Tak ada yang bersuara. Terlalu bingung harus bagaimana menengahi permasalahan pelik yang tiba-tiba mencuat, sedang rencana pernikahan sudah di depan mata. Apartemen mewah yang selama ini Sakha tinggali morat-marit tidak karuan jadi sasaran amukan Leandra. Pria paruh baya yang Lean panggil papa itu berusaha mendekat, namun tertolak oleh gelengan kepala anaknya.
Sekecewa itu Leandra sampai enggan didekati papanya sendiri. Padahal dia sedang rapuh-rapuhnya dan butuh pelukan untuk melampiaskan tangisnya. Lean tidak peduli dikhianati adik dan calon suaminya, tapi dikecewakan oleh papanya sendiri itu rasanya luar biasa sakit. Terlebih ini bukan kali pertama papanya setega itu. Tubuhnya gemetar menahan tangis. Lagi dan lagi, papanya menoreh luka di hatinya dengan membuatnya seperti anak terbuang.
“Maafkan Papa, Lean. Papa sudah berulang kali berusaha menasehati Vina supaya menjauh dari Sakha, tapi tidak pernah digubris. Dia malah mengancam akan bunuh diri kalau sampai dipaksa melepaskan Sakha.” Dengan suara pelan Tama Wicaksana berusaha memberi penjelasan ke anak sulungnya yang terlanjur hancur karena kebohongan mereka.
“Karena terlalu sayang ke Vina, lagi-lagi aku yang dipaksa mengalah dan kalian korbankan. Perasaanku sama sekali tidak penting, karena selamanya dia yang selalu jadi prioritas Papa.” Leandra menatap papanya getir.
“Bukan begitu. Kamu dan Vina sama-sama anak Papa, mana mungkin kami berat sebelah.”
“Iya kah? Papa pura-pura tidak merasa, atau karena memang sudah terbiasa? Pulang dan bertanyalah ke para pembantu di rumah! Mereka tahu seberapa beda perlakuan kalian ke kami,” cibirnya terkekeh sinis.
“Lean ….”
“Aku memanggil kalian kesini bukan untuk mendengar pembelaan Papa atas kesalahan Vina, tapi menunjukkan sebejat apa kelakuan anak kalian! Yang satu b******k, satunya lagi murahan. Serasi, kan?” Lean menatap jijik dua orang yang berdiri gugup di sana.
“Jaga mulutmu! Siapa yang kamu bilang murahan?!” bentak istri papa Lean mendelik marah, tidak terima anak kesayangannya dihina.
“Tentu saja anakmu. Kalau kamu juga merasa terhina, itu bukan urusanku!” balas Lean.
“Bocah kurang ajar!” teriak mama Vina hendak menghambur ke arah Lean, tapi dicekal oleh suaminya.
“Diam!” bentaknya, dan perempuan itu pun langsung kicep dengan tatapan nanarnya.
Leandra mengusap bening di pipinya, lalu terkekeh menatap telapak tangan kanannya yang berlumuran darah. Tidak sakit, karena luka itu bahkan tak seberapa dibanding sakit hatinya sekarang.
“Sakha sudah mengiyakan permintaan Vina untuk menikah siri, sebelum dia menikah denganku minggu depan. Sekarang mumpung mereka semua di sini, silahkan untuk meminta restu dan mengatur bagaimana baiknya!”
“Nggak! Itu tadi tidak serius, Lean!” bantah Sakha cepat, sedang Vina menoleh dengan tatapan terkhianati.
“Bocah kurang ajar! Sebobrok itu kelakuanmu. Selingkuh dengan calon iparmu saja sudah keterlaluan, masih ingin menikahi keduanya. Benar-benar b******n kamu, Sakha!” teriak Irwan Ardhana tidak bisa menyembunyikan emosinya lagi.
“Vina yang memaksa, Pa. Kalau tidak dia mengancam akan membongkar semua untuk menggagalkan pernikahanku dengan Leandra!” Sakha kembali mengelak dengan melempar kesalahan ke Vina.
“Salahmu sendiri main api dengan perempuan tidak beres kayak dia! Kalau sudah begini, seterusnya Vina akan mengancammu demi mendapat apa yang dia mau. Dasar bodoh!”
Menyimak debat saling menyalahkan, juga wajah-wajah panik penuh amarah mereka terasa menyenangkan bagi Leandra. Dia menarik beberapa lembar tisu, lalu mengusap darah yang masih terus mengalir dari lukanya. Tama Wicaksana menatap perih anaknya yang bersikap dingin dan menolak didekati siapapun. Bukan maksudnya untuk melukai Leandra, tapi Vina juga tidak pernah main-main dengan ancamannya.
“Tidak apa-apa, Om Irwan. Vina menginginkan Sakha, dan saya sudah mempersilahkan dia untuk memungutnya. Lagi pula saya jijik kalau harus dekat dengan pria yang sudah biasa main celup, dan b******u dengan adik saya sendiri. Memang paling susah meyakinkan seekor lalat, kalau bunga lebih wangi dari sampah!” Leandra mendongak, lalu melempar tisu kotor dengan seringai mengejeknya.
“Anakku bukan sampah! Jaga mulutmu, Leandra!” Ibu tiri Lean menggertak keras.
“Bukan sampah, tapi jalang murahan!” bentak Santi Ardhana menoleh sengit ke mama Vina.
“Apa kamu bilang?!” Tari Wicaksana sampai terbelalak kaget mendengar hinaan calon besannya.
“Anakmu jalang murahan! Makanya sampai calon suami kakaknya sendiri juga dirayu. Oh iya, darah memang tidak bisa dibohongi!”
Emosi mama Vina meluap sampai ubun-ubun begitu mendengar dia juga tak luput dari hinaan calon besannya. Perempuan paruh baya itu menghambur maju dan saling jambak sampai suami mereka, Sakha dan Vina kalang kabut memisah keduanya. Leandra hanya duduk anteng menonton keributan di depannya. Apa pedulinya? Toh, semua jadi kisruh begini juga karena ulah anak-anak mereka sendiri.
Tak lama keduanya pun bisa dipisah. Namun, begitu melihat Vina hanya memakai kemeja anaknya tanpa dalaman, emosi mama Sakha kembali meledak. Dia menjambak Vina dan menampar membabi buta sampai gadis itu menjerit kesakitan.
“Dasar p*****r murahan! Beraninya kamu mendekati anakku dan menghancurkan semua! Lihat betapa menjijikkan, kamu! Dasar tidak punya urat malu!” makinya menggebu-gebu.
“Lepaskan anakku!” teriak Tari berusaha menarik mama Sakha menjauh dari Vina.
“Lepas! Saya hamil anak Bang Sakha!”
Seketika semua terkesiap. Mama Sakha melotot dengan d**a turun naik. Namun, derai tawa Leandra mengalihkan perhatian mereka.
“Selamat, kalian akan segera punya cucu idaman! Keluarga Ardhana akan punya penerus dari bibit unggul dan keturunan terhormat. Mamanya merebut suami mamaku dengan hamil duluan, dan sekarang anaknya juga merebut calon suamiku dengan cara yang sama. Hebat, bukan? Dia belajar banyak dari mamanya, dan didukung penuh oleh papanya. Kalian pasti bangga Vina sukses meneruskan bakat mamanya sebagai pelakor!” Hinaan itu terlontar dari mulut Leandra dengan senyum lebarnya.
“Leandra! Jangan keterlaluan kamu!” bentak Tama.
“Bagian mana yang keterlaluan? Apa perlu aku ingatkan lagi, kenapa mama pergi dan pilih cerai dari Papa?!” tantang Leandra.
“Kamu lihat itu! Mulut anakmu memang kurang ajar. Harusnya dia ngaca, kenapa Sakha bisa selingkuh?!” tuding istri papa Lean.
“Aku jelas tahu. Sakha tergoda karena Vina mau menyerahkan tubuhnya untuk dinikmati secara cuma-cuma, sedang aku selama lima tahun tidak pernah membiarkan dia menyentuhku. Kamu yang memberi contoh anakmu pasti lebih paham, barang murahan gampang didapat. Maaf saja, kita tidak selevel!” balas Leandra menelanjangi aib ibu tirinya tanpa ampun.
Suara tamparan terdengar keras, disusul jerit kesakitan Vina yang terhuyung dan segera dirangkul Sakha. Ucapan Leandra barusan nyatanya bukan cuma sukses mempermalukan ibu tirinya, tapi juga makin menyulut kemarahan Santi Ardhana.
“Ma!” Sakha tersentak kaget.
Tangan mama Sakha yang barusan menampar Vina masih gemetar hebat saat menuding ke muka perempuan yang membuatnya hilang kendali itu.
“Jangan pernah bermimpi dengan hamil anak Sakha, lalu kami menerimamu sebagai menantu! Aku tidak sudi anakku punya istri jalang sepertimu. Saudara sendiri saja tega kamu tusuk dari belakang, apalagi kami yang bukan siapa-siapa. Bisa-bisa sebentar lagi kami mati di tanganmu, karena aku tahu orang seperti kalian hanya mengincar harta kekayaan!” tuduhnya.
“Berhenti menghina kami, sialan! Keluarga kami juga kaya. Siapa yang butuh hartamu?!” Tari menghempas tangan yang menuding kasar ke anaknya.
“Kalau begitu bawa pergi anakmu dari sini! Sebutkan saja berapa yang kalian minta, tapi jangan pernah berharap tanggung jawab dinikahi Sakha. Itu tidak akan pernah terjadi. Aku hanya akan menerima Leandra sebagai menantu, tapi tidak dengan anak harammu itu!” tegas Nyonya Ardhana.
“Keterlaluan, kalian! Vina memang salah, tapi bukan berarti kalian bisa menghinanya begini! Vina ataupun Leandra, aku tidak akan menikahkan mereka dengan Sakha!” sahut ayah Leandra tidak terima.
Mendengar itu Leandra lagi-lagi tertawa dan beranjak berdiri dari duduknya. Dia sudah terlalu muak melihat keributan yang makin mempertontonkan keegoisan mereka. Masing-masing hanya membela harga dirinya, tanpa satupun yang mencoba memahami kesakitannya.
“Kalau kalian masih ingin terus ribut, silahkan! Tapi, biarkan aku pergi dulu. Mulai sekarang apapun tentang kalian tidak ada hubungannya lagi denganku! Pernikahan batal. Aku tidak sudi diperistri pria sampah seperti Sakha, ataupun punya adik jalang seperti Vina. Paham?!” ucap Leandra melangkah hendak pergi dari sana, tapi dihadang oleh Sakha.
“Kamu tidak boleh pergi! Aku cuma cinta kamu, Lean. Yang terjadi antara aku dan Vina hanya khilaf. Anak itu, aku tidak menginginkannya. Terserah Vina mau merawatnya sendiri atau digugurkan. Aku tidak peduli. Jadi tetaplah menikah denganku, Lean!”
Seenteng itu Sakha mengucapkan hal menyakitkan yang membuat mereka semua tercengang. Leandra menoleh dengan senyum mengejek ke adiknya yang menangis terisak, juga ke papanya dan pelakor tua yang gemetar dihantam amarah. Hanya beberapa detik sebelum kemudian wajah Sakha terhempas setelah mendapat tamparan keras dari mama Vina.
“b******n kamu, Sakha! Kamu pikir anakku p*****r yang bisa kamu buang setelah bosan!”
“Berani menampar anakku lagi, aku patahkan tanganmu!” ancam mama Sakha.
“Cukup!” Leandra menepis cekelan tangan calon suaminya. Bukan, mulai sekarang dia hanya mantan yang sedetik pun tidak ingin lagi Lean kenang.
“Kamu nggak boleh pergi!” teriak Sakha kembali menarik tangan Leandra.
“Dia sudah tidak menginginkanmu lagi. Kenapa kamu masih bersikeras pertahankannya? Sedang aku yang hamil anakmu malah kamu buang! Dasar bodoh kamu, Sakha!” teriak Vina begitu kesakitan melihat pria itu mati-matian mempertahankan kakaknya.
Leandra menatap mantannya itu lekat. Dadanya berdenyut sakit teringat pemandangan menjijikkan di kamar tadi. Lima tahun dia mencintai pria ini dengan setulus hati. Lean berharap Sakha bisa menjadi rumah tempatnya untuk pulang, karena sejak kecil dia sudah kehilangan semuanya. Namun, saat bahagia sudah nyaris dia genggam justru hancur oleh pengkhianatan dari mereka semua.
“Kamu tahu trauma paling menyakitkan bagiku adalah pengkhianatan papaku, tapi justru kamu toreh luka lebih tidak manusiawi dari yang dia lakukan. Hatiku sudah mati rasa, apa lagi yang kamu harapkan dariku sekarang? Ingin kita meneruskan rencana nikah, dan pura-pura bahagia dengan menyuruhku jadi orang t***l menganggap tidak pernah terjadi apa-apa. Begitu?” Suara Leandra terdengar parau, tapi tajam menusuk.
“Maaf, Lean. Tolong beri aku kesempatan memperbaiki semua. Ya?” ucap Sakha menghiba. Dia berusaha menyentuh pipi Lean seperti yang biasa dilakukan jika calon istrinya itu merajuk, tapi Leandra langsung menepis tangannya kasar.
“Leandra, Om mohon bertahanlah! Kita bisa bicarakan semua baik-baik, dan mencari jalan keluarnya. Pernikahan ini tidak mungkin dibatalkan. Mau ditaruh mana muka kami nanti, Lean?” pinta papa Sakha yang tidak tahu lagi harus bagaimana.
“Kalau dia mau pergi, biarkan saja! Vina lebih berhak menjadi istri Sakha!” sahut ibu tiri Leandra.
Orang tua Sakha mendengus keras, sedang Leandra menertawakan keegoisan mereka. Orang-orang munafik yang berlagak baik, dan sekarang berusaha membodohinya untuk dijadikan tumbal demi menjaga nama baik mereka.
Mama Sakha mendekat, lalu meraih tangan Leandra dan menggenggamnya erat. Lean hanya diam. Ingin tahu seberapa jauh kegigihan mereka untuk tetap menyeretnya ke tepi jurang kehancuran.
“Dengar Tante, Lean! Kalau kamu mundur, sama halnya membiarkan pelakor itu menang dan mendapat apa yang dia ingin curi darimu. Apa kamu rela hidupmu dihancurkan oleh mereka, sama seperti yang dialami mamamu dulu? Bertahan dan tunjukkan kamu tidak selemah itu! Kami keluarga Ardhana janji akan memenuhi apapun permintaanmu, asal kamu tetap menikah dengan Sakha. Bagaimana?”