Bab 7. Ciuman Berujung Petaka

2095 Words
Kiriman foto dan pengakuan Vina tadi benar-benar memukul telak emosi Lean. Nyatanya jalang kecil itu sangat paham bagaimana cara menyakiti hati kakaknya. Lean tahu apa tujuan Vina masih terus gencar menunjukkan bukti kebejatan mereka. Supaya Lean benar-benar mundur sebagai calon pengantin Sakha. Sebelum pesta itu tiba dan memastikan Lean tidak datang, lalu dia berhasil menggantikan posisi pengantin perempuan, maka Vina tidak akan berhenti bikin ulah. Yang sekarang dia lakukan adalah bagaimana membuat Lean semakin sakit hati, hingga tidak berubah pikiran untuk kembali ke Sakha. Itu saja. Dan ternyata, trik yang dia pakai begitu di luar nalar. Makan malam mereka seharusnya menyenangkan, karena masakan Vian ternyata memang enak. Sayangnya mood lean sudah terlanjur berantakan. Dia bukan perempuan cengeng, tapi sekuat apapun pasti tidak akan sanggup jika dihadapkan pada pengkhianatan seperti itu. “Malam, Dokter Lean!” sapa Ezra begitu Lean membukakan pintu. “Malam! Vian bilang mau mandi sebentar,” ucapnya beranjak kembali ke sofa. Ezra menyusul setelah menutup pintu. Sebelum datang Vian sudah memperingatkan dia untuk jaga mulut, jadi Ezra pun pilih untuk tidak banyak omong. Apalagi mendapati mata si dokter cantik yang masih sedikit bengkak memerah. Mana berani dia celometan. “Mau kopi, atau teh?” tawar Lean, tapi Ezra menggeleng. “Tidak usah, nanti biar aku ambil sendiri. Bisa kena damprat Vian kalau tahu dokter tangannya sakit masih mengambilkan minum buatku.” Lean nyengir menatap tangannya yang diperban. Agak repot karena bagian kanan, dan sialnya untuk pulih masih menunggu hingga beberapa hari ke depan. “Panggil Lean saja. Jangan pakai dokter!” pintanya, sebab risih di luar rumah sakit nasih dipanggil dok. “Ok, Lean,” angguk Ezra. Vian keluar dari kamar dengan mengenakan celana pendek dan kaos oblong. Ezra mengulum senyum. Tatapan mengejeknya itu membuat Vian ingin sekali mencolok matanya. Belum sempat Vian duduk, bel pintunya kembali berbunyi. Ezra bergegas bangun melihat siapa tamu yang datang. Dia tertawa terkekeh begitu mendapati tiga orang yang berdiri di sana. “Maaf, tadi kami tidak sengaja kesasar, jadi sekalian mampir sini! Tidak mengganggu kan, Dok?” ucap Cello, anak sambung Dokter Sifa. Sebelum kenal Vian, Lean tentu saja lebih dulu tahu tentang Cello karena sering berseliweran di rumah sakit. “Tentu saja tidak. Lagi pula saya juga cuma tamu disini!” Lean meringis sungkan. Mereka berempat ini adalah para sahabatnya Vian. Cello, Ezra yang merupakan mantan tentara bayaran dan sekarang buka studio tato, Liam dan juga Daren yang berstatus sebagai adik ipar Vian. Dengan mereka Lean kenal baik saat Vian menjalani perawatan di rumah sakit beberapa bulan yang lalu. “Yang katanya kesasar, tapi niat banget bawa anggur sampai beberapa botol!” sindir Vian begitu Daren meletakkan kardus berisi red wine. “Anggap saja Nay syukuran, karena doanya terkabul,” sahut Daren. Mereka tertawa cekikikan tanpa Lean pahami kenapa. Andai saja dia tahu, kalau teman-teman Vian sedang merayakan atas batalnya pernikahannya dengan Sakha, mungkin Lean akan memilih masuk ke kamarnya. Bukan malah mengobrol dengan mereka, sambil menikmati wine yang Daren bawa. “Sebentar!” Lean beranjak dari duduknya. “Mau kemana?” tanya Vian melihatnya melangkah ke belakang. “Iris buah,” seru Lean. “Haish! Perbanmu nanti basah!” dengus Vian menyusul ke belakang. Meninggalkan mereka yang cengar-cengir serasa lagi nonton drama pengantin baru. Saling lempar pandang, Cello menyikut Liam yang sedari datang masih saja bungkam. “Apa?” “Kamu memangnya dulu sama Kak Shera juga so sweet gitu?!” tanyanya, sedang Liam langsung menggeleng. Cello lantas ganti menoleh ke Daren. “Kamu ke Nay sebelum nikah seperhatian itu?” tanyanya. “Nggak, soalnya justru aku yang suka cari perhatian manja ke bebebku,” sahut Daren cengengesan. Mereka terkekeh, lalu Ezra ke sudut ruang dimana ada mini bar disana. Dia mengambil beberapa gelas, lalu menuang anggur yang mereka bawa. “Tahu cara mainnya, kan?” tanyanya pelan supaya tidak terdengar dua orang yang sedang sibuk di belakang sana. “Kalau yang kayak gini ya jelas paham!” sahut Cello. “Mau kita giring dengan cara apapun juga percuma. Kulkas kayak dia nggak bakal mempan. Dua tahun dia tinggal disini sama Jane. Sampai pernah tuh cewek sinting telanjang minta ditiduri saja malah ditendang kok. Apalagi yang waras dan berkelas kayak Dokter Lean! Pasti malah kaku kayak kanebo kering!” sungut Daren. “Jelas beda! Kamu nggak lihat yang tadi itu?!” ujar Liam mengedikkan dagu ke ruang belakang. “Aku kalau yang murahan kayak Jane juga tidak bakal sudi! Vian beneran bego kalau sampai melewatkan kesempatan mendekati Lean,” timpal Ezra. Tetap saja Daren menggeleng ragu. Dia sangat tahu secuek apa iparnya. Bisa senyum juga cuma di rumah saat kumpul dengan adik dan para sepupu. Kalaupun ke Dokter Lean dia bisa menaruh sedikit perhatian dengan menolong mengajak tinggal disini, itu juga sebatas kasihan. “Aku tetap yakin tidak akan berhasil. Dia begitu karena kasihan dan balas budi.” “Kalau ternyata beneran mereka jadi, gimana?” lontar Ezra. “Aku ke pesta mereka pakai daster!” ujar Daren lantang. “Deal! Kalian semua dengar, kan? Awas saja kalau sampai ingkar! Aku oles balsem panas selusin dan tempel koyo cabe sekardus!” sahut Cello menyeringai senang, sedang yang lain tertawa ngakak. Daren mendengus. Paling bisa Cello cari kesempatan untuk balas dendam, gara-gara pernah dia oles balsem panas dan tempel koyo cabe pusarnya sampai dibawa ke rumah sakit emaknya. “Apanya yang lucu?” tanya Vian muncul membawa dua piring irisan apel dan stroberi. “Mereka lagi taruhan! Katanya kalau ka ….” Liam mendelik karena Cello dan Daren kompak membekap mulutnya. “Haish! Jorok!” dengusnya menepis tangan mereka. “Makanya mingkem!” sungut Cello penuh peringatan. “Jangan kurang ajar! Aku kakak iparmu!” balas Liam, sedang Cello cengengesan. Ezra mengulurkan segelas wine ke Lean. Sempat ragu, tapi akhirnya diterima juga. Vian yang duduk di sampingnya sempat menoleh. Mau melarang, tapi sepertinya Lean butuh itu untuk mengobati bad mood nya. “Segelas saja, ya? Aku tidak begitu bisa minum.” “Semampumu, Dok! Anggap saja sambutan kami sebagai teman baru. Tidak keberatan, kan?” ucap Cello mengangkat gelasnya, begitupun yang lain. “Ok, dengan senang hati punya teman baru orang-orang hebat seperti kalian!” Lean mengangkat gelasnya, lalu meneguk minumannya. Kalau biasanya dia tidak suka wine dan minum hanya beberapa teguk saat diajak dinner Sakha, malam ini beda. Dia menikmatinya. Mungkin ada hubungannya dengan suasana hatinya yang sedang tidak baik-baik saja. “Aku mau cerita sedikit, kamu jangan tersinggung ya, Lean?” Cello melempar tatapannya ke Lean yang mengangguk. “Aku sudah tidak punya hati untuk tersinggung,” sahutnya tersenyum kecut, lalu meneguk lagi anggurnya. “Tadi di rumah sakit ketemu Om Dirga sama Key yang jenguk bayinya Kak Ocha. Terus kebetulan ada mama juga disitu. Mereka ngobrol sedikit tentang perselingkuhan Sakha dan adikmu. Kalian tahu gimana reaksi Om Dirga?” “Pasti mau menjual sahamnya yang di Ardhana grup. Iya, kan? Skandal Sakha dan calon iparnya kalau sampai mencuat, pasti akan berdampak pada nilai saham. Om Dirga kan punya lima belas persen. Bisa puyeng kalau sampai anjlok harganya,” tebak Daren. Lean menyeringai. Itulah alasan kenapa Sakha dan orang tuanya mati-matian membujuknya untuk tetap meneruskan rencana pernikahan, sampai tega tidak ingin mengakui anak di perut Vina. “Kurang lebih begitu, atau sebaliknya dia akan coba kompromi dengan pemilik saham lain untuk mendepak Irwan Ardhana dari posisi pimpinan. Secepatnya sebelum pesta itu dibatalkan, atau diteruskan dengan kemungkinan ganti pengantin wanitanya!” terang Cello. “Kamu paham kan kenapa aku menyuruhmu sedikit bersabar? Adikmu sedang berusaha memastikan kamu mundur, dan dia bisa menggantikan posisimu. Makanya kelakuannya makin menggila. Sabar sedikit lagi, karena kesempatanmu untuk membalas mereka akan terbuka lebar,” ucap Vian meraih gelas di tangan Lean yang sudah kosong. “Lean …,” panggil Liam. “Iya ….” “Apakah kamu benar-benar menganggap kami teman?” tanya pria yang sama anteng dengan Vian itu. Hanya saja Liam itu mukanya seram. “Tentu saja, kalau tidak buat apa aku duduk bersama kalian disini. Aku bukan orang yang mudah bergaul. Itu kenapa aku juga tidak punya banyak teman, kecuali yang bisa membuatku nyaman,” angguknya. “Kalau begitu percayakan semua ke kami! Ikuti permainan kami, dan tiba saatnya kamu pasti bisa membalas sakit hatimu ke mereka! Untuk sekarang cukup diam dan jangan muncul ke permukaan!” ucap Liam serius. “Iya, aku paham!” Lean mengangguk. Ezra kembali menuang minuman. Vian mendelik hendak menyingkirkan gelas itu, tapi sudah diambil lebih dulu oleh Lean. “Kalau tidak biasa minum, jangan terlalu banyak! Nanti kalau kamu mabuk, aku juga yang repot!” tegur Vian. “Aku butuh sedikit gila, supaya tidak benar-benar sinting! Kalau nanti aku mabuk kurung saja di kamar mandi!” sahutnya, lalu meneguk lagi minumannya. “Ekhmm …,” Daren berdehem pelan mengulum senyumnya. “Ada yang mulai ketar-ketir bakal dasteran,” sindir Cello. Liam dan Ezra tertawa terkekeh menoleh ke Daren yang sepertinya masih begitu percaya diri. “Dasteran? Siapa? Kalian taruhan apa lagi?” Tiba-tiba otak Vian langsung nyambung. “Daren, dia bilang kalau kalah taruhan bakal dasteran ke pesta,” sahut Ezra “Mau bikin Nay dan Om Sat malu lagi kamu!” tegur Vian gedek dengan kelakuan tengil iparnya. “Kan belum tentu juga aku kalah!” ujarnya ngeyel. “Taruhan apa? Sama siapa?” tanya Lean. Mereka hanya nyengir. Mana mungkin bilang jujur, kalau mereka sedang taruhan tentang hubungannya dengan Vian. “Sama Cello. Kalau dia kalah katanya mau ngemut balsem panas,” jawabnya. “Enak saja! Kapan aku ngomong gitu?!” sanggahnya, tapi mereka tertawa ngakak. “Kalian punya kenalan agen properti?” tanya Leandra. Vian langsung menoleh, tahu apa yang ingin Lean lakukan. “Aku ada, kamu mau beli rumah?” tanya Liam. “Bukan, tapi mau menjual apartemenku, juga cari tempat tinggal baru. Mau cari yang lebih dekat dari rumah sakit,” jawab Lean. Vian menatap Lean lekat. Ingin memberi tawaran, tapi ragu karena takut dia tersinggung. Beruntung Liam melirik ke arahnya dan paham saat dia mengedipkan matanya. “Nanti aku kasih nomornya. Tapi, coba kamu tanya ke yang di sebelahmu itu! Dia kan pernah berencana mau menjual tempat ini. Jaraknya dekat ke rumah sakit dan tempatnya juga nyaman. Syukur kalau bisa dikasih harga miring.” “Kamu mau jual apartemen ini?” tanya Lean. “Tadinya gitu,” angguk Vian. “Terus, sekarang nggak lagi?” tanya Lean penuh harap. “Masih mikir-mikir, tapi kalau kamu sewa juga boleh.” “Berapa setahunnya? Jadi nanti aku belinya bisa pelan-pelan cari tempat yang cocok dulu.” Lean terlihat antusias. Dia menyukai suasana di apartemen ini, jadi kalau memang disewakan tentu dia bersedia. “Nanti aku pikir lagi. Kamu urus saja dulu penjualan apartemenmu, dan kapan mau memindahkan barang-barang pribadimu dari sana,” ujar Vian. “Hm,” angguk Lean. Obrolan mereka berlanjut. Vian sampai greget melihat Ezra yang terus menuang minuman setiap kali gelas Lean kosong. Padahal dia sudah mulai teler. Wajahnya memerah, dan matanya mulai terpejam. Sesekali Vian terpaksa membetulkan kepala Lean yang terkulai. “Sengaja kalian, ya? Sudah dibilang dia tidak bisa minum, malah kalian tambahin terus!” “Biar tidurnya nyenyak. Kamu nggak lihat itu matanya sampai bengkak kebanyakan nangis!” Cello mengedikkan dagunya ke Lean yang kepalanya kembali melorot. “Haish! Merepotkan saja!” dengusnya kesal. Beranjak bangun, dia kemudian membopong tubuh Lean yang sudah tepar ke kamarnya. Kalau tidak karena kasihan, tidak bakal sudi dia direpotkan begini. “Sialan, kalian! Papa jahat banget. Salahku apa, Pa?” gumamnya lirih. Vian menutup pintu kamar, lalu dengan hati-hati membaringkan Lean di tempat tidur. Dia menarik selimut hingga d**a, lalu mengusap air mata yang meleleh di pipi Lean. “Dasar bodoh! Yang kuat dan sabar. Kamu pasti bisa melewati semua rasa sakitmu, Lean.” bisiknya menunduk, menyeka bening yang kembali mengalir dari sudut matanya. “Sakit, sakit banget!” “Iya, aku tahu,” gumam Liam. Mata Lean perlahan membuka, tapi hanya sebentar lalu terpejam lagi. Baru saja Vian hendak beranjak, tangan Lean merangkul lehernya. “Lean ….” Mengernyit, Lean merengut kesal. Vian mendelik tegang berusaha melepas rangkulan tangan Lean di lehernya, tapi sedetik kemudian dia melotot saat Lean menariknya turun dan mencium bibirnya. Dadanya bergemuruh, tegang tidak bisa berkutik merasakan bibirnya dilumat kasar. Otaknya masih berusaha meraba, berpikir harus bagaimana. Mendorong Lean menjauh, atau membalas ciuman panasnya. Namun, Vian tidak lagi punya pilihan saat tiba-tiba mata Lean membuka lebar dan muntahannya menyembur keluar. “Lean!!” teriak Vian berdiri menjauh dengan muka belepotan. Mereka yang di luar berhamburan membuka pintu. Namun, seketika melongo mendapati Lean terkapar di tempat tidur, dan Vian mengumpat kasar mendorong mereka menyingkir dengan muka dan pakaian belepotan muntahan. Tawa mereka pecah. Ngakak terpingkal melihat Vian membanting pintu kamarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD