Akan Pergi

1125 Words
Semalaman penuh Amira memarahinya, tidak hanya itu saja, dia juga mencemooh Annelis yang memang tidak pernah dijenguk sosok papanya sedari kecil. Bahkan, Annelis sendiri tidak tahu apakah papanya mengetahui ada dia di dunia ini atau tidak. Dulu sekali mamanya memang pernah menceritakan perjalanan cintanya dengan sang papa yang merupakan warga negara asing, pernikahan itu terjadi hanya dalam syariat, bukan secara hukum negara. Lalu, setelahnya sang papa kembali ke negaranya, berdalih jika harus menyelesaikan urusan kewarganegaraan. Namun, hingga sekarang dia belum pernah bertemu dengan papanya itu. Bahkan, namanya saja Annelis sudah lupa, dia tidak begitu antusias untuk mengingat kenangan papanya, karena memang mereka sama sekali tidak pernah membuat kenangan bersama. Pagi ini Annelis sudah berada di dalam studio foto Ziyan yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumahnya. Perempuan itu memperhatikan bagaimana Ziyan dengan terampilnya menekan dan memutar lensa kamera hingga menghasilkan gambar cantik, tentunya dengan model yang cukup menawan. Sesaat, pria itu sudah menyelesaikannya. Dia menghampiri Annelis yang sudah membawakannya minuman itu. "Apa harimu menyenangkan?" tanya Annelis basa-basi. Ziyan mengangkat sebelah alisnya. "Tumben sekali bertanya begitu, ada apa? Apa kamu ingin mengatakan sesuatu?" tanya Ziyan kemudian duduk di dekat Annelis. Gadis itu menggeleng pelan. "Tidak, aku tidak ingin mengatakan apa pun. Aku hanya ingin melihat bagaimana hari-harimu," ucapnya membuat Ziyan semakin mengernyit heran. Pria itu lantas menangkap wajah Annelis dengan lembut, lalu menatap langsung ke manik hitamnya. "Hei, ceritakan saja ada apa. Aku akan mendengarkan ceritamu dengan senang hati." "Tidak ada. Tidak ada yang perlu diceritakan, aku hanya ingin tahu apakah kamu akan bahagia saat aku tidak di sini lagi," ucap Annelis dengan nada rendah. Ziyan mendelik, dia tidak percaya gadis itu akan berkata begitu. "Maksud kamu apa, Ann? Jangan bicara yang bukan-bukan, kamu tidak akan ke mana-mana, kamu akan tetap di sini bersamaku ... selamanya." Annelis menggeleng cepat, dia menggenggam jemari Ziyan yang berada di pipinya. "Tidak bisa, aku harus pergi secepatnya. Tante menyuruhku untuk bekerja di luar kota, dan aku tidak bisa menolaknya. Kau tahu, selama ini aku sudah menumpang hidup dengannya, dan saat ini aku harus bisa membalas semua jasa-jasanya. Setidaknya hanya itu yang bisa aku lakukan." "Tidak, itu bukan satu-satunya cara. Luar kota sangat luas, Ann, kamu bisa bekerja di perusahaan lain. Tidak harus di sana!" Ziyan mencegahnya. Dia tidak ingin Annelis pergi jauh dari sisinya. "aku akan bilang kepada tante Amira, kamu tidak boleh pergi jauh, Ann," lanjutnya. Annelis berkedip, dia menatap raut khawatir dari pria di depannya ini. "Aku bisa menolaknya dengan satu cara, apa kamu bisa berjanji akan mewujudkannya?" tanya Annelis lembut. Ziyan mengangguk. "Katakan apa. Aku akan melakukan apa pun untukmu, Ann. Aku tidak mau kamu pergi jauh." "Menikahiku." Deg! Seketika Ziyan bergeming, dia menatap gadis di depannya ini dengan tatapan kosong. Pria itu tidak tahu apakah dia bisa menyanggupinya dengan keadaan yang mengharuskan dia menikah dengan Sera. Akan tetapi, tanpa basa-basi pria itu mengangguk mantap. Dia memegang wajah Annelis dengan kedua tangannya, menatap manik hitam itu seolah meyakinkan bahwa dia berjanji akan menikahinya. "Iya, aku akan menikahimu secepatnya. Aku akan mengatakan hal ini kepada papa untuk segera mengurus semuanya, kamu tidak perlu khawatir. Jangan pergi, ya?" Ziyan merengkuh tubuh ringkih itu, dia semakin mengeratkan pelukannya saat Annelis mengangguk lemah. "aku mencintaimu, Ann," gumamnya. "Aku juga mencintaimu," balas Annelis. Mereka hanya tidak tahu jika sedari beberapa menit yang lalu Sera sudah berdiri di depan pintu masuk. Gadis itu tersenyum kecut, seakan-akan menertawakan dirinya sendiri yang selalu kalah dalam segala hal. Termasuk mencintai Ziyan. Buliran bening merembes bersamaan dengan langkah kakinya yang menjauh dari studio foto. *** Mentari mulai memperlihatkan eksistensinya, silau kemerahan sukses mengantarkan hawa hangat tatkala bertubrukan dengan angin pagi. Kaki jenjang berbalut celana kulot melangkah cepat menyusuri trotoar jalan. Bahkan, sesekali dia tidak mempedulikan kakinya yang tersandung. Perih di kakinya tidak ada apa-apa dibandingkan rasa sesak yang kian memenuhi atma. Dia melanjutkan langkahnya hingga menubruk seseorang, tanpa meminta maaf gadis itu hanya mendongak lalu berlalu begitu saja. Dia tidak peduli apa pun, saat ini dirinya hanya fokus pada rasa sakit yang semakin menggerogoti hatinya. Dan ini semua akibat Ziyan. “Sera!” Gadis itu menghentikan langkahnya, menatap depan dengan kosong. Lalu, menyeka air matanya. Tanpa menoleh dia mendengar seseorang terus saja menyebut namanya, sampai ketika suara derap langkah semakin mendekat. Gadis itu masih diam menatap ke depan, enggan melihat siapa kiranya seseorang itu. “Sera!” Suara itu terdengar lagi, bedanya terdengar lebih dekat. Mungkin ... hanya beberapa langkah dari tubuhnya. “Sera, papa memanggilmu. Kenapa terus berjalan seperti orang linglung?” lanjutnya bertanya. Sera terdiam. Kembali, air matanya menetes. Tanpa aba-aba gadis itu berbalik badan dan menubruk sosok tinggi di hadapannya, merengkuh erat tubuh atletis itu, lalu melanjutkan isak tangis yang terdengar bergetar itu. “Sayang, ada apa? Katakan kepada papa, apa sebenarnya yang membuatmu sampai seperti ini?” tanyanya bernada lembut. Richard Darwin, pria berusia 38 tahun dengan wajah yang nyaris sempurna. Rahang tegas itu menambah nilai plus pada penampilannya. Ditambah posisinya sebagai pemilik perusahaan membuat dia sangat disegani. Apa pun keinginannya, apa pun hal yang dia minta harus selalu dilaksanakan, jika tidak ... Richard tidak segan-segan memutus kerja sama bisnis atau bahkan menghancurkan kehidupan orang itu. Siapa pun, tanpa terkecuali. Sera tidak membalas, dia masih terus menangis dalam pelukan papanya. Selama ini gadis itu sudah berusaha menahannya, tapi untuk saat ini tidak bisa. Dia tidak bisa terus-menerus menyembunyikan sakit hati yang mendalam ini. “Baiklah. Kita pergi ke mobil dulu, kamu bisa menceritakannya nanti ketika kita sampai di rumah, oke?” Richard mengusap rambut putri kesayangannya itu, lalu menggandeng menuju mobil mewah yang terparkir di pelataran supermarket. Di dalam mobil Sera menyeka air matanya, menatap sosok Richard dengan kening berkerut dalam. “Kenapa Papa bisa ada di sini?” tanyanya masih dengan sesegukan. Richard tersenyum tipis, lalu kembali mengusap rambut milik Sera. “Papa sedang mencari sesuatu di supermarket,” balasnya. “lalu, kamu sendiri sedang apa menangis di pinggir jalan, hum? Apa ada seseorang yang menyakiti hatimu? Siapa, katakan saja, biar papa yang menyelesaikan semuanya,” lanjut Richard dengan tenang. Sera menggeleng lemah. Gadis itu menyandarkan tubuhnya pada punggung bangku. Manik mata itu menatap ke luar jendela dengan sayu, dia menghela napas. “Mau sampai kapan Papa menjadikan kekuasaan sebagai tameng untuk menutupi keegoisan Papa?” tanya Sera hampir berbisik. Richard mengernyit. Dia hampir mengira jika pendengarannya bermasalah. Putrinya, putri kecil yang dirawatnya dari bayi kini mulai berani mengeluarkan pendapatnya. “Apa maksudmu, Sayang?” Sera menatap papanya, dia menelik ekspresi kebingungan itu. “Sera hanya ingin hidup seperti kebanyakan remaja, Pa. Sera ingin berusaha mendapatkan sesuatu tanpa campur tangan Papa, Sera ingin Papa berhenti menggunakan kedudukan dengan tidak manusiawi begitu,” ucapnya dengan lancar. Richard mengerem mendadak. Dia menatap putrinya yang kelihatan berbeda itu. “Sera, apa kamu sadar dengan apa yang sudah kamu katakan itu, huh?” To Be Continued
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD