Plak! Plak!
"Aw/aduh." rintih Fauzy dan Amel secara bersamaan ketika mendapat serangan dadakan dari Agnee.
"Kok lo pukul pala gue sih." gerutu Fauzy kesal melihat Agnee. Kepalanya sangat sakit merasakan ini.
"Iyalah kalian berdua tidak ingat, orang kalian beda kelas." dengus Shevia menyambar kata-kata yang siap dilemparkan oleh Agnee.
"Oh iya yah, gue lupa hehehe..." cengir Amel tanpa wajah berdosa.
"Sudah ah, ayo ke sana." ajak Adit lagi.
"Bentar Dit, bukannya Pak Deni bilang kalau sumur itu sudah lama banget tidak dipakai airnya ya? Bagaimana entar kalo mereka gatal-gatal?"
"Alah orang sumurnya juga ditutup begitu kok Ky, ya pasti bersihlah."
"Ya tapi kan siapa tahu saja kan, Rif."
"Tapi bukannya air sumur itu tidak boleh dipakai ya, Dit? Ingat tidak kata Pak Deni waktu itu?" Tiara ikut bersuara.
"Iya, katanya tidak ada yang berani mengambil air di sumur itu." Lify menyetujui kata-kata Tiara.
"Cuma air kan? Ya elah, mereka itu bukan tidak berani tapi mereka malas saja menimba. Ya kali di sekolahan elite air harus menimba, apa kata dunia." Adit hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tapi bukannya ada hal mistis begitu makanya tidak boleh dibuka ya, Dit?"
"She, tidak usah aneh-aneh. Hal mistis apa sih, orang itu sumur adem ayem saja kok. Sudah ah ayo, keburu tambah sore ini." Adit sudah berjalan mendahului anggota OSIS lainnya.
Shevia hanya bisa memandang Nata yang mengedikkan bahunya tak acuh. Sedangkan yang lain masih menimang-nimang apakah harus menuruti Adit atau tidak.
"Ayo, tunggu apa lagi? Menunggu ketos marah terus kalian yang diguyur air?" Dama berjalan mengikuti Adit yang sudah berada di dekat sumur tua.
Mau tak mau mereka berjalan mengikuti Dama dan menyusul Adit. Dalam hati berdoa semoga tidak terjadi apa-apa. Semoga kata Pak Deni itu hanya mitos supaya anak-anak tidak ada yang berani ke belakang sekolah saja.
"Bantuin gue buka papannya." Adit sudah memegangi papan yang lumayan tebal yang dijadikan penutup sumur.
Dibantu oleh beberapa lelaki, akhirnya papan itu terbuka. Sepertinya hanya Nata yang masih setia dengan tampang cool seolah tidak merasa kelelahan habis mengangkat papan tadi bersama yang lain. Beda dengan Wekas yang sampai duduk saking pegalnya tangan.
"Ambil ember coba, biar airnya bisa ditampung." titah Adit kepada Fajar, Fabian, Tian dan Ricko.
"Sekalian sama botol-botol bekasnya dong tolong." seru Nova kepada siapa saja yang mendengar di antara empat lelaki yang ditugaskan mengambil ember.
"Bagi tugas ya, menimbanya bergantian yang cewek, yang cowok membawa air ke pos OSIS nanti." Adit mulai menimba air itu untuk mengawali.
Air sumur itu tidak terlalu dalam, bisa terlihat sangat jelas dari atas. Tidak akan terasa lelah jika hanya menimbanya beberapa kali saja. Airnya pun bersih, bening dan yang pasti tidak berbau.
"Ah... Segar." Adit membasuh wajahnya menggunakan air sumur yang baru saja dia timba.
"Ya ampun Adit, lo tidak takut gatal-gatal?" tanya Raynald sedikit bergidik melihat Adit membasuh wajahnya menggunakan air dari sumur yang sudah sangat lama tidak diambil airnya.
"Ya elah, orang ini segar banget kok." Adit kembali membasuh wajahnya menggunakan air dalam timba.
"Ini ember sama botolnya." Fajar datang membawa banyak ember-ember kosong bersama Ricko, Tian dan Fabian.
"Ya sudah, siapa yang mau menimba duluan?" Adit menyodorkan timba kepada para ladies untuk memulai.
"Itu air bersih tidak? Kok gue geli sih." Angel baru saja datang bersama Ane dan Cahya. Kedua tangannya bersedekap di depan d-a-d-a.
"Sini, gue saja yang menimba duluan." Agnee mengambil timba dari tangan Adit dan memulainya.
"Mau membantu lo, Ngel?" lirik Arif kepada gadis yang berdiri di samping Nata.
"Bantuin lihatin gue."
"Hu.... Hidup saja di Afganistan sana lo cabe." Rizky melempari Angel menggunakan rerumputan.
"Woy! Mana embernya?" Agnee berhasil mengambil air satu timba penuh.
Fabian menyodorkan ember kosong yang sudah dipisah-pisah dari yang lain. Mereka saling bergantian, karena merasa tak tega akhirnya Dama maju dan dia yang memegang kendali mengambil air dari dalam sumur. Angel memilih memasukkan air ke dalam botol yang tadi dibawa, meski sedikit jijik juga. Sedangkan para kaum adam membawa ember-ember berisi air untuk dipindahkan ke dalam drum yang sudah disiapkan di pos OSIS.
***
"Eh... Lo pada merasa tidak sih kalo di sini itu kayak banyak orang yang lagi berisik begitu?" Wekas memandang teman-temannya satu persatu.
"Lah... Kan memang ramai dari tadi juga, Kas. Bagaimana sih lo itu."
"Gue juga." Nata bersuara sambil memandang Wekas.
"Woa... Woa... Kulkas berjalan bersuara." Tiara menepukkan kedua tangannya mendengar Nata sependapat dengan Wekas.
Tapi tawa Tiara tak berselang lama karena mendapat tatapan tajam dari Nata. Tiara diam bukan karena takut, tapi menahan tawa supaya tidak meledak.
"Sudah ah... Memikirkan apa sih lo itu, Kas. Tidak usah berpikir yang aneh-aneh." Agnee menepak bahu Wekas pelan.
"Tapi gue juga merinding dari tadi."
Brak!
"Hua...!" kaget semuanya ketika papan penutup sumur yang disandarkan di bawah pohon terjatuh begitu saja, padahal tidak ada angin menerjang.
"Sudah-sudah, syut... Tidak usah panik, paling kena angin." Adit berusaha menenangkan Lify yang refleks memeluknya. Bukan hanya Lify, tapi yang lain juga kaget dan refleks.
"Sudah pada penuh kan, sudah yuk balik ke pos. Bentar lagi mulai."
"Tutup dulu, bantuin gue." ajak Adit mendekati papan penutup sumur yang jatuh barusan.
"Ah... Kok berat banget sih." keluh Dama masih berusaha mengangkat.
Sekuat tenaga mereka mengangkat papan penutup itu sampai menutup kembali. Sekarang mereka sudah berjalan menjauh dari area sumur menuju pos OSIS.
Krit... Krit... Krit...
Shevia menolehkan kepalanya, penasaran akan suara yang dia dengar. Tapi ketika kepalanya menoleh ke arah sumur itu lagi, tidak ada apa-apa. Di sana hanya ada timba yang bergoyang-goyang bagai terkena angin. Shevia kembali fokus ke depan saat Nata mengusap lengannya. Perasaannya sangat tidak enak. Tanpa mereka ketahui timba itu tidak sembarangan goyang.
***
Next...