamati wajah tampan itu. “Kau bisa datang kembali besok pagi, sekarang mari kuantar mencari penginapan,” ucapnya sembari membuka gerbang kantor dengan cekatan. Annelis menggeleng cepat. “Tidak perlu, aku akan sangat merepotkanmu,” tolaknya tidak enak hati. “Tidak masalah, kebetulan sekali aku akan pulang malam ini. Tidak ada salahnya membantu seseorang, bukan?" Pria itu mengangkat sebelah alisnya, menampilkan senyum tipis. Jantung Annelis berdetak cepat, dia meneguk ludahnya dengan susah payah. “A-ah ... iya, tidak ada salahnya.” To Be Continued
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD