Saking jengkelnya kena sembur muntahan semalam, Vian sampai merengut mendiamkan Lean. Bukan cuma perkara jijik, tapi dia juga kena bully habis-habisan dari teman-teman sialannya. Sebahagia itu mereka melihat deritanya, padahal Lean bisa sampai mabuk dan muntah juga karena ulah mereka.
Tapi, meski begitu Vian tetap mengurus Lean semalam. Mana mungkin dia tega membiarkannya tidur dalam keadaan belepotan muntahan. Mengabaikan empat manusia laknat yang masih ngakak dan tidak mempan diusir, Vian balik lagi ke kamar sebelah membereskan bekas muntahan Lean. Sampai pagi dia berangkat kerja Lean masih tertidur pulas seperti orang tidak punya salah. Lain kali jangan harap bakal Vian ijinkan lagi ikut minum. Ogah dia harus kebagian repot mengurusnya.
Pintu ruangannya diketuk, lalu Ezra nongol dengan cengirannya yang menyebalkan. Makin dipikir, makin Vian yakin kalau mereka berempat memang sengaja datang semalam untuk mengerjainya dan Lean.
“Aku sibuk, kalau tidak ada hal penting mending pulang saja sana!”
Yang diusir malah cengengesan santai menuang kopi. Ezra duduk di depan meja Vian, menyeruput kopinya sambil memperhatikan sahabatnya yang masih fokus dengan laptop dan tumpukan berkasnya.
“Kamu sama Lean semalam lagi ngapain? Kok bisa pas gitu nyemburnya kena muka?”
Jari-jari lincah Vian langsung berhenti menari diatas keyboard. Darahnya berdesir ingat kelakuan kurang ajar Lean semalam. Sialnya ciuman pertamanya dicolong wanita mabuk dan berakhir mengenaskan. Boro-boro berkesan, yang ada justru trauma.
“Memang bisa ngapain dengan orang teler gitu? Aku tidak segila itu mengambil kesempatan dari perempuan yang sedang hancur dikhianati!” sanggahnya.
“Terus kenapa muntahnya bisa pas gitu nyembur di mukamu?” cecar Ezra menolak percaya.
“Dia muntah saat aku baringkan,” jawab Vian lanjut dengan pekerjaannya. Tidak ada yang salah dengan jawabannya. Nyatanya Lean memang muntah setelah dibaringkan dan mencuri ciuman darinya. Mana ciuman pertama lagi. Kurang ajar!
“Kesempatan tidak akan datang dua kali, Vian. Lean juga sedang hancur oleh keluarganya. Kalau kalian bersama bisa saling menguatkan, saling mengobati, karena sama-sama paham seperti apa sakitnya.”
“Jangan ngaco! Aku tidak semenyedihkan itu mau jadi pelarian hatinya,” dengus Vian menyingkirkan satu berkas setelah selesai ditandatangani.
Dia menguap lebar. Matanya pedas setelah melek sampai menjelang pagi untuk menyelesaikan jatah lemburnya. Meraih cangkir kopinya. Vian meneguk habis sisa di dalamnya. Itu bahkan sudah cangkir ketiganya sejak tadi pagi.
“Sudah dapat?” tanyanya sembari beranjak untuk menuang kopi lagi.
“Sudah, tapi belum semua.” Ezra merogoh sakunya, lalu meletakkan satu flashdisk di atas meja.
Kembali dengan secangkir kopi hitam yang masih panas, Vian meraih flashdisk dari Ezra dan memasangnya di laptop. Matanya menatap awas. Sesekali mengernyit, juga menyeringai menggeleng melihat informasi yang Ezra dapat.
“Orang tua Lean bercerai sejak dia masih di kelas lima SD, setelah tahu suaminya selingkuh dan punya anak lagi. Tari Sagita dulunya rekan bisnis ayah Lean. Dia yang menutup hutang Tama Wicaksana ketika nyaris bangkrut, sampai kemudian usaha mereka kembali berjaya,” jelas Ezra.
“Pantas saja jadi pria tidak ada harga dirinya, apa-apa tunduk ke istrinya. Tapi, tetap saja kelewatan sampai mengorbankan Lean demi menyenangkan Vina. Kalau memang tidak berniat merawat, kenapa dulu saat cerai tidak diserahkan saja ke mantan istrinya?” Vian geleng kepala melihat temuan Ezra tentang Lean. Orang tuanya mampu, tapi dia kuliah mengandalkan beasiswa.
“Mantan istrinya bawa satu anak, perempuan juga. Sayangnya setelah cerai menghilang entah kemana. Aku sudah minta bantuan Tante Xena untuk melacak keberadaannya, karena agak rumit. Kita tunggu kabar dari Hera dulu!”
Vian mendongak, jemarinya mengetuk pelan permukaan meja dengan mata menyipit.
“Coba telusuri pihak pemberi beasiswanya. Mereka memberi biaya dan fasilitas penuh sampai S2, tanpa syarat. Siapa tahu ada sponsor di baliknya.”
“Ok, nanti aku akan minta orangku mengurusnya,” angguk Ezra.
Lanjut dengan informasi di depannya. Tiba-tiba Vian tertawa terkekeh. Dia meraih cangkir kopinya dan meneguknya dengan mata berbinar.
“Wow, bisa meledak istri Irwan Ardhana kalau tahu kelakuan suaminya. Pantas Sakha sebajingan itu. Ada yang ditiru!”
Ezra juga mengangguk puas. Mereka pasti kelojotan kalau tahu Leandra yang dikira lemah bisa diinjak, ternyata di back up orang-orang yang punya power jauh di atas mereka.
“Ada kabar soal pesta pernikahan Sakha? Mau dilanjut atau dibatalkan?” tanya Vian.
“Sejauh ini belum ada konfirmasi pembatalan dari pihak hotel. Persiapan masih tetap lanjut. Kalau mentok tidak bisa membujuk Leandra, aku tebak pasti Vina yang bakal menggantikan posisi Lean,” jawab Ezra.
“Bagus kalau memang tetap lanjut, jadi kita bisa kasih hadiah istimewa nantinya. Aku sudah tidak sabar ingin menonton bakal semeriah apa pestanya.” Vian tersenyum lebar. Saking berambisinya jadi menantu keluarga kaya, Vina justru bunuh diri dengan setor bukti yang akan jadi bumerang bagi dirinya sendiri.
“Terus bagaimana dengan saham om kamu? Waktunya sudah mepet. Begitu skandalnya mencuat, harga saham pasti akan langsung jatuh.”
Vian menghempaskan punggungnya yang kaku. Hampir seminggu dikejar pekerjaan sampai dia nyaris kliyengan. Apalagi sekarang ditambah permasalahan Lean. Kepalanya terasa cenat-cenut tidak karuan.
“Om Dirga pasti sudah mempersiapkan semua. Entah mau dilepas, atau justru kompromi menarik turun Irwan Ardhana dari posisi pimpinan.”
“Agak berat kalau mau melengser posisi pimpinan. Irwan Ardhana punya empat puluh delapan persen saham. Dalam waktu yang tinggal beberapa hari, Om Dirga harus bisa meyakinkan beberapa pemegang saham lain untuk mendukungnya. Mereka punya hubungan baik dengan Irwan. Itu yang menyulitkan,” ucap Ezra.
“Dengan relasi yang dimiliki keluarga Abraham dan keluarga Lin, memangnya apa yang sulit bagi mereka? Aku tetap yakin maju atau mundur, Sakha dan orang tuanya tetap akan tumbang! Sekarang mereka hanya belum sadar, Lean sudah lari ke tempat yang tepat!”
“Jadi, apakah nanti kamu akan muncul sebagai pangeran berkuda putih ?” ejek Ezra dengan senyum meledek.
“Aku hanya balas budi. Itu saja kok,” elaknya.
Ezra tergelak. Bertahun-tahun bersahabat dengan Vian, dan menemani perjalanan hidup sahabatnya yang penuh liku dan luka menganga. Dia sangat tahu arti setiap gurat ekspresi di wajah anteng Vian.
“Kamu lupa, aku biasa melihatmu tertawa dengan air mata menggenang. Rela sakit demi melihat orang lain bahagia. Ataupun diam dengan kepala bising penuh teriakan.”
Senyum Vian pudar. Iya, Ezra adalah orang yang menyimpan semua kisah pahit hidupnya. Sahabat yang selalu ada saat dia pernah diambang kematian.
“Jangan bodoh! Kalau kamu melewatkan wanita sebaik Lean, tidak akan ada kesempatan kedua kamu bisa menemukan wanita yang sama. Dia bahkan sudah tahu masa lalumu seperti apa, lantas kayak gimana lagi yang kamu cari?” bujuk Ezra serius.
“Aku sudah bilang, tidak pernah punya pikiran untuk menikah. Aku sudah bahagia dengan kehidupanku yang sekarang, dan tidak ingin disakiti atau menyakiti. Lean berhak mendapat pria yang jauh lebih baik,” ucap Vian dengan senyum kecut.
Dia sendiri sudah muak dengan hidupnya, lalu mana mungkin menyeret Lean untuk tersiksa bersamanya. Lean sudah menderita sejak kecil, dan sekarang hancur oleh orang-orang terdekatnya. Sudah seharusnya kalau setelah badai kali ini berlalu, dia bahagia dengan seseorang yang mampu menyembuhkan lukanya.
“Terserah! Aku cuma tidak ingin kamu menyesal seperti yang sudah-sudah. Kalau mau membalas Daren, ini adalah kesempatanmu!” Bibir Ezra berkedut ingat kekonyolan mereka semalam.
“Membalas apa?” tanya Vian mengernyit bingung.
“Soal taruhan semalam. Kalau kamu jadian sama Lean, Daren akan datang ke pesta kalian pakai daster. Bagaimana?” sahut Ezra, tapi Vian malah tergelak.
“Dasar sinting! Mulutnya masih saja asal mangap,” geleng Vian.
Ponselnya berdering pelan. Senyumnya semakin lebar mendapati nama Lean di sana.
“Apa?!” angkatnya ketus, padahal bibirnya berkedut geli. Sengaja dia tidak membalas chat Lean yang sejak pagi bingung meminta maaf.
“Kamu sibuk?”
“Hm,” gumamnya.
“Itu …. aku lagi lewat di dekat kantormu. Aku bawakan makan siang, ya? Nanti aku titipkan di resepsionis bawah. Mau?” tawar Lean dengan suara ragu.
“Setelah menyembur mukaku dengan muntahanmu, sekarang mau menyogokku dengan makan siang? Nggak usah! Aku bisa beli sendiri!”
Vian menggigit bibir menahan senyumnya mendengar suara Lean yang gelagapan di seberang sana. Sampai dia lupa, masih ada Ezra yang mencebik sambil menikmati kopinya. Yang barusan menolak siapa? Yang sekarang senyam-senyum kayak orang gila siapa?!
“Bukan begitu. Bajumu dan bekas muntahan semalam sudah aku cuci bersih kok. Aku tadi dari ketemu agen properti, makanya lewat sini. Soal muntah semalam aku minta maaf. Terserah kamu mau balas gimana. Asal jangan muntah di mukaku, ya?” ucapnya memelas.
Vian menjauhkan ponselnya, lalu tertawa dengan menahan suaranya. Sumpah, membayangkan muka Lean yang merah padam menahan malu pasti menggelikan.
“Sudah beli?” tanyanya.
“Sudah, kalau kamu tidak mau aku bawa pulang saja.”
“Kamu tunggu di lobi, nanti aku suruh sekretarisku turun!” titahnya.
“Ok,” sahut Lean sebelum kemudian mematikan sambungan teleponnya.
Begitu meletakkan ponselnya, Vian langsung kicep mendapati Ezra yang menyeringai sinis dengan tatapan mengejeknya. Sialnya dia lupa, masih ada cunguk satu itu di depannya.
“Mau taruhan, nggak? Kalau sampai kamu jadian sama Lean, nikahnya nanti kamu pakai daster juga kayak ipar tengilmu itu. Berani?” tantang Ezra.
“Dasar sinting!” dengus Vian menggeram kesal.
Ezra tertawa puas, lalu beranjak dari duduknya. Biar saja Vian sibuk mengelak, karena dia tahu akhir ceritanya akan seperti apa.
“Mau kemana?” seru Vian.
“Pulang, ogah jadi obat nyamuk disini! Jangan galak-galak ke Lean! Kasihan mentalnya juga sedang down,” sahut Ezra sebelum menutup pintunya dari luar.
Vian mendecih, tapi kemudian tersenyum menekan telepon menghubungi sekretarisnya.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?”
“Kamu turun ke lobi dan jemput tamuku naik. Leandra, fotonya aku kirim ke kamu. Sekalian bilang ke resepsionis, lain kali untuk memberi akses Lean masuk!”