4. Pendekatan Johan

1004 Words
Kini instrumental piano menjadi lagu wajib dalam menemani Bulan bekerja, khususnya lagu-lagu dari Yiruma. Sambil bekerja sambil berkhayal, membayangkan ngobrol berdua dengan Lios. Benar-benar khayalan tingkat tinggi. Hingga hari ini Lios belum menelepon satu kali pun. Kalau dihitung sudah tiga hari sejak pertemuan mereka di event wedding You&Me. Bulan sempat mempertimbangkan untuk menghubungi lebih dulu, tapi urung karena malu. Begini-begini Bulan belum pernah pacaran loh. "Bulan, boleh minta tolong sortirkan foto-foto ini? Gue cuma butuh foto pasangan, bukan yang sendiri. Kalau udah kasih tahu ya?" Johan meletakkan sebuah memory card di meja Bulan. "Oke, tapi habis retouch antrean kerjaan gue," cetus Bulan. "Nggak masalah. Ngomong-ngomong lo makan siang di mana? Mau barengan?" tanya Johan. "Hmmm... Paling di kantin sama Yun-yun. Kalau mau ikut aja." Bulan tidak mengalihkan pandangan dari laptop. "Ya udah. Tungguin gue ya." Johan kembali ke mejanya. Bulan bergidik. Sulit menolak ajakan makan siang bersama karena mereka sekantor dan akan bertemu juga di kantin gedung. Paling tidak ada Yunita yang dapat menetralisir keadaan. Kalau sudah tidak tahan Bulan dapat meninggalkan Yunita bersama Johan. Sedikit jahat sih karena membiarkan teman sendiri menjadi tameng, tapi Bulan percaya Yunita dapat menolak kegenitan Johan. Me-retouch foto adalah kesenangan tersendiri bagi Bulan. Foto yang bagus dapat dibuatnya terlihat artistik dengan memperbaiki pengaturan cahaya dan kontras. Bulan hanya menggunakan program dan teknik sederhana untuk retouch. Jika ingin hasil yang lebih menakjubkan Bulan akan menyerahkannya pada Yunita sang desainer grafis. Tiba jam istirahat, Bulan menghampiri Yunita yang asyik bekerja sampai lupa waktu. Bulan menarik kursi dan duduk di samping temannya. "Yun, Johan mau makan bareng kita. Ayo, turun," kata Bulan dengan nada merajuk. "Iya... Sebentar lagi...." Tangan kanan Yunita menggerakkan mouse dengan tangkas sementara tangan kirinya menekan tombol shortcut tanpa melihat keyboard. Terlihat sekali Yunita sangat menguasai bidang pekerjaannya. "Lo kerja kayak robot, Yun," ledek Bulan. "Robot yang digaji. Nggak masalah." Yunita menjawab dengan cuek. "Buruan di-save kerjaan lo." "Kenapa?" "Siapa tahu mendadak mati listrik." Yunita langsung menekan tombol Ctrl dan S. Wajahnya lega, "Oke, beres. Lo bilang apa tadi? Johan mau ikut? Mana orangnya? Sekarang udah jam dua belas lewat lima menit." "Oh iya, mana dia?" Bulan memanjangkan leher. Sosok Johan tidak nampak. "Udah turun duluan, kali?" celetuk Yunita. "Iya, mungkin. Bagus deh. Gue pusing kalau harus ngobrol sama dia." Yunita tertawa, "Nggak seburuk itu lah. Masa kayak alergi?" "Nggak ngerti gue. Pokoknya nggak suka aja." "Ya udah. Kita turun yuk." "Let's go! Gue udah lapar pakai banget!" Kedua wanita muda itu berderap menuruni tangga. Gerak badan sedikit baik untuk menambah nafsu makan, lagipula tidak ada lift di gedung yang cuma memiliki empat lantai ini. Tidak heran hampir semua karyawannya bertubuh proporsional. "Mak, hari ini menunya apa?" tanya Bulan pada seorang wanita paruh baya yang sedang melayani pembeli. "Macam-macam, Neng. Dari nasi rames sampai gado-gado, dari soto sampai sate, tinggal pilih aja." cerocos Mak Ita. Tangannya bergerak gesit mengambil makanan untuk pembeli yang berjubel. "Maksudnya yang istimewa, Mak," timpal Yunita. "Ooohh itu. Ada cabe rawit, Neng. Mau segenggam juga Mak kasih dah," goda Mak Ita. Tawa mereka meledak berbarengan. "Hei, ketemu juga! Gue pikir kalian makan di luar." Johan menghampiri. Refleks Bulan menempatkan diri di belakang Yunita. Johan menangkap gerakan itu. Wajahnya sedikit kecewa. "Mak, aku bungkus ya? Lagi banyak kerjaan," kata Bulan pada Mak Ita. "Oke, Neng. Siap! Jadi nggak cabe rawitnya?" "Nggak!" Bulan tertawa. Johan menatap Bulan dengan sorot mata dipenuhi kekaguman. Baginya suara tawa Bulan terdengar merdu bagaikan dentingan dawai harpa. "Ya udah, gue naik dulu ya. Sorry nggak bisa barengan." Bulan segera meninggalkan kedua temannya tanpa menunggu reaksi mereka. "Oke, oke," sahut Yunita. Hatinya berbunga karena bisa makan siang berdua dengan Johan. "Dia benar-benar menghindari gue," desah Johan. "Nggak lah. Gue tahu kerjaannya hari ini banyak banget kok," bela Yunita. "Oh ya?" Johan menyahut tanpa semangat. Setidaknya ada Yunita yang imut-imut bersamanya. Johan merangkul Yunita. Nyaman juga merasakan tubuh mungil dalam pelukan. Tiba di atas Bulan segera menghabiskan makanannya dengan cepat. Takut ketahuan. Sebenarnya karyawan dilarang makan di meja kerja, kecuali kalau tidak ketahuan. Handphone Bulan berdenting merdu tanda ada pesan singkat masuk. Mata Bulan membulat melihat nama pengirimnya. Lios! Jantung Bulan berdegup kencang. Perutnya langsung terasa mulas. 'Hai, Bulan. Lagi ngapain?' tanya Lios. 'Baru habis makan. Kamu? Lagi sibuk?' balas Bulan. 'Nggak, lagi latihan aja' 'Latihan apa?' 'Keyboard, untuk nanti malam' 'Nanti malam?' 'Live music di cafe milik Ferdi' 'Oohh setiap malam?' 'Betul sekali. Mau mampir? Kalau mau kujemput nanti sore' 'Nama cafenya apa?' 'RM Cafe' 'Sore ini kayaknya aku nggak bisa, banyak kerjaan' 'Oke, nggak apa, lain waktu aja' 'Kalau keburu aku mampir ya' 'Oke' Obrolan singkat tadi membuat Bulan tersenyum bahagia. Tidak ada yang dapat merampas kebahagiaan ini, bahkan tidak juga Johan yang bersikap sok akrab. Bulan mencari tahu tentang RM Cafe beserta alamat lengkapnya. Dia ingin memberi kejutan pada Lios. "Wah, mukanya bahagia sekali? Baru ditelepon pacar nih kayaknya?" goda Johan yang dengan sengaja lewat dekat meja Bulan. "Nggak ah, kata siapa? Biasa aja." Bulan berusaha untuk tidak terdengar ketus. "Sore gue antar pulang, mau?" tanya Johan. "Nggak usah. Gue mau pergi sama teman." "Oh ya? Siapa? Cowok?" "Mau tahu aja sih? Bukan urusan lo, Jo." Bulan mulai keki. "Mau tahu dong, kan gue padamu." Johan mengerling. Bulan menyesal melihat kerlingan itu. Perutnya mual. Bukan dibuat-buat, dia benaran mual. "Udah ah, gue banyak kerjaan. Sorry ya, Jo, gue nggak ngobrol lagi. Semuanya harus selesai hari ini." "Oke, selamat bekerja." Sepeninggal Johan, Bulan kembali fokus pada laptop. RM Cafe muncul di daftar pencarian. Website buatan pribadi? Menarik juga. Bulan masuk ke website RM Cafe. Halaman latar belakang menceritakan asal nama RM Cafe, yaitu Reba Molas, yang berasal dari bahasa Manggarai, salah satu suku di Flores NTT. Kedua kata itu memiliki makna 'tampan dan cantik'. Apakah itu tempat asal Lios? Bulan termenung mengingat sosok Lios. Wajahnya memang khas orang Indonesia Timur sih. Ada beberapa foto Lios terpampang di halaman galeri. Bulan memandanginya sambil bertopang dagu. Kelakuannya persis seperti gadis remaja yang sedang jatuh cinta. "Lios...," desah Bulan. Tersadar dari lamunan, Bulan cepat-cepat menutup website RM Cafe. Pipinya merona tanpa ada yang memperhatikan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD