Bab 6. Judes, Tapi Perhatian

1633 Words
Sebenarnya Vian sedang sibuk. Beberapa hari terakhir dia selalu pulang malam karena harus lembur. Itu juga kenapa semalam bisa begitu kebetulan, melihat Leandra yang seperti orang linglung keluar dari apartemen dengan keadaan kacau. Namun, karena dia diserahi tanggung jawab menjaga Lean oleh tantenya, terpaksa jatah lemburnya pun dibawa pulang. Tinggal seatap dengan perempuan bukan hal baru bagi Vian, tapi beda cerita karena ini adalah Dokter Leandra. Mana mungkin bersikap cuek, sedang dirinya lah yang menawarinya datang dan tinggal di apartemennya. Mobilnya memasuki area basement ketika mendapati Lean melangkah menuju lift, dengan kedua tangan menenteng tas belanjaan yang sepertinya berat. Vian mendengus kasar, lalu buru-buru memarkir mobilnya. Entah apa yang Lean beli, tapi menjengkelkan ketika melihatnya seperti meringis kesakitan, karena tangannya yang terluka dipakai menenteng belanjaan. “Lean!” panggilnya dengan langkah lebar menyusul di belakang. Yang dipanggil pun berhenti dan menoleh. Diam menunggu Vian mendekat dengan tangan sedikit gemetar menahan sakit. Lean hanya bengong begitu pria itu mengambil barang bawaannya sambil menggerutu. “Kan tadi sudah dibilang, kalau mau belanja tunggu aku pulang dulu!” Sekarang ganti Vian yang tampak kerepotan membawa dua plastik besar belanjaan lumayan berat, juga tas kerja dan beberapa map. “Pikirku cuma belanja, bisa pergi sendiri. Kamu kan sibuk. Hal sepele begini tidak perlu merepotkan kamu juga,” sahut Lean mengambil tas kerja dan map bawaan Vian. “Harusnya kira-kira. Sebanyak dan seberat ini gimana kamu bawanya dengan tangan terluka gitu! Dokter, tapi nggak bisa mikir. Jahitannya saja masih basah. Nggak lihat itu lukanya sampai berdarah!” omel Vian yang lebih dulu jalan, tanpa tahu muka Lean berubah kecut. Iya, tangannya memang berdarah dan berdenyut nyeri setelah dipaksa menenteng barang berat. Perbannya terlihat memerah karena darah merembes dari luka bekas dijahit yang masih basah. Sialnya justru kepergok Vian. Padahal tadi siang saat telpon izin mau keluar belanja sudah disuruh menunggu pria itu pulang. Berdiri menunggu lift, keduanya diam tidak saling bicara. Lean sengaja berdiri agak di belakang, tidak ingin memperlihatkan tangannya dan mendengar omelan lagi. “Kenapa beli sebanyak ini?” tanya Vian menunduk melihat dua plastik besar di tangannya. “Kulkas kosong,” jawabnya singkat. “Beli sayur buat apa? Tanganmu saja terluka, mana bisa buat masak! Mau makan tinggal pesan. Sesimple itu, kenapa malah kamu bikin ribet?!” gerutu Vian melihat ada sayur dan daging segar di plastik belanjaan. Lean tidak menyahut. Dia cuma jenuh seharian berdiam diri dengan kepala dipenuhi beribu masalah. Sibuk di dapur mungkin bisa membuatnya sejenak lupa, betapa sakit dan menjijikkan ingat dua pengkhianat terkutuk itu bergumul sambil membahas rencana gila mereka. Pintu lift terbuka, keduanya masuk disusul dua orang lagi yang baru saja datang dari arah basement. Hening, Vian menarik Lean merapat ketika di lobi lift berhenti dan ada beberapa orang pria yang masuk. Bukan maksudnya mengomel, cuma tidak suka Lean yang keras kepala dan berujung kekhawatirannya terjadi. Sempat berhenti di beberapa lantai, keduanya bergegas keluar begitu pintu lift terbuka di lantai lima belas. Lean berjalan di depan dan membuka pintu untuk Vian yang menenteng belanjaan. Setelah masuk Lean meletakkan tas kerja dan map di atas meja depan, lalu bergegas ke belakang untuk membereskan barang belanjaannya yang Vian letakkan di meja makan. “Mau ngapain?” tanya Vian melihat Lean membuka plastik belanjaan. “Masukin kulkas dulu. Tadi aku ada beli s**u, yogurt dan daging. Bisa rusak kalau nggak buruan dimasukan pendingin.” Lean memilah belanjaannya. Sempat meringis saat tangan kanannya mengambil sebotol besar s**u segar untuk ditaruh kulkas. Vian mendengus kasar. Tidak jadi masuk ke kamar buat ganti baju, dia kembali mendekat dan mengambil alih kerjaan Lean. “Duduk!” titahnya, lalu mengeluarkan belanjaan dari plastik dan menatanya di kulkas. Padahal niatnya ganti baju dulu, terus membereskan barang belanjaan, tapi ada yang tidak sabaran menunggu sebentar. Menurut perintah sang tuan rumah, Lean duduk menonton bagaimana luwesnya Vian mengerjakan semua. Dari sini saja Lean bisa tahu, dia bukan pria pemalas yang kebanyakan enggan bersinggungan dengan dapur. “Lukamu masih basah. Jangan buat masak dan kena air dulu! Kamu kan dokter bedah, harusnya lebih paham itu!” Lean meringis kena omel lagi. “Sudah terlanjur belanja sebanyak itu, terus mau buat apa? Aku bisa pakai sarung tangan plastik nanti biar tidak kena air,” sahutnya mencomot sarung plastik yang tadi di belinya, tapi malah direbut oleh Vian. “Nurut, kenapa?!” “Sayang sayurnya kalau dianggurin!” lontar Lean menyambar sarung tangannya, hanya saja tidak berhasil. Vian malah menaruhnya di rak atas “Masak buat malam saja. Pulang kantor aku yang kerjakan.” “Memangnya kamu bisa masak?” tanya Lean, tapi tidak digubris. Sialan, kan? Dinginnya ngalah-ngalahin kulkas tiga pintu di sampingnya itu. Vian membuka beras yang barusan Lean beli, lalu mengambil dua cup dan mencucinya. Lean yang masih duduk menonton hanya nyengir melihat Vian cekatan menyiapkan semua hingga masuk ke rice cooker. Ok, sepertinya dia memang sudah akrab dengan dapur. “Peralatan pengobatan dari temanmu semalam dimana?” tanya Vian, karena memang Lean yang menyimpannya. “Di kamar,” jawab Lean. Tanpa menunggu Vian langsung bergegas ke kamar Lean yang pintunya terbuka lebar, lalu keluar dengan membawa kotak berisi peralatan obat. Mulutnya masih terkunci rapat saat duduk di kursi samping Lean, lalu membuka perban yang sudah memerah itu setelah sebelumnya mensterilkan dulu tangannya. “Mau diolesi obat dulu atau tidak?” tanyanya. “Iya,” angguk Lean. Vian membersihkan lukanya dengan iodine, lalu mengoleskan obat berbentuk salep. Lean meringis menahan nyeri, tapi kemudian dia tersenyum melihat Vian meniup-niup lukanya. “Apa?” tanyanya melihat Lean tersenyum. “Aku bukan anak kecil. Kenapa harus ditiup-tiup?” sahutnya terkekeh. “Katanya biar tidak sakit.” Vian menempel plester anti air, lalu membalutnya lagi dengan perban. “Kata siapa?” “Kata Tante Sha. Dulu saat kami masih kecil Cello pernah celaka tertabrak mobil, karena tanpa sengaja aku mendorongnya. Ketika di rumah sakit Tante Sha meniup-niup luka Cello, katanya biar tidak sakit.” Cerita itu meluncur begitu saja dari mulut Vian. Apapun tentang masa kecilnya masih membekas lekat di ingatannya. Lean tentu saja tahu siapa Cello yang Vian maksud. Anak sambung Dokter Sifa, yang juga sahabat karib Vian sejak kecil. “Sudah.” “Terima kasih,” ucap Lean beranjak membuang bekas perban kotornya, juga menyimpan lagi kotak obat ke kamar. Melupakan niatnya untuk ganti pakaian, Vian mengenakan apron dan membuka kulkas. Dia mengambil beberapa sayur segar, daging dan telur, lalu mulai sibuk disana. “Ada yang bisa aku bantu?” tanya Lean yang mendekat menawarkan bantuan. Mana mungkin dia diam berpangku tangan, sedang tuan rumah sibuk di dapur setelah seharian capek di kantor. “Tidak usah, nanti tanganmu kotor dan berdarah lagi! Bisa-bisa malah infeksi,” tolaknya tanpa menoleh. Lean kembali duduk di meja dan mengeluarkan ponselnya. Seabrek panggilan tak terjawab dan chat dari mereka tidak dia gubris. Persis seperti perkiraannya, Sakha benar-benar mendatangi rumah sakit untuk mencarinya. Bahkan, ngotot tidak mau pergi meski sudah dibilang dirinya mengambil cuti seminggu. Sumpah, Lean sungkan minta ampun ke Dokter Sifa. Satu hal lagi. Ghalen bilang dia mulai jadi gunjingan, karena dikira kabur dari pernikahan. Sialan memang! Orang-orang bicara tanpa pakai otak, padahal tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. “Kamu belajar masak dari siapa?” tanya Lean ketika mulai mencium aroma wangi masakan. “Otodidak, dulu waktu kuliah di luar, karena aku tidak begitu suka makanan sana.” Vian menjawab sambil mencicipi masakannya. Diam-diam Lean tersenyum melihat Vian yang gagah dengan setelan kemeja kerjanya dilipat hingga siku, lalu mengenakan apron. Baginya itu terlihat ganteng di level yang tidak semua pria bisa dapatkan. Dia seperti melihat sisi lain seorang Vian yang biasa anteng dan menyebalkan, tapi ternyata jago masak. “Haish! Otak sinting!” dengus Lean lirih, lalu mengalihkan matanya dengan menunduk mengotak-atik ponselnya. Merasa gila dengan pikirannya yang ngelantur hanya karena pria berapron disana itu. Sayangnya begitu kembali dengan ponselnya, dia justru mendapati kiriman beberapa foto dari Vina. Tadinya Lean ingin mengabaikannya, tapi jarinya justru membelot dengan membuka kiriman foto itu. Hanya butuh sedetik untuk Lean menyesali semua. Dadanya seperti dijotos tanpa ampun. Sesak tersengal dan berdenyut nyeri melihat foto-foto tak senonoh Vina dan Sakha. Dua foto terakhir bahkan membuatnya gemetar hebat dan mengumpat kasar. Mereka benar-benar binatang yang tidak punya hati. “Bukankah tempat itu tidak asing lagi bagimu? Terima kasih, kasurnya benar-benar nyaman. Terlebih saat dipakai bercinta dengan calon suamimu, rasanya lebih nikmat karena ada wangi parfummu di bantal dan selimut itu. Apalagi yang ingin kamu banggakan, sedang semua yang kamu punya hanya bekasku! Setelah ini pasti tidurmu lebih nyenyak di kasur yang pernah bersimbah peluh kami dan calon benih Bang Sakha. Iya, kan?” tulis Vina seketika menyulut emosi Lean. “Jalang sialan!” seru Lean hendak membanting ponselnya, tapi lebih dulu disambar oleh Vian. “Sabar dulu!” sahutnya mengangkat ponsel itu tinggi, karena Lean yang sudah meradang berusaha merebutnya kembali. “Kembalikan!” teriaknya marah dengan muka memerah. Dia sampai menarik apron Vian, lalu melompat berusaha menggapai ponselnya. Sayang, tetap saja tidak terjangkau. “Duduk dulu!” “Nggak! Balikin sini ponselku! Sakha dan jalan sialan itu benar-benar b*****t! Kelakuan mereka seperti binatang. Bisa-bisanya datang ke apartemenku dan bercinta di atas tempat tidurku. k*****t, mereka!” Lean menangis tergugu. Dia tidak terima diperlakukan seperti ini. Vian berdiri mematung tanpa tahu harus berbuat apa. Sumpah, dia yang hanya orang lain saja ikut sakit hati. Apa yang di otak mereka sampai bisa-bisanya datang ke apartemen Lean dan bercinta di sana. Sakit jiwa mereka. “Itu aku beli susah payah dengan hasil keringatku sendiri. Tega sejahat itu mengotorinya untuk berzina di kasur yang aku tiduri setiap hari. Menjijikkan! Kenapa harus menjahatiku sampai segitunya?!” Lean menangis melolong seperti anak kecil. Benar-benar hancur oleh kelakuan terkutuk mereka. Vian mendekat, lalu memeluknya. Tubuh Lean sampai gemetar saking emosi dan menahan sakit hatinya. “Sabar dulu! Tunggu, sebentar lagi kesempatanmu untuk membalas pasti akan segera datang! Mereka akan membayar setiap tetes air matamu, Lean!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD