1. Kesan Pertama
Bulan mengarahkan lensa kamera DSLR ke atas panggung. Sepasang matanya menatap tajam ke layar LED, mencari obyek yang menarik sekaligus artistik. Pesta sudah berjalan dan para tamu sedang menikmati santapan. Sepasang pengantin tampak berkeliling di antara tamu untuk bersapa-ria.
Sesosok lelaki hitam manis yang duduk di belakang grand piano berwarna putih membetot perhatian Bulan. Wajah lelaki itu tampak tenang menikmati alunan musik seolah tidak peduli terhadap keadaan sekitar. Bulan mengarahkan lensa dan mengambil beberapa foto.
River Flows In You dari Yiruma melantun dengan indah. Bulan kagum melihat sang pianis memainkannya dengan mata terpejam. Bulan juga menyukai lagu ini. Yunita melihat Bulan tidak berpindah tempat dari posisi semula selama lima menit. Biasanya Bulan akan bergerak ke setiap sudut untuk mencari foto bagus.
"Ohh pantesan...." Yunita tersenyum geli saat melihat kemana lensa kamera Bulan terarah.
Bulan nyaris tersungkur ke depan saat Yunita menepuk punggungnya kuat-kuat.
"Yeeee kesempatan aja lo!" ledek Yunita.
"Ssssssstttttt!!!" Bulan mendesis, "Gue lagi kerja nih... Kerja...!"
Yunita tertawa, "Iya deh. Sambil menyelam minum air."
Bulan segera mengarahkan lensa dan terkejut saat melihat sang pianis memandanginya. Bulan mengangkat wajah. Mereka pun bertatapan.
"Cieeee ketahuan nih ye!" Yunita menyikut rusuk Bulan.
"Ampun, heboh amat sih lo...," gerutu Bulan.
Lelaki hitam manis itu tersenyum pada Bulan, membuat jantungnya berdebar tidak karuan. Bulan membalas senyuman.
"Nanti juga ketemu lagi. Setengah jam lagi pestanya selesai kan?" kata Yunita.
"Iya sih."
Para tamu perlahan meninggalkan hall. Suasana menjadi sepi. Kru mulai membereskan peralatan. Bulan mengecek kembali foto-foto yang telah dijepretnya sepanjang pesta. Bagus. Semua bagus.
Operator sound system memutar lagu dari USB. Para penyanyi dan pemain musik dapat berbenah untuk pulang. Bulan yang masih sibuk dengan kamera tidak menyadari kalau dirinya menjadi perhatian tunggal seseorang.
Bulan mengangkat wajah saat melihat sepasang sepatu mengkilat berhenti di hadapannya. Matanya melebar melihat sesosok lelaki hitam manis berdiri menjulang.
"Hai, boleh kenalan?" tanya lelaki itu. Suaranya berat dan seksi.
"Boleh." Bulan mengulurkan tangan.
Lelaki itu menggenggam tangan Bulan dengan erat, "Ilios. Namamu siapa?"
"Aku Bulan."
"Nama yang bagus," puji Ilios.
"Ilios? Ada arti di balik nama itu?" tanya Bulan penasaran.
"Artinya matahari dalam bahasa Yunani," jawab Ilios kalem. "Oh ya, biar mudah panggil Lios saja."
"Matahari? Kita sama-sama benda langit yaa." Bulan tertawa, "Oke, aku panggil kamu Lios."
"Kamu fotografer?" Lios menunjuk kamera yang tergantung di leher Bulan.
"Ya, betul. Fotografer majalah wedding You&Me."
"Ohh. Semua foto itu akan masuk majalahmu?"
"Hmm... Nggak semua. Aku akan menyortirnya. Hanya yang cukup artistik yang bisa dimasukkan."
Lios mengangguk paham, "Apakah aku termasuk yang artistik?" tanyanya dengan senyum menggoda.
Bulan terpaku. Senyumnya menawan sekali!
Lios berdeham.
Bulan tersedot kembali ke dunia nyata, "Apa? Oh, foto? Iya, semuanya bagus," jawabnya tergagap.
Lios tertawa.
Bulan terpaku lagi. Suara tawanya merdu sekali. Menggugah selera.
"Hei. Kamu sering bengong." Lios melambaikan tangan di depan wajah Bulan.
Bulan tertawa gelisah, pipinya merona, "Kelamaan lihat kamera."
Lios menatap Bulan dengan kagum. Rona di pipi yang seputih pualam itu membuat Bulan terlihat cantik. Jantungnya berdebar. Apa lagi yang bisa diobrolkan tanpa membuat Bulan bosan?
Sejak awal pesta berlangsung Lios sudah mengunci pandangannya pada Bulan. Dia tertarik melihat wanita muda ini bergerak lincah di antara kerumunan. Meskipun Bulan memakai pakaian hitam-hitam serupa dengan kru lain tapi Lios dapat membedakan sosoknya.
"Aku suka lagu yang kamu mainkan tadi. Yiruma," kata Bulan menyambung percakapan.
"River Flows In You? Sedang populer selain Canon in D." Senyum manis tidak pernah meninggalkan wajah Lios.
"Apa lagi yang sering diminta pasangan pengantin?"
"Hmm... Beautiful in White masih cukup populer meskipun permintaannya tidak sebanyak beberapa tahun yang lalu."
"Tetap saja dasar musiknya Canon in D kan?"
"Kamu jeli juga," puji Lios.
"Bulan!" Yunita berteriak memanggil.
"Aku kesana sebentar ya. Kayanya penting," kata Bulan.
"Oke." Lios ragu. Apakah dia harus menahan Bulan?
Melihat Lios tidak memberi reaksi lebih, Bulan pun berlari menghampiri Yunita.
"Kenapa Yun? Suara lo gede banget deh sumpah!" Bulan tertawa.
"Mau ikut mobil kru nggak? Daripada pulang sendiri?"
"Mau, mau. Ikut dong," sahut Bulan cepat. Dia menoleh ke belakang dan tidak melihat sosok Lios. Hatinya sedikit kecewa. Mungkin lelaki itu sudah pulang duluan.
"Kenapa? Prince charming lo lenyap?" goda Yunita.
"Apaan sih. Nggak. Ayo jalan."
Mereka berdua pun menuju minivan milik kantor, berjejalan di dalam bersama kru vendor lain yang kebetulan tidak punya kendaraan pribadi sehingga harus menumpang mobil.
Tanpa setahu Bulan, Lios memperhatikannya dari dalam gedung. Hatinya sedikit kecewa karena Bulan pergi begitu cepat.
Handphone Lios berdering. Ferdi.
"Halo," sapa Lios tanpa semangat.
"Hei, Bro. Jadi ke cafe malam ini?" tanya Ferdi, sahabatnya sekaligus manager cafe.
"Jadi lah. Gue jalan sekarang."
"Oke, penggemar lo udah pada nungguin nih."
Usai percakapan Lios melajukan motor ke cafe tempatnya biasa tampil dengan keyboard. Perjalanan hanya butuh waktu limabelas menit. Lios masuk ke cafe dengan santai.
Ferdi melihat sosok Lios dan melambai, "Hai, Bro!"
Lios menghampiri Ferdi dan berjabat tangan.
"Loh, kenapa ini? Kok kurang semangat? Dompet lo hilang?" tanya Ferdi penuh perhatian. Dia memang peka dengan keadaan.
Lios menghela nafas, "Tadi gue kenalan, tapi gue lupa minta nomor handphone."
Tawa Ferdi meledak, "Bro! Yang benar aja!" Tangannya menepuk-nepuk punggung Lios
"Sial. Lo ketawa di atas penderitaan orang."
"Hahaha sorry Bro, gue bisa bayangin kesedihan lo. Cantik ya? Siapa namanya? Lo nggak lupa tanya namanya kan?"
"Cantik. Namanya Bulan." Lios menghela nafas lagi.
"Teman gue akhirnya berani kenalan sama wanita. Patut dirayakan! Ayo, bir atau sparkling wine?"
"Gue bawa motor, Bro. Mana boleh minum?"
Ferdi menyeringai. Dia tahu Lios tidak minum minuman beralkohol, tapi tidak ada salahnya menawarkan.
"Sudahlah, nggak usah dipikirin. Kalau jodoh nanti akan bertemu lagi," kata Ferdi dengan bijak.
"Gue harap begitu. Dia fotografer wedding jadi seharusnya kesempatan bertemu lagi lebih besar. Ya kan?"
Ferdi mengangkat bahu.
Setelah puas menumpahkan isi hati pada sahabatnya, Lios naik ke panggung kecil dan mulai bermain musik. Di cafe ini Lios adalah pemain musik sekaligus penyanyi. Warna suaranya tebal khas orang Indonesia Timur. Banyak wanita yang hatinya meleleh mendengar suara Lios, tapi tidak ada satu pun yang menawan hati Lios pada pandangan pertama seperti Bulan.
Ferdi memperhatikan para pengunjung wanita menatap Lios seperti pungguk merindukan bulan. Mereka tidak tahu bahwa sang Matahari telah menemukan Bulan-nya. Ferdi tertawa dalam hati, kalimat itu cocok dijadikan judul n****+.