7. Menjemput Bulan

1035 Words
Senyum tidak pernah meninggalkan wajah Bulan. Tidak peduli pekerjaannya begitu banyak hingga rasanya mustahil diselesaikan, atau saat Cik Susan mengoceh karena Bulan terlalu banyak bengong, senyum itu tidak pernah lenyap dari wajahnya. Yunita yang memperhatikan dari jauh juga bisa menebak Bulan sedang berbunga-bunga. Pasti ada sesuatu yang menarik terjadi semalam. Yunita meremas kertas jadi gumpalan besar dan melemparnya ke arah Bulan, tepat mengenai dahi. Tidak disangka temannya itu cuma melirik gumpalan kertas sekilas lalu kembali melamun. "Heh, bengong aja...," desis Yunita yang nekat menghampiri meja Bulan. "Hmm? Apa? Nggak?" Bulan tersentak. Tangannya menggerakkan mouse asal-asalan. "Apanya nggak? Jelas-jelas gue lihatin dari tadi muka lo cengengesan nggak jelas...," kata Yunita dengan suara pelan. "Gue cuma ingat sesuatu yang lucu, Yun." Bulan merona. "Ini pasti ada hubungannya sama Lios. Muka lo nggak bisa bohong. Sampai merah gitu hahaha." Bulan mendesis seperti kucing marah. "Nanti cerita ya? Semalam ngapain aja sama Lios." Yunita terkikik genit. "Iya, nanti pas makan siang. Dah balik sana sebelum dijitak Cik Susan." Yunita pun bergegas kembali ke mejanya. Caranya berlari persis seperti serdadu di medan perang, tubuh sedikit membungkuk dengan kedua tangan melindungi kepala. Bulan terkekeh geli melihat tingkah temannya. "Bulan, gimana foto yang gue titip kemarin? Udah belum?" Johan menghampiri. Senyum hilang dari wajah Bulan, "Udah. Nih." Dia mengembalikan flashdisk milik Johan. "Oke, thanks." Saat mengambil flashdisk Johan sengaja menyentuh telapak tangan Bulan dengan ujung jarinya. Bulan cepat-cepat menarik tangannya. "Hari ini kayaknya bahagia banget? Baru dapat lotre ya?" tanya Johan. "Nggak ah, biasa aja." "Hmm... Nanti siang barengan ya?" "Lihat aja nanti." Bulan sudah memperhatikan entah apa di laptop. Rambut panjangnya sengaja dikibaskan menutupi wajah. Kode keras bagi Johan untuk berhenti bicara. Untung Johan cukup tanggap. Dia melenggang pergi sambil bersiul-siul. Tidak ada insiden berarti hingga jam makan siang. Bulan hanya sibuk memilah foto berdasarkan kategori, setelah itu melihat-lihat ke studio di lantai tiga. Iseng-iseng Bulan mengecek peralatan studio. Ketika Johan menyusul ke atas Bulan bergegas turun. Bulan menunggu jam dua belas tiba sambil duduk di meja Yunita. Dia memperhatikan cara kerja Yunita. Sesekali bertanya tentang fungsi program desain yang digunakan. Bulan juga menggunakan program yang sama, hanya saja levelnya tidak secanggih Yunita. Ketika jam dua belas tiba semua orang seolah dikomando untuk meninggalkan meja. Langkah kaki berderap menuruni tangga menuju satu tujuan: kantin. "Ayo, cerita!" Yunita meletakkan mangkok berisi bakso rusuk dengan hati-hati. "Tunggu, makanan gue belum datang. Oh, itu dia!" Bulan melambai. Seorang anak muda meletakkan sepiring besar mi goreng di hadapannya. "Porsi makan jumbo," celetuk Yunita. "Pagi gue nggak sarapan, Yun. Ini jatah dua kali makan." "Alasan aja. Lapar apa rakus?" ledek Yunita. "Suka-suka lo deh." Bulan mulai makan. "Jadi gimana? Cerita dong?" pinta Yunita antusias. "Semalam Lios antar gue pulang. Terus kehujanan kan. Kita berteduh dulu. Dia pinjamin jaketnya sampai depan rumah." Yunita melongo. Apanya yang seru? "Dingin banget semalam, Yun. Dia bawa motor nggak pake jaket pasti kedinginan. Tapi disuruh pakai jaketnya lagi juga nggak mau." "Terus?" Yunita mengernyit. "Terus gue peluk deh biar hangat." Bulan menggigit bibir. Pipinya memerah. "Oooohhh rupanya begitu? Menghangatkan badannya mesra banget?" goda Yunita. "Sumpah, gue masih deg-degan kalau mikirin