Setelah dua jam perform tanpa henti, Lios harus mengistirahatkan pita suara. Dia berjalan dengan anggun ke meja tempat Bulan duduk manis. Lios menyadari bahwa wanita muda itu hanya seorang diri.
"Hei, kupikir kamu lembur?" sapa Lios.
"Ternyata nggak jadi." Bulan tersipu.
"Temanmu pulang?"
"Ada sedikit urusan, katanya."
"Oh, berarti kamu pulang sendiri? Kuantar ya?"
Bulan mengangguk. Itulah yang dia nantikan! Saat-saat berduaan dengan Lios.
"Akhirnya ada kesempatan ngobrol." Ferdi menghampiri dan menepuk punggung Lios kuat-kuat.
"Yah, sampai lo datang mengganggu." Lios meringis.
"Apa lagi yang lo pikirin, silakan antar pulang wanita cantik ini, Bro. Lo tega membiarkan dia nunggu sampai tengah malam?" Ferdi menyeringai.
"Yakin?" Lios melirik Ferdi.
"Yakin lah. Bulan udah jauh-jauh datang kemari, masa diabaikan?" Ferdi terus bicara.
"Karena bosku yang bicara mana boleh aku menolak. Ayo, Bulan, kita jalan," ajak Lios.
"Thanks, Ferdi." Bulan tersenyum manis.
"Sama-sama, Enu Molas." Ferdi menyeringai.
Bulan tertegun, "Apa?"
"Enu Molas. Nona Cantik dalam bahasa kami," jelas Ferdi.
"Oh."
Lios dan Bulan menuju parkiran motor. Jantung Bulan berdegup kencang. Diamati dari belakang lelaki ini terlihat jauh lebih tinggi. Lios memberikan helm berwarna merah cerah pada Bulan. Dia sudah mempersiapkan helm cadangan karena berencana menjemput Bulan di kantor.
"Thanks." Bulan memakai helm.
"Ayo naik."
Bulan sedikit grogi. Dia berpegangan pada bahu Lios untuk memanjat naik ke boncengan yang agak tinggi, khas motor racing.
"Udah? Pegangan ya," kata Lios.
"Emm... Oke." Bulan mencari-cari sebelum akhirnya berpegangan pada bagian pinggang jaket Lios.
"Cari tempat ngobrol?"
"Boleh." Bulan merasa sedikit malu karena dirinya terdengar pasrah.
Motor melaju meninggalkan RM Cafe. Lios sengaja tidak ngebut supaya Bulan tidak ketakutan. Angin dingin menyejukkan tubuh. Bulan memejamkan mata menikmati terpaan angin.
Mereka nongkrong di warung tenda yang menjual berbagai makanan ringan dan minuman. Tidak ada orang jadi tenda serasa milik berdua. Duduk bersebelahan di kursi panjang, Bulan dapat mengamati wajah Lios dengan lebih jelas.
Kata siapa kulit gelap kurang menarik? Di mata Bulan sosok Lios yang berkulit gelap justru terlihat seksi. Saat Lios menatapnya, Bulan mengalihkan pandangan. Keduanya persis anak remaja yang sedang malu-malu.
"Kamu udah lama main musik?" tanya Bulan.
"Lumayan. Sejak kuliah." Lios tersenyum menawan.
Bulan langsung merasa sesak nafas, "Oh, berapa tahun yang lalu?"
"Emm... Belasan tahun yang lalu."
"Umur kamu berapa?"
"Coba tebak." Lagi-lagi Lios memberikan senyuman yang mampu membuat jantung berhenti.
"Nggak mungkin terlalu jauh dariku kan?" Bulan bertopang dagu.
"Tiga puluh lima," ucap Lios.
Sepasang mata Bulan membulat, "Hah? Kita beda sepuluh tahun!"
Lios tidak berkomentar. Dia meneguk kopi hitam perlahan. Bulan memperhatikan diam-diam. Bahkan gaya minumnya saja anggun.
"Suaramu bagus. Aku senang mendengarnya," ujar Bulan. Tangannya memainkan sedotan dengan gelisah.
"Thanks. Senang kamu jadi penggemarku."
"Biasanya kamu perform sampai jam berapa?" tanya Bulan.
"Sampai jam dua belas. Ferdi belum cari penyanyi cadangan, jadi hampir setiap hari aku ada di cafe."
"Oh... Jam kerjamu kebalikan denganku ya."
"Sepertinya begitu."
"Kamu juga sering nyanyi di wedding?"
"Nggak terlalu sering. Kemarin kebetulan saja Ferdi dapat permintaan dari kenalannya."
Bulan mengangguk paham.
"Untung aku terima, jadi bisa kenalan denganmu," kata Lios tulus.
"Iya sih...," lirih Bulan dengan wajah merona.
"Kamu nggak apa-apa pulang malam? Nggak ada yang cari?" tanya Lios.
"Nggak lah. Aku kan udah gede." Bulan tertawa. Dia menyendok es batu untuk digigiti.
Lios terpana melihat tingkah Bulan, "Gigimu nggak sakit gigit es batu?"
"Nggak. Enak kok." Bulan tersenyum.
Lios terkekeh geli.
"Oh ya, tadi Ferdi bilang bahasa kalian, maksudnya apa?" Bulan teringat pada sebutan 'enu molas'.
"Bahasa Manggarai."
"Ohh Manggarai NTT ya? Kamu bukan kelahiran Jakarta?"
"Iya, betul. Kamu?"
"Aku mah lahir dan besar di ibukota. Nggak menarik."
Lios hendak mengatakan sesuatu tapi batal.
"Sering pulang kampung nggak?" tanya Bulan lagi.
"Biasanya aku pulang saat akhir tahun. Nggak ada yang bisa menggantikan suasana hari raya Natal bersama keluarga." Lios tersenyum lebar.
"Hmm... Aku nggak pernah merasakan yang namanya pulang kampung...." Bulan memainkan sedotan dalam gelas, mengaduk-aduk es batu yang sudah meleleh.
"Mungkin kamu harus pindah tempat tinggal supaya bisa pulang kampung," goda Lios.
Bulan tertawa, "Mungkin juga ya?"
Lios melihat kilat di ujung langit. Angin juga berubah semakin dingin. Dia menyadari Bulan hanya memakai kaos tipis biasa.
"Kayaknya mau hujan. Kita pulang?" ajak Lios.
"Ayo." Bulan juga tidak mau kehujanan.
Motor segera melaju membelah kegelapan malam. Perjalanan masih jauh dari rumah Bulan dan titik-titik air hujan sudah turun. Saat gerimis bertambah deras Lios menepikan motor ke sebuah warung makan. Mereka berdua berteduh di dalam warung.
"Hih, hujannya lebat banget." Bulan bergidik.
Lios melepas jaket dan menyampirkannya ke bahu Bulan. Kehangatan tubuh Lios masih tertinggal di jaket membuat Bulan merasa nyaman.
"Thanks...," lirih Bulan.
"Minum yang hangat ya?"
Bulan mengangguk.
Lios memesan segelas teh manis hangat untuk Bulan dan segelas air hangat untuk dirinya. Mereka duduk berdiam diri memandang hujan. Kilat dan guntur bersahutan dengan dahsyat.
"Kamu nggak dingin?" tanya Bulan.
"Nggak."
Bulan bergeser mendekat, "Berbagi kehangatan."
Jantung Lios berdegup kencang. Wanita yang disukai berinisiatif mendekat padanya, sampai mati juga tidak boleh ditolak. Bulan sedikit bersandar pada Lios, dalam hati setengah berharap supaya lelaki itu merangkulnya. Tapi Lios tahu kesopanan, dia tidak mau memanfaatkan situasi. Hingga hujan reda posisi mereka pun tidak berubah.
Bulan sedikit kecewa dengan sikap pasif Lios. Dia berharap situasi bisa berubah menjadi romantis seperti dalam drama korea. Apakah Lios bukan lelaki romantis? Bulan ragu, karena di atas panggung Lios suka menyanyikan lagu romantis.
"Hujannya lama juga. Mudah-mudahan nggak banjir," cetus Lios.
"Harusnya sih nggak, soalnya jalanan kan udah tinggi semua." Bulan menggeliat. Pinggangnya pegal karena bersandar terlalu lama.
"Tunggu sebentar lagi. Masih gerimis." Lios melongok ke luar.
"Oke." Bulan menguap.
"Biasa tidur cepat ya?"
"Hmm... Kadang-kadang." Mata Bulan mulai terasa berat.
"Sandaran aja sini." Lios merangkul Bulan tanpa peringatan.
Bulan terkesiap. Harapannya menjadi kenyataan! Wajah Bulan merona. Kini pinggangnya tidak terasa pegal lagi. Diam-diam mereka berdua berharap supaya hujan tidak berhenti.
Sayangnya Tuhan tidak mendengarkan harapan mereka. Hujan berhenti tak bersisa. Orang-orang yang ikut berteduh mulai bergerak meninggalkan warung sehingga hanya tersisa Bulan dan Lios.
"Ayo pulang," kata Lios.
"Ini jaketmu." Bulan melepas jaket di tubuhnya dab mengembalikan pada Lios.
"Kamu pakai aja."
"Eh... Tapi nanti kamu kena angin dingin." Bulan ragu.
"Aku kan lelaki. Dingin sedikit nggak apa."
"Ya udah, kupakai...."
Lios memberikan helm kepada Bulan dan menstarter motor. Bulan memanjat naik ke boncengan. Saat motor melaju terasa terpaan angin yang sangat dingin. Hati Bulan merasa iba terhadap si pengendara motor. Perlahan dia mencondongkan tubuh ke depan dan melingkarkan kedua lengan di pinggang Lios.