Sempat ragu, Lean akhirnya menerima tawaran Vian setelah memastikan kemana pria itu akan membawanya pergi. Bukan curiga dia akan berbuat jahat, karena Lean sangat tahu Vian orang baik. Cuma masalahnya selama ini dia tinggal bersama keluarga angkatnya. Akan semalu apa Lean kalau dibawa menginap disana, sedang mereka masih ada hubungan ipar dengan pimpinan rumah sakit tempatnya bekerja.
Sepanjang perjalanan mereka lebih banyak diam. Vian yang dasarnya memang anteng hanya fokus menyetir tanpa bertanya apapun. Canggung, tentu saja. Lean masih tidak habis pikir, kebetulan macam apa hingga dia justru bertemu pria ini di saat dirinya berada di situasi menyedihkan dan dalam keadaan kacau mengenaskan begini.
“Kamu lapar? Aku beli makanan dulu, ya? Apartemenku sudah lama kosong, jadi tidak ada makanan disana,” tanyanya menoleh saat mobil berhenti di lampu merah.
“Aku tidak lapar.” Lean masih menyandar dengan tatapan menerawang ke kaca samping. Menyembunyikan air matanya yang masih meleleh keluar.
Mimpi pun tidak pernah terbayang olehnya akan hancur dengan cara paling menyakitkan seperti ini. Hubungannya dengan Vina juga ibu tirinya memang tidak pernah akur. Itu kenapa dua tahun terakhir dia memilih keluar dari rumah dan tinggal di apartemen. Menjauh dari suasana toxic supaya tetap waras.
Namun demikian Sakha tetap berusaha menjaga hubungan baik dengan keluarga Lean, termasuk dengan Vina. Mana Lean sangka jika itu justru jadi celah perselingkuhan mereka. Seburuk apapun kelakuan Vina, dia tidak pernah menduga bisa sampai sebejat itu tidur dengan calon iparnya sendiri. Sakha juga, Lean tidak mengira pria yang selama ini begitu bucin ternyata sebajingan itu.
Entah apa kata orang nanti setelah tahu pernikahannya yang tinggal menghitung hari tiba-tiba batal. Atau bahkan mungkin posisinya akan digantikan adiknya sendiri. Baru membayangkan saja rasanya luar biasa sakit. Tega sekali mereka. Menggigit bibir, Lean mati-matian menahan tangisnya yang nyaris pecah.
“Besok kamu kerja?”
Mobil kembali melaju, sedang Lean menatap tangannya yang berdenyut sakit. Darah masih merembes. Sapu tangan sampai basah memerah. Padahal besok ada jadwal operasi yang harus dia tangani.
“Tidak tahu,” gelengnya.
“Mampir rumah sakit, ya? Lukamu sepertinya cukup dalam. Takutnya nanti malah infeksi,” bujuk Vian.
“Tidak usah.” Lagi-lagi Lean menggeleng.
Diberi tumpangan untuk menginap saja dia sudah merasa sungkan, mana mungkin harus merepotkan untuk hal lain. Besok dia bisa mengobatinya sendiri di tempat kerja.
Kerja? Lean menghela nafas panjang. Bagaimana dia akan pergi dengan keadaan seperti ini? Pakaiannya kotor belepotan darah. Luka di tangannya pun sepertinya akan menjadi kendala.
“Sial!” Tanpa sadar Lean mengumpat pelan. Emosinya makin menjadi melihat ponselnya yang tidak berhenti bergetar. Sakha masih terus berusaha menghubunginya. Puluhan chat terus berdatangan, meski tak satupun dia buka. Lean sangat yakin pria b******k itu besok pasti mendatangi rumah sakit untuk mencarinya.
“b******k!” teriaknya marah mematikan ponselnya, lalu menangis terisak menutupi matanya yang basah dengan lengan.
Vian hanya melirik. Dia mulai bisa meraba dengan siapa Lean ribut, meski tidak tahu duduk permasalahannya apa. Tapi, melihatnya sekacau ini sepertinya bukan cekcok biasa. Terlebih hari pernikahan mereka sudah di depan mata.
Mobil masuk ke area basement apartemen mewah. Selesai parkir Vian mengambil beberapa lembar tisu dan diberikan ke Lean.
“Ayo turun!”
Canggung, Leandra pun keluar dari mobil dan mengikuti Vian menuju lift. Beruntung sudah tengah malam, jadi tidak ada penghuni yang berlalu lalang. Masih tanpa obrolan, mata Vian menatap cemas melihat sapu tangan di tangan Lean yang basah oleh darah. Sepertinya dia harus cari cara lain, karena diajak ke rumah sakit pasti tidak mau.
Lift berhenti di lantai lima belas. Begitu pintu terbuka Vian melangkah keluar lebih dulu. Sebenarnya dia malas kembali kesini. Terlalu banyak kenangan tidak mengenakkan yang melekat di tempat ini.
“Masuk!”
Setelah mempersilahkan tamunya, Vian pun ngeloyor masuk dan menyalakan lampu ruang tamu dan ruang tengah. Leandra menghela nafas pelan. Pandangannya menelisik ke setiap sudut ruang di sana. Bisa-bisanya dia segila ini mengikuti pria pulang ke apartemen.
“Duduk dulu!” seru Vian, lalu masuk ke salah satu pintu kamar.
Lean melangkah gontai ke arah sofa. Sumpah, dia merasa rikuh merepotkan Vian seperti ini. Mereka memang kenal baik, tapi bukan teman dekat yang sampai bisa dimintai tolong memberi tumpangan untuk menginap. Apalagi kalau ingat tadi dia dipeluk saat tantrum tidak bisa menahan emosi, makin membuat Lean meringis malu. Apa yang setelah ini Vian pikir tentangnya coba?
Dia mendongak mendengar suara pintu dibuka. Vian keluar dengan membawa baju yang kemudian disodorkan ke Lean.
“Pakai bajuku dulu nggak apa-apa, kan? Maaf, karena disini tidak ada pakaian perempuan. Nanti setelah ini aku minta orang untuk mencucikan bajumu biar besok sudah bisa dipakai lagi.”
“Tidak apa-apa, terima kasih. Maaf sudah merepotkan,” ucap Lean mengambil kaos dan celana training panjang itu dari tangan Vian.
“Berhenti minta maaf, aku tidak merasa direpotkan!" sahut Vian beranjak ke kamar sebelah dan masuk untuk memeriksa dalamnya.
Lean meringis canggung menatap baju milik Vian. Lima tahun pacaran sampai mau menikah, dia bahkan belum pernah mengenakan baju milik Sakha kecuali jaketnya. Apa boleh buat, tidak mungkin dia tidur dengan bajunya yang sekotor ini.
“Lean …,” panggil Vian yang keluar dari kamar.
“Iya ….”
“Kamu tidur di kamar ini, ya? Masih bersih kok. Peralatan mandinya juga sudah aku ganti yang baru di dalam.”
“Iya, terima kasih.” Lean beranjak dari duduknya menuju ke kamar yang Vian tunjukkan. Sedang pria itu masuk ke kamar sebelahnya.
“Mandi dulu! Nanti ada dokter dari rumah sakit kesini mengobati lukamu,” ucap Vian sebelum menutup pintu kamarnya tanpa menoleh ke Lean yang melongo memegangi gagang pintu.
Leandra mendecak pelan menatap tangannya yang terluka. Mau menolak juga percuma, dia tahu sekeras apa watak Vian. Seperti saat pria itu baru kecelakaan dan operasi pendarahan otak. Vian ngotot datang ke prosesi pemakaman papanya. Lean dan teman-teman Vian yang mendampingi pergi sampai panik, karena kondisinya tiba-tiba drop.
Selesai mandi Lean membuka balutan sapu tangan di tangannya. Dia meringis kesakitan saat membersihkan bekas darah di sana. Sialnya, darah masih terus merembes. Sepertinya memang harus dijahit untuk menghentikan pendarahan.
“Lean, dokternya sudah datang!” seru Vian dari luar setelah mengetuk pintu kamarnya.
“Iya. Sebentar!”
Menatap kaca di depannya, lalu turun ke celana yang tentu saja terlalu besar untuk dia kenakan. Tidak apa, setidaknya nyaman dipakai biarpun rasanya malu harus keluar dan dilihat yang punya baju. Namun, mata Lean langsung melotot begitu mendapati dokter yang Vian panggil ternyata adalah rekan kerjanya sendiri.
Iya, kenapa tadi dia tidak berpikir kalau yang dipanggil Vian adalah dokter dari rumah sakit tantenya. Dari apartemen sini juga tidak jauh. Pantas sebentar sudah datang.
“Lho, Lean?!” Sama seperti Leandra, dokter pria itu pun kaget mendapati rekannya yang nyengir melangkah keluar dari kamar. Apalagi dengan pakaiannya yang seperti itu.
“Maaf, merepotkan kamu lagi, Ghal!” ucap Leandra duduk di sebelah rekannya yang masih terlihat syok.
“Kamu bukannya mau kasih kejutan ulang tahun ke Sakha? Kok malah disini? Terus, itu tanganmu kenapa sampai kayak gitu?!” cecarnya.
Vian yang sedang mengetik pesan di ponselnya hanya melirik. Jadi benar dugaannya, kalau Lean memang ribut dengan calon suaminya.
“Nggak usah bahas itu! Kamu bawa benang dan jarum jahit? Lukanya lumayan dalam. Kayaknya mesti dijahit untuk menghentikan pendarahan.” Mengalihkan topik bahasan, Leandra menunjukkan luka menganga di telapak tangannya.
“Haish! Kenapa bisa sampai separah ini? Pantas saja tadi Dokter Sifa minta aku bawa hecting set,” gumam dokter itu segera menyiapkan peralatannya.
Lean menoleh ke Vian, tapi pria itu tetap cuek dan bergegas bangun mendengar bel pintu.
“Baju kotormu mana?” tanyanya.
“Di kamar. Sebentar aku ambil!” Lean baru saja mau berdiri, tapi Vian sudah lebih dulu masuk ke kamar. Dia nyengir begitu menyadari rekannya yang sedang mengobati tangannya menatap penasaran.
“Dia siapa? Aku kayak pernah lihat, tapi lupa dimana.”
“Keponakannya Dokter Sifa. Yang beberapa bulan lalu aku tolong saat kecelakaan sama adiknya, dan jadi pasienku di Medical Centre.” Lean menjawab dengan mata mengikuti Vian yang keluar dari kamar dengan menenteng paper bag. Dia bergegas membuka pintu dan memberikannya ke petugas yang sudah menunggu disana.
“Kok kamu bisa di apartemennya? Terus ini luka darimana?” tanya dokter itu masih penasaran.
“Ghalen …”
“Apa?” sahut dokter itu mengalihkan matanya ke Lean.
“Tolong jangan bilang ke siapapun kalau kamu bertemu denganku disini. Juga, jangan kasih tahu keberadaanku ke siapapun. Baik itu Sakha ataupun keluargaku. Nanti aku akan menghubungi rumah sakit. Dengan luka seperti ini untuk beberapa hari ke depan aku tidak akan bisa masuk,” ucap Lean serius.
Sempat tertegun mendapati mata Lean yang bengkak memerah, juga wajah muramnya, dokter itupun mengangguk tanpa bertanya apapun lagi. Dia melanjutkan tugasnya mengobati luka di tangan Lean, lalu berpamitan setelah semua selesai.
Duduk termenung menatap tangannya yang terbalut perban. Mata Lean kembali memburam panas. Denyut sakitnya tidak terasa, karena hatinya lebih berdarah-darah. Mengusap air matanya kasar, dia janji tidak akan lagi menangisi pria b******k itu, ataupun papanya yang selalu menganggapnya tidak penting.
“Tante Sifa ingin bicara!” Vian tiba-tiba muncul dan mengulurkan ponselnya ke Lean.
Mau tidak mau Lean pun menerimanya, lalu beranjak menjauh dari Vian yang duduk menunggu di sofa. Tadinya Vian ingin langsung pulang, karena khawatir Lean merasa tidak nyaman dengan keberadaannya di sana. Namun, tantenya menyuruh dia untuk tetap tinggal menemani Leandra.
Bibir Vian berkedut melihat bajunya yang tampak kedodoran dikenakan Lean. Sambil bicara di telpon, dia mondar-mandir dengan muka meringis sungkan. Terpaksa Vian menghubungi tantenya, karena melihat keadaan Lean yang sepertinya tidak baik-baik saja. Terlepas dari permasalahan pribadinya, luka di tangan Lean juga cukup parah. Kalau pimpinan rumah sakitnya sendiri yang bicara, Lean tidak akan mungkin berani membantah.
“Sudah. Terima kasih,” ucapnya mengembalikan ponsel milik Vian.
“Besok kamu kerja?”
“Nggak. Dokter Sifa memberiku waktu seminggu untuk libur dulu sampai tanganku sembuh,” jawabnya menggeleng pelan.
Vian menatap iba Lean yang duduk menunduk menatap tangannya. Entah hal buruk apa yang dia alami, sampai tadi menangis kesakitan seorang diri di taman. Kalau benar Lean datang memberi kejutan ulang tahun untuk calon suaminya, kenapa malah ujung-ujungnya mengenaskan seperti itu?
“Maaf merepotkan. Besok pagi aku pasti akan segera pergi dari sini,” ucapnya mendongak hingga tatapan mereka pun bersinggungan.
“Pergi kemana? Bukannya kamu bilang tidak punya tempat untuk pulang?”
Lean nyengir, tersenyum rikuh ingat alasan kenapa dia bisa sampai nyasar disini.
“Pulang ke apartemenku. Tidak begitu jauh kok dari sini,” jawabnya ragu.
Lean sangat paham sifat Sakha, dan lagi demi nama baik keluarga Ardhana pasti mereka akan terus berusaha membujuknya meneruskan rencana pernikahan itu. Belum lagi Vina dan orang tuanya yang pasti akan terus merecokinya. Capek, untuk sekarang Lean tidak ingin berhadapan dengan mereka lagi. Semua sudah bukan urusannya.
“Tempat ini kosong. Kamu bisa tinggal disini dulu. Paling tidak selama kamu cuti. Biar bisa istirahat total,” tawar Vian.
“Boleh?” tanya Lean, sedang Vian malah tertawa pelan.
“Kalau tidak boleh, aku tidak akan menawarimu!”
“Kamu tidak ingin bertanya soal tadi?” lontar Lean yang merasa tidak enak hati ke Vian.
“Itu bukan urusanku. Tidur sana! Jangan lupa diminum dulu obatnya!” sahut Vian sengaja mengalihkan pembicaraan, karena tidak ingin Lean merasa canggung.
“Iya.” Lean berdiri, lalu melangkah masuk ke kamarnya.
Begitu pintu tertutup rapat, Vian menunduk mencari kontak sahabatnya di ponsel.
“Ezra, bantu aku cari informasi tentang Leandra, keluarganya dan juga Sakha Ardhana. Aku butuh secepatnya!”