semalam. Kira-kira dia gimana ya?" "Cieeee hahaha nanti lo tanya aja?" Yunita berdeham. Dia pasang muka serius dan berbicara dengan suara diberat-beratkan, "Bulan, aku nggak bisa berhenti mikirin kamu. Mau nggak jadi pacarku?" Kedua wanita itu lalu memekik tertahan. Wajah Bulan makin memerah. Yunita tertawa puas. Kelakuan mereka seperti anak remaja. "Nanti ketemu lagi? Lo ke cafe apa dia jemput?" tanya Yunita. "Nggak tahu. Belum ada kabar dari dia." "Jangan-jangan saking shock-nya dapat pelukan cinta dari wanita pujaan." Yunita tertawa terbahak-bahak. "Wah, jangan dong. Kasihan gue kalau dia menghilang alias ghosting." Bulan merengut. "Coba aja lo sms dia. Jaman sekarang kan nggak masalah cowok atau cewek yang inisiatif." "Lihat nanti lah." Mereka berdua ngobrol dengan serunya sampai Bulan tidak menyadari Johan datang dan duduk di sebelahnya. "Hai, Cantik. Kok nggak tungguin gue?" Johan merangkul Bulan. "Apaan sih?" Bulan menepis rangkulan itu. "Kan tadi kita janjian?" ujar Johan. "Gue nggak ingat tuh," ketus Bulan. "Ingatlah. Kalau nggak mana mungkin lo menghindar?" Johan memiringkan tubuhnya ke arah Bulan. "Gue naik duluan, Yun." Bulan berdiri sehingga Johan nyaris jatuh. Tanpa menunggu jawaban Yunita, Bulan meninggalkan kantin. "Huh, jual mahal banget sih...," gerutu Johan. Yunita tersenyum gelisah. "Lo nggak ikutan?" Johan menatap sosok mungil Yunita. Ada sedikit rasa tertarik, tapi bukan perasaan, hanya fisik. "Makan gue belum kelar," sahut Yunita. "Kirain mau ikutan teman lo." Johan tertawa. Yunita tidak menanggapi. Dia menunduk menikmati semangkok baksonya. "Waktu itu lo bilang ada yang pedekate sama Bulan? Gimana lanjutannya?" tanya Johan. "Kayaknya lancar." Yunita sedikit keki karena Johan hanya tahu bertanya tentang Bulan. "Hmm... Dia benar-benar nggak suka gue ya," gumam Johan. "Lo kenapa suka Bulan?" Yunita tidak dapat menahan rasa ingin tahu. "Semakin ditolak gue semakin berminat." Johan tersenyum jahat. Sementara itu Bulan sudah duduk manis di mejanya... Lima menit telah berlalu dan Bulan hanya menatap handphone di tangan. Dia ingin mengirim pesan singkat pada Lios, tapi ragu-ragu. Apa yang harus dikatakan? Bagaimana kalau Lios sedang sibuk? Akhirnya Bulan nekat. Dia mengetik dengan cepat dan mengirimnya dengan cepat sebelum sempat menyesal. Hanya tiga patah kata 'Hai, lagi ngapain?'. Bulan terkejut saat handphonenya berdenting tanda ada pesan masuk. Lios membalas dengan cepat! Tangan Bulan sedikit bergetar. 'Aku baru sarapan. Sekarang sedang latihan,' balas Lios. 'Oh, nanti malam ke cafe ya?' tanya Bulan. 'Ya. Mau ikut? Sore kujemput.' 'Boleh.' 'Pulangnya jam lima ya?' 'Iya, betul.' 'Oke, sampai nanti.' Jantung Bulan berdegup kencang. Nanti sore Lios mau menjemput! Bulan tahu jika mau pulang tepat waktu dia harus membereskan semua pekerjaan yang ada supaya tidak ditahan untuk lembur. Dia bergegas memeriksa daftar pekerjaan untuk hari ini dan besok. "Ayo Bulan... Semangat...!" bisik Bulan pada dirinya sendiri. Untunglah sepanjang sisa hari ini Johan tidak memberi pekerjaan tambahan. Bulan sedikit santai karena belum ada foto baru yang harus di-retouch. Jam lima tiba tanpa hambatan. Bulan mematikan laptop, membereskan meja, mengambil tas kerja, dan berjalan menghampiri Yunita yang masih asyik berkutat dengan pekerjaan. "Yun, gue duluan ya. Lios jemput...." Bulan merendahkan suara. "Oke, selamat bersenang-senang!" pekik Yunita. Johan mengamati tindak-tanduk kedua wanita itu dari kejauhan. Dia membuntuti Bulan ke bawah. Dilihatnya Bulan berlari kecil menghampiri seorang lelaki yang duduk di atas motor. Tangannya mengepal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD