Mendengar tawaran dari mantan calon mertuanya Leandra tidak langsung menanggapi. Entah dirinya yang selama ini tidak peka atau memang bodoh, sampai tidak menyadari semengerikan apa wajah asli di balik topeng yang mereka kenakan.
Semua tegang menunggu jawaban dari Leandra. Sakha meremas pelan cekalan tangannya saking cemas akan mendapat penolakan. Tidak, dengan cara apapun dia akan membuat Leandra tetap di sisinya. Sekarang dia menyesal sudah tergoda rayuan Davina.
“Bagaimana, Pa? Menurut Papa, apakah kali ini aku juga harus mengalah ke Vina?” Leandra melempar pertanyaan cibiran itu ke papanya.
Dada Tama Wicaksana mencelos. Lean seperti menaruh pisau di tangannya, lalu memintanya memilih siapa yang akan dibunuh. Kejam! Mana bisa seperti itu, sedang keduanya sama-sama anak kandung.
“Makin kurang ajar dia ke orang tua, karena merasa di atas angin!” ketus mama tiri Lean.
“Atau aku tanya saja ke Vina. Apa kamu benar-benar akan bunuh diri, kalau pisah dari Sakha?” tanya Lean langsung dijawab oleh adiknya lantang.
“Iya, lebih baik aku mati daripada tidak bisa mendapatkan Bang Sakha!”
Leandra terkekeh. Bahkan setelah dicampakkan tanpa perasaan, Vina masih kukuh menginginkan pria b******k ini.
“Padahal aku sudah membuangnya untukmu, tapi lihatlah dia malah mengemis memintaku untuk tidak pergi! Sampai-sampai darah dagingnya sendiri dia suruh gugurkan. Masih tidak sadar juga, baginya kamu hanya pemuas nafsu. Lebih hina dari p*****r yang setelah dijamah masih mendapat bayarannya. Lha, kamu dapat apa selain hinaan?!” ucap Lean gedeg dengan ketololan adiknya.
“Tidak usah banyak mulut dan sok bijak. Kamu sudah bilang tidak sudi menerima Sakha lagi, jadi jangan tidak tahu malu menjilat ludah sendiri!” bentak mama tiri Lean.
“Tolong mengalah, Lean! Kamu masih bisa mendapat pria yang lebih baik dan setia. Adikmu sudah terlanjur hamil dan cinta mati ke Sakha. Biar bagaimanapun anak di perut Vina juga keponakanmu. Kasihanilah mereka. Ya?” bujuk papa Lean terpaksa meminta putri sulungnya menyerahkan calon suaminya untuk Vina.
Leandra tertawa dengan air mata berderai menatap papanya. Memang apa yang dia harap dari papa sialannya itu? Pada akhirnya pisau itu tetap dihujamkan di jantungnya. Dia lagi yang dikorbankan demi anak kesayangan mereka. Semua sudah selesai, karena dia sudah mati di tangan papanya sendiri.
Sakha dan mamanya menatap Lean lekat begitu merasakan tangannya gemetar. Mengangguk, Leandra menatap nanar wajah papanya yang terlihat buram karena terhalang air mata. Dia berjanji ke dirinya sendiri. Ini terakhir Lean membiarkan dirinya tersakiti.
“Jangan dengar mereka, Lean! Kalau karena alasan anak, tinggal tunggu sampai bayi itu lahir dan kamu bisa merawatnya bersama Sakha. Kita akan beri kompensasi yang sepadan untuk Vina. Gampang, kan? Tidak ada lagi masalah,” ucap mama Sakha makin membuat Leandra muak.
Dia meronta kasar melepas tangan mereka. Sakha gelagapan ingin menyambarnya lagi, tapi Lean mundur dan menuding penuh peringatan.
“Berani menyentuhku dengan tangan kotormu, aku tidak akan berpikir dua kali untuk membuatmu babak belur! Kamu pasti tahu, aku lebih dari mampu melakukan itu!” ancam Leandra, hingga Sakha tidak berkutik.
“Jangan bilang kamu benar-benar pilih menyerah, Lean! Bilang ke Tante, apa maumu? Sakha tidak akan bisa tanpa kamu!” Sinta mulai was-was.
“Aku tidak tahu kenapa bisa sesial ini terjebak diantara orang-orang egois seperti kalian. Sejak awal kalian sibuk memikirkan ego dan nama baik, tanpa peduli sedikitpun aku yang tersakiti," desis Lean geram.
“Drama!” cibir Vina mendecih keras.
“Iya, benar-benar drama yang memuakkan dan aku tidak sudi mengambil peran di dalamnya! Silakan teruskan, tanpa menyeretku untuk kalian tumbalkan demi ego dan menjaga nama baik!” tegas Leandra.
“Lean, tolong pikirkan lagi. Jangan buru-buru mengambil keputusan!” bujuk Irwan Ardhana.
“Betul kata ommu, kamu hanya perlu mengangguk dan hal apapun kami yang akan bereskan. Ya?” timpal mama Sakha.
Leandra tersenyum sinis menatap mantan calon mertuanya. Tidak menyangka orang yang tadinya dikira baik, ternyata sama saja tak punya hati.
“Tante masih punya hati, tidak?” tanyanya seketika merubah raut wanita itu jadi kaku.
“Kalau aku tidak punya hati, maka tidak sudi menerimamu sebagai menantu setelah melihat sebejat apa keluargamu!”
“Hm, mereka memang sebejat itu. Sama seperti kelakuan anak kesayangan Tante yang selingkuh dan menghamili calon iparnya sendiri, bahkan tega menyuruh Vina menggugurkan darah dagingnya!” balas Lean membungkam mulut congkak mama Sakha.
“Leandra! Jangan kurang ajar ke mama!” tegur pria tidak tahu malu itu.
“Dan kamu adalah pria paling b******k dan tidak tahu malu, Kha. Ngotot memintaku bertahan setelah berkhianat dengan adikku. Kamu tidak seberharga itu untuk aku perjuangkan, sialan!”
Leandra menatap mereka satu persatu. Sampai mati pun dia akan ingat terus bagaimana mereka sudah menyakitinya sedemikian hingga.
“Tante juga perempuan, tapi seenak jidat memintaku bertahan dan merawat anak hasil selingkuh Sakha dan adik saya. Bagaimana kalau Tante berada di posisi saya? Apakah mau memaafkan suami yang sudah selingkuh dengan adik Tante sendiri, juga merawat bayi hasil perselingkuhan mereka? Mau?!”
Tidak bisa menjawab. Muka mama Sakha merah padam menahan marah sekaligus malu.
“Jangan karena banyak harta lalu berpikir bisa seenaknya! Saya tidak semenyedihkan itu sampai harus merendahkan harga diri untuk kalian injak-injak!” ucap Leandra tanpa takut sedikitpun membalas tatapan tajam Nyonya Ardhana.
“Mulutmu ternyata pedas juga. Dikasih hati, malah tidak tahu diri!”
“Anggap saja seperti itu, karena sikap saya ke orang juga tergantung bagaimana dia bersikap ke saya! Jadi sekarang sudah jelas, kan? Saya tidak sudi menikah dengan Sakha. Mulai sekarang hubungan kami selesai sampai di sini!” ucap Lean, lalu menoleh ke papanya.
Pria tua itu terlihat canggung mendapat tatapan tajam dan tidak mengenakan dari anaknya. Mata sembab memerah Leandra yang menyimpan beribu luka mendalam seperti menampar telak Tama Wicaksana. Dia tahu, dirinyalah yang menoreh luka itu.
“Ini terakhir aku membiarkan Papa menyakitiku. Anggap aku sudah mati. Aku tidak butuh rumah, di mana keberadaanku tidak pernah dianggap. Ingat! Karma itu ada, dan sekarang kalian sedang menuainya!”
“Bocah sialan! Berani kamu menyumpahi kami!” teriak Tari.
“Lihat sehina apa anakmu sekarang! Kalaupun dia menikah dengan Sakha, kalian pikir dia bisa bahagia hidup bersama suami dan mertua seperti mereka?! Neraka kalian baru saja dimulai. Nikmati itu!” ucap Leandra sebelum kemudian melangkah pergi dari sana, tanpa menoleh sedikitpun.
Menulikan telinga, dia tidak peduli dengan umpatan dan caci maki mereka. Sakha berusaha mengejar dan berhasil menyambar tangan Lean yang meraih gagang pintu. Namun, kali ini Leandra membuktikan ancamannya. Dia menghempas cekalan tangan Sakha, lalu menghantamkan jotosannya yang mengenai muka tampannya. Tidak cukup sampai disitu. Leandra juga menendang perut Sakha yang masih meringis syok hingga terjungkal ke belakang.
“Apa-apaan kamu, Leandra!” teriak mama Sakha, tapi Lean hanya menyeringai sinis dan berbalik pergi begitu saja.
Begitu keluar dan pintu di belakangnya tertutup, tangis Leandra pun pecah. Melangkah terseok dengan d**a berdenyut nyeri. Luar biasa Tuhan kali ini memberinya rasa sakit, sampai-sampai rasanya dia sudah tidak kuat dan ingin menyerah.
Tangannya terkepal gemetar ketika berdiri di lift. Dia tidak peduli beberapa orang di sana yang menatapnya cemas, karena terlihat kacau dan tangan belepotan darah.
“Ada yang bisa dibantu? Kamu kenapa? Tanganmu sepertinya terluka?” cecar seorang wanita paruh baya yang berdiri di sampingnya.
Lean menggeleng. Bahkan orang lain masih menaruh iba dan khawatir melihat keadaannya sekarang, tapi papanya justru tidak berusaha mengejar, apalagi peduli. Dia hanya khawatir Vina yang mengancam akan mati, tapi tidak peduli dirinya yang bahkan nyaris sekarat.
Keluar dari lift Lean bergegas meninggalkan lobi apartemen yang selama ini sudah seperti rumahnya sendiri. Seperti orang tidak waras, Leandra melangkah tanpa tujuan dengan air mata yang terus mengalir.
Sampai kemudian dia berhenti di taman kota, dan duduk dengan tatapan menerawang kosong. Tidak ada lagi yang tersisa di hidupnya. Semua hancur dan mengkhianatinya tanpa perasaan. Lima tahun dia mati-matian berjuang untuk membuktikan ke papanya, kalau dia bisa sukses meski tanpa dukungan mereka. Lean juga sedang memantaskan diri supaya bisa mengangkat wajahnya di depan keluarga Ardhana. Namun, seperti inilah akhirnya.
“Salahku apa, Tuhan? Kenapa aku harus Engkau uji dengan rasa sesakit ini?"
Leandra menangis tergugu memukul-mukul dadanya yang berdenyut nyeri. Sampai kemudian dia menoleh ketika seseorang tiba-tiba duduk di sebelahnya. Tadinya dia kira Sakha, tapi ternyata bukan.
“Aku hanya kebetulan lewat. Tidak aman wanita duduk sendirian di taman tengah malam begini,” ucap pria itu meraih tangan Leandra, lalu tanpa bertanya kenapa dia membalut lukanya dengan sapu tangan.
Tangis Lean makin menjadi, tersedu-sedu menatap balutan di tangannya. Dia hampir gila dengan alur cerita hidupnya. Mati-matian untuk selalu terlihat bahagia dan baik-baik saja, padahal dihajar habis-habisan oleh keadaan yang melukai hatinya dan merusak mentalnya. Terlalu menyakitkan ketika terluka oleh orang yang dia anggap tidak akan pernah melukainya.
“Tolong aku, Vian! Sakit ….”
Pria yang sedari tadi menatapnya lekat tanpa tanya itupun mendekat, lalu memeluk Leandra. Membiarkannya menumpahkan tangis di pelukannya.
“Tidak apa-apa. Semua pasti akan baik-baik saja. Kamu kuat, Lean!”
Dan pria itu meminjamkan pelukannya sampai tangis Lean mereda. Dia tetap diam, tanpa bertanya apapun.
“Mau ke rumah sakit? Lukamu harus segera diobati. Kamu dokter bedah. Tangan bagimu penting untuk operasi.”
Leandra menggeleng. Lukanya memang cukup dalam, tapi dia bisa mengobatinya sendiri nanti setelah pulang. Pulang? Lean tersenyum getir. Di sana bukan rumahnya lagi. Ke apartemen pasti Sakha tidak akan berhenti mengusiknya. Dia sangat tahu sekeras apa wataknya saat sudah menginginkan sesuatu.
“Ayo, aku antar pulang!” ajak Vian menawarkan bantuan.
“Pulang kemana?” gumam Lean tertawa miris.
Vian menghela nafas panjang dengan tatapan bimbang. Melihat Leandra seperti ini pasti permasalahannya ada hubungan dengan keluarga atau calon suami. Kalau tidak, mana mungkin dia menangis sendirian disini dan menolak pulang.
“Ikut aku! Mau? Anggap saja aku sedang balas budi.”
Leandra menoleh. Dia adalah Vian Daniswara. Orang yang pernah dia selamatkan saat kecelakaan, dan jadi pasiennya. Pria yang punya hubungan dekat dengan pemilik rumah sakit tempatnya bekerja sekarang.
“Ayo!” ajak Vian.