5. Reba Molas Cafe

1062 Words
Setengah hari ini Bulan benar-benar sibuk me-retouch foto sampai benar-benar melupakan RM Cafe. Selesai membereskan puluhan foto Bulan ke pantry untuk membuat secangkir kopi s**u. Menjelang sore kopi adalah senjatanya untuk tetap semangat bekerja. Ternyata Yunita juga sedang ada di pantry. "Kopi ke berapa lo hari ini?" tanya Bulan. Tangannya menjangkau ke bufet untuk mengambil cangkir. "Baru ke tiga," sahut Yunita. Rambutnya yang berpotongan bob terlihat berantakan. "Gue kalah. Ini cangkir kopi pertama gue hari ini." Bulan tertawa. "Lo rencana lembur? Udah jam empat sore nih." "Nggak tau, lihat aja nanti. Lo lembur?" "Tergantung, Cik Susan jagain kantor apa nggak." Yunita terkikik geli. Bulan merobek sachet kopi, menuangkan isi dan air panas ke dalam cangkir. Aroma kopi menyergap indera penciumannya. Bulan mengaduk dengan santai. "Eh, kalau nggak lembur mau main?" cetus Bulan. "Boleh! Ke mana?" "Ke cafe tempat Lios." "Ooohh... Rupanya, rupanyaaaa," goda Yunita. "Nggak, habis gue penasaran. Tadi Lios udah telepon ngajak gue ke cafe, tapi gue udah keburu bilang banyak kerjaan." "Jadi lo mau menebus penolakan? Ohh so sweet!" goda Yunita. "Kayak gitu nggak apa-apa kan ya? Dia nggak bakal mikir gue cewek agresif kan?" Bulan sedikit khawatir. "Gue rasa nggak. Anggap aja kita kebetulan lewat, atau lo yang temanin gue. Aman." "Boleh juga. Jadi oke nih?" "Oke lah! Gue juga butuh refreshing." Yunita tertawa. "Sip! Jam lima kita langsung jalan ya?" "Oke!" Mereka berdua pun kembali ke meja masing-masing. Hati Bulan kini terasa ringan. Sore nanti bisa bertemu Lios! Rasanya ingin melompat saking senangnya! Sementara itu Lios yang baru bersiap-siap hendak berangkat ke RM Cafe mendadak bersin-bersin. Lios menggosok hidungnya yang gatal. Apakah gejala pilek? Sosok Lios yang tinggi tegap dengan wajah tampan mudah menarik perhatian orang. Kepribadiannya sedikit pemalu, tapi bertahun-tahun bekerja sebagai pemusik membuatnya terbiasa jadi pusat perhatian. Lios berjalan dengan langkah lebar menuju parkiran apartemen. Dia menstarter motor dan melaju pergi. Tiba di RM Cafe, suasana masih sepi karena belum lewat jam pulang pekerja kantoran. Lios mengangguk pada penjaga keamanan. Dia naik ke lantai dua tempat kantor Ferdi. "Hai, Bro. Mana pacarmu?" tanya Ferdi. "Belum jadi pacar," sahut Lios. "Belum. Berarti kemungkinan besar akan jadi," ledek Ferdi. "Gaya lo jadi peramal." "Hahaha Lios, Lios. Jangan tunggu lama, Bro. Ingat umur. Gue lebih muda dari lo tapi udah punya tiga anak. Lo udah umur tiga puluh lima tapi belum pernah pacaran." Ferdi terus memprovokasi. "Semua pasti ada jalannya," ucap Lios kalem. "Ah, ingat ema ende di kampung, udah nggak sabar pingin nimang cucu," lanjut Ferdi. Dia menggunakan kata 'ema ende' yang berarti ayah ibu dalam bahasa Manggarai. Lios tersenyum sedih, "Nggak usah lo ingatin, Bro. Kalau jodoh pasti nggak akan ke mana." "Betul! Kalau Bulan adalah jodoh elo, dia pasti akan muncul di sini!" seru Ferdi dengan keyakinan entah dari mana. Lios tertawa, "Tadi gue udah telepon, dia lagi banyak kerjaan, nggak bisa pulang cepat." "Oh, sayang banget? Jangan sedih, Bro. Penggemar lo masih banyak di luar sana. Tinggal kedipin mata langsung dapat dua atau tiga enu molas!" Ferdi tertawa. Yang dia maksud 'enu molas' adalah nona cantik dalam bahasa Manggarai. "Huh, nggak heran lo nikah muda," ledek Lios. "Hei, jangan bawa-bawa masa lalu." Ferdi pura-pura marah. "Gue cek sound dulu," ujar Lios. "Oke. Sebentar lagi gue nyusul ke bawah." Lios pun beranjak. Dia melenggang menuju panggung kecil di sisi kiri. Sebuah keyboard berdampingan dengan piano elektrik. Lios memasang kabel-kabel yang tersambung ke sound system dan speaker dengan tangkas. Setelah itu dia mencari Baim, si operator sound system. Lima belas menit yang dibutuhkan Lios untuk mengatur segala hal. Baim mengeluarkan mic beserta stand-nya. Lios meletakkan stand mic di antara keyboard dan piano, jadi dia tinggal memutar sesuai kebutuhan. "Gimana? Beres?" Ferdi menghampiri Lios. "Oke." "Gue berpikir untuk beli mic yang lebih bagus. Tahu kan? Yang biasa dipakai artis-artis itu?" "Gimana baiknya, lo yang punya cafe." "Investasi." Ferdi tersenyum lebar. Lios mengangguk. Dia mulai memainkan keyboard. Jari-jari yang panjang menari di atas tuts keyboard, menghasilkan nada-nada harmoni. Lios memandang ke arah Baim di dalam bilik sound system. Baim mengangkat jempol. Suara bariton Lios menggema di dalam cafe. Bening! Melihat sahabatnya sudah asyik bernyanyi, Ferdi tidak mengganggu lagi. Dia memeriksa setiap bagian cafe, dari bar sampai pintu masuk. Cafe termasuk tempat hiburan malam, maka tidak boleh ada yang keliru atau menyalahi aturan. Resikonya berupa penyegelan. Mendekati jam buka cafe Lios sedikit tidak bersemangat. Namun bagaimanapun suasana hatinya, show must go on. Lios duduk-duduk bersama Baim dalam bilik sound system. Sesekali mengecek handphone. Tidak ada satu orang pun yang mengirim pesan singkat. Apa yang sedang dilakukan Bulan? Apakah masih di kantor? Pengunjung mulai berdatangan. Sebagian masih berpakaian rapi karena langsung datang dari kantor. Beberapa wanita muda mencuri-curi pandang ke arah Lios, berharap lelaki itu membalas pandangan mereka. Lios yang sudah terbiasa tetap bersikap cuek. Lagu-lagu Michael Bublé dinyanyikan Lios dengan penuh perasaan. Pengunjung terlena dengan kejernihan suara penyanyi. Saat itu Bulan dan Yunita tiba di RM Cafe. Mereka bertemu dengan Ferdi di dekat pintu masuk. "Hai, Bulan!" panggil Ferdi. "Hai juga." Bulan tampak berusaha mengingat nama lelaki lawan bicaranya. "Ferdi. Sudah lupa ya?" goda Ferdi. "Oh iya, sorry, lupa." "Nggak apa-apa. Lagian aku lelaki yang sudah berkeluarga, nggak boleh diingat sama wanita." Ferdi tertawa. "Ini teman sekantorku, Yunita. Yun, ini Ferdi, managernya Lios," kata Bulan memperkenalkan. Ferdi dan Yunita bersalaman. "Ayo, masuk dulu. Lios lagi perform. Kalian silakan pesan minuman, hari ini aku yang traktir, oke?" kata Ferdi. "Oke, thanks, Ferdi. Kami ke dalam dulu," kata Bulan menggandeng Yunita masuk. Mereka celingak-celinguk sejenak dan memilih meja agak dekat panggung. Bulan memandangi Lios dengan penuh kekaguman. Lelaki itu terlihat keren. "Wah, pantesan lo bisa suka. Keren," cetus Yunita. Bulan mengulum bibir tanpa memberi komentar, karena apa yang dikatakan Yunita adalah kenyataan. Lios melihat Bulan. Seketika wajahnya berubah cerah. Dia melempar senyum lebar ke arah wanita yang menarik hatinya. Bulan tersipu. "Sebuah lagu untuk seorang wanita cantik yang baru saja tiba," kata Lios dengan tatapan lurus kepada Bulan. Lagu cinta klasik berjudul L O V E dinyanyikan dengan sempurna oleh Lios. Suara baritonnya membuai indera pendengaran. "Ehm... Ehm... Lagu cinta nih," goda Yunita. Bulan sibuk mengirim kode supaya Yunita diam, tapi diabaikan. Wajah Bulan bersemu merah. Semua itu tidak lolos dari penglihatan Lios. Seulas senyum terkembang di bibirnya, menghiasi wajah tampan Lios, membuat wanita-wanita mendesah jatuh cinta. Menjelang malam Yunita mencari alasan untuk pulang. Melihat interaksi yang terjadi antara Lios dan Bulan hampir bisa dipastikan bahwa dunia akan menjadi milik mereka berdua.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD