Setelah minggu lalu Adit dan teman-temannya berkumpul di rumah orang tua Tiara untuk bakar-bakar. Sekarang bergantian Shevia yang menawarkan untuk main ke rumahnya. Gadis itu memang di rumah hanya bersama pengasuhnya dari kecil, asisten rumah tangga dan para pekerja lainnya.
Memang, meski sudah besar tapi Shevia tidak mau pengasuhnya berhenti bekerja. Dia lebih dekat pada pengasuhnya ketimbang pada mamanya sendiri. Jadilah sampai sebesar ini pun segala keperluan Shevia, diurus oleh pengasuhnya.
Di ruang keluarga sudah ada Shevia dan Nata di sana. Tentu saja Nata setiap malam minggu selalu nongkrong ke rumah kekasihnya. Jadi tidak heran kalau Nata datang lebih awal dari yang lain.
Tidak ada siapa-siapa di ruang tamu selain sang pemilik rumah dan Nata. Mereka sekarang sedang terlena oleh suasana. Entah bermula dari siapa dan berawal dari mana, tapi sekarang bibir mereka saling bertautan.
Nata memeluk pinggang Shevia secara posesif. Sedangkan Shevia menahan dirinya menggunakan kedua sikunya pada sofa agar tidak menindih kekasihnya. Tapi sepertinya tidak sampai di sana saja. Kali ini Nata menginginkan Shevia semakin dekat dengannya. Lelaki itu menarik Shevia agar duduk di atas pangkuannya.
Shevia melepaskan tautan bibir mereka, dirinya melihat Nata yang berada di bawahnya. Mereka sama-sama tersenyum satu sama lain. Shevia harus bersyukur karena Nata sulit memperlihatkan senyum itu untuk orang lain selain dirinya.
Kedua tangan Nata masih melingkar di pinggang Shevia. Kali ini dirinya duduk dengan santai sambil bersandar pada sofa. Meski dirinya harus memangku Shevia, rasanya tidak terasa berat sama sekali.
Kepala Shevia kembali mendekat, dia kembali menyerang bibir kekasihnya seperti tadi. Tanpa mereka tahu jika pengasuh Shevia tidak sengaja melihat. Tapi pengasuhnya itu sudah tidak aneh jika melihat Shevia dan Nata sedang berciuman seperti itu. Sudah beberapa kali dirinya tidak sengaja melihat setiap kali Nata main ke rumah.
Tangan Nata tidak diam, dia mengusap-usap punggung kekasihnya dan kadang turun meremas p****t Shevia. Decapan bibir mereka masih berlangsung, berulang kali Shevia menyerang bibir Nata.
"Aw... She, sakit." keluh Nata.
Shevia jadi kaget, dia menyudahi acara ciuman mereka. Tentu saja Shevia kaget saat melihat bibir Nata berdarah.
"Kok berdarah sih, Nat?" Shevia jadi bingung sendiri.
"Jangan kencang-kencang dong gigitnya, sakit nih." Nata mengambil beberapa helai tisue dan mengelap darah dari bibirnya.
Shevia masih duduk di atas pangkuan Nata. Dia membantu Nata mengelap darah di bibir kekasihnya.
"Gue tidak menggigit bibir lo, Nat. Bagaimana ceritanya gigit bibir, gue kan tadi asik main sama lo." Shevia jadi heran, dia benar-benar tidak melakukannya.
Nata tampak berpikir, dia mengingat bagaimana tadi Shevia memainkan lidahnya lalu tiba-tiba bibirnya serasa digigit.
"Ke dapur gih, minta es ke Bibi. Biar darahnya berhenti." titah Shevia.
"Turun dong." Nata tak habis pikir, dirinya dititah ke dapur tapi Shevia masih nyaman saja duduk di atas pangkuannya.
"Hehehe... Lupa, keenakan sih." cengir Shevia yang langsung turun dari pangkuan Nata.
Nata ke dapur dan meminta es pada asisten rumah tangga. Dia juga heran, darah yang keluar dari bibirnya bisa dikatakan lumayan banyak.
"Ahk..." ringis Nata saat dirinya berkumur menggunakan air es.
Tolong...
Nata kaget saat dirinya tiba-tiba mendengar suara minta tolong. Tidak mungkin di dalam kamar mandi ada orang lain selain dirinya. Kepalanya celingak-celinguk ke sekitar, barang kali memang ada orang selain dirinya. Tapi benar-benar tidak ada.
Nata lanjut kumur-kumur lagi sampai darahnya benar-benar berhenti. Dia melihat luka di sudut bibirnya yang tidak terlalu lebar.
Tolong...
Nata kembali kaget, dia kembali melihat ke sekitar. Tapi tetap saja tidak menemukan apa-apa.
***
Shevia masih menunggu Nata yang sedang menghentikan darahnya. Dia jadi heran, kenapa bibir Nata bisa berdarah seperti itu.
"Apa gue tidak sengaja gigit bibirnya tadi?" Shevia bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
"Tapi enggak ah, gue kalau gigit bibir dia juga pelan."
"Shevia...!" suara cempreng Lify mengagetkan Shevia yang masih kebingungan.
Shevia merapikan penampilannya sebentar dan membuang tisue bekas darah bibir Nata tadi ke tong sampah. Dirinya tidak mau ketahuan ciuman dengan Nata oleh mereka.
"Kok kalian baru datang sih?" Shevia mencoba biasa saja.
Ketiga gadis yang berpenampilan rapi nan modis itu langsung duduk di sofa bersama Shevia. Sedangkan para lelaki memilih duduk di karpet.
"Gue lihat motor si es, sudah datang dari tadi dia?"
"Sudah, noh lagi di kamar mandi."
"Weh... Habis ngapain kalian? Jam segini sudah ke kamar mandi saja?" Wekas menaik turunkan alisnya memandang Shevia.
"Tidak usah m-e-s-u-m lo." Shevia melempar wajah Wekas menggunakan majalah yang tersedia di atas meja.
Seorang asisten rumah tangga datang membawakan minuman untuk mereka. Jika makanan ringan memang sudah tersedia dari tadi.
"Nah, tuh si es." Tiara menunjuk Nata menggunakan dagunya.
Sesekali Nata masih memegangi sudut bibirnya yang sudah tidak berdarah. Dia menarik lengan Agnee agar berpindah supaya dirinya bisa duduk di sebelah Shevia.
"Ngomong minggir kek, susah amat jadi manusia." gerutu Agnee.
Nata hanya diam tanpa menanggapi. Agnee sendiri langsung duduk di atas karpet dekat Wekas.
"Bagaimana? Sudah tidak keluar lagi kan darahnya?" Shevia benar-benar terlihat khawatir pada Nata.
Gadis itu mengecek bibir kekasihnya. Benar kata Nata, darahnya sudah tidak keluar seperti tadi.
"Anjir... Bibir lo yang berdarah, Nat? Ganas amat She, lo ciumannya." Dama menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Gue jatuh, bibir gue kepentok lantai. Bukan ciuman." sembuh Nata sambil melempari Dama dengan bantal.
Semua orang tertawa mendengar suara Nata barusan. Lelaki itu, di saat bibirnya terluka pun masih saja bisa protes.
"Percaya kok, lagian mana mungkin pangeran es punya nafsu. Memang dia tahu bagaimana caranya ciuman? Jago nontonnya doang dia mah." goda Adit yang membuat semua orang kembali tertawa.
Nata mendesis, dia tidak masalah dibilang tidak jago ciuman. Asal Shevia tidak diolok-olok oleh mereka jika mereka tahu bahwa bibirnya terluka saat tadi ciuman dengan Shevia. Meski Nata percaya, jika Shevia tidak menggigit bibirnya hingga berdarah.
Di tengah-tengah tawa mereka, tiba-tiba lampu di rumah Shevia padam semua. Mereka kaget, tapi mereka masih positif thinking. Siapa tahu memang sedang mati lampu.
"Kok mati lampu sih, enggak asik begini." desah Lify.
"Wekas! Jangan pegang-pegang dong!" teriak Agnee saat dirinya merasa ada yang mengusap tengkuknya.
"Pegang apa sih, Ag? Orang gue di sini, mana bisa pegang lo." Wekas menyalakan flash di ponselnya.
Agnee kaget saat Wekas sudah pindah tempat menjadi duduk di sebelah Dama. Lelaki itu berada di paling pinggir. Di dekat Agnee ada Adit dan Nata yang duduk di atas.
"Pasti kalian berdua kan yang pegang leher gue barusan?" tuduh Agnee pada Adit dan Nata.
Tentu saja semuanya kaget mendengar pertanyaan Agnee. Terutama Lify, Shevia dan Wekas yang kaget. Semua flash dari ponsel mereka sudah sama-sama menyala, jadi lebih terang.
"Ngapain gue pegang leher lo, Ag. Orang dari tadi gue memijat Dama kok." Adit meminta persetujuan Dama.
Kekasih Tiara itu mengangguk membenarkan apa yang dikatakan Adit. Agnee ganti melihat Nata, kedua tangan lelaki itu digenggam oleh Shevia.
"Apa? Dari tadi tangan Nata gue pegang terus." sahut Shevia.
Agnee jadi panik sendiri, dia mendekat ke Adit karena takut. Semua yang di sana merasa ada yang aneh.
"Tadi gue beneran merasa ada yang memegang leher gue dan gue kira Wekas." ujar Agnee, suaranya sudah ketakutan.
"Jangan ganggu teman-teman gue, please." ujar Tiara tiba-tiba.
Lify yang duduk di dekat Tiara jadi takut. Mereka semua tahu jika gadis itu memiliki kemampuan lebih, sama seperti Dama.
"Kita duduk di bawah semua, pegangan satu sama lain." ajak Dama.
Semua orang menurut, mereka sudah tidak memedulikan formasi yang duduk sembarang dan tidak menggenggam tangan kekasih masing-masing. Yang penting sekarang mereka selamat.
"Gue takut." ujar Shevia.
"Syut... Kita berdoa bareng-bareng." ajak Tiara.
Semua menurut, mereka akan mulai berdoa bersama. Mereka juga tahu sekarang, kalau hanya rumah Shevia saja yang mati lampu.
"Aaa...!" teriak Lify.
Semua orang kaget saat mengetahui Lify ditarik oleh sesosok berdaster merah. Semua orang otomatis panik. Adit ingin menyelamatkan Lify, tapi tiba-tiba kakinya ada yang memegang.
Semua orang diganggu satu persatu. Shevia dan Nata diganggu oleh sosok tanpa kepala. Sedangkan Adit diganggu oleh sosok berdaster putih. Agnee menangis, dirinya pun juga diganggu.
Tiba-tiba lampu menyala, terlihat semakin jelas saja sosok penampakan mereka yang sedang mengganggu. Wekas pun diganggu oleh sosok berdaster putih seperti Adit.
"Tolong...!" seru Tiara.
Di sana hanya Tiara dan Dama yang tidak diganggu secara fisik. Tapi mereka juga diganggu oleh suara-suara aneh. Entah kenapa, tapi Tiara dan Dama masih bertahan untuk berusaha menyelamatkan teman-teman mereka.
Lify menangis, dia berusaha lari tapi tubuh mungilnya kembali dihempaskan oleh sosok berdaster merah itu ke lantai. Lify merasa tulang-tulangnya seolah remuk. Adit juga tak kalah sakitnya, berulang kali dirinya dihempaskan ke tembok.
Tiara dan Dama bingung harus bagaimana. Mereka berusaha mengusir semua hantu yang datang malam ini ke rumah Shevia.
Berulang kali Shevia menjerit meminta tolong. Dirinya diseret dan kepalanya dibenturkan ke tembok berulang kali sampai rasanya hampir kehilangan kesadaran.
Agnee sendiri sudah muntah darah karena tubuhnya dipukul dengan kursi hingga kursi itu hancur.
Tiara mengambil tongkat baseball, dia berusaha memukul hantu yang sedang menghajar Wekas.
"Awas lo!" teriak Tiara sambil memukulkan baseball tadi.
Tapi naas, namanya juga makhluk astral. Dia bisa menghilang kapan saja. Bukan hantu itu yang terkena pukulan oleh Tiara, tapi malah perut Wekas yang terkena.
"Wekas...!" pekik Tiara kaget, dia tak kuasa melihat Wekas ambruk akibat pukulannya.
Dama semakin panik, dia berusaha menolong Lify dan semua teman-temannya. Tapi apalah daya, dirinya hanya berdua dengan Tiara.
"Dama! Awas!" teriak Nata.
Dama merasa semua tulangnya remuk. Dia terbang ke atas hingga membentur atap lalu dihempaskan ke lantai lagi. Tiara menangis melihat kekacauan malam ini.
Tiara berlari, dia ingin menolong Nata yang dicekik oleh hantu tanpa kepala itu. Tapi naas, dirinya sendiri sekarang diseret oleh sosok berdaster merah yang tadi menghajar Lify dan tubuhnya dibanting berulang kali ke lantai.
"Tolong..." ujar Tiara lirih.
Mereka berharap ada yang mendengar suara minta tolong mereka. Lagi pula, ke mana perginya para pekerja di rumah Shevia. Kenapa di antara mereka tidak ada yang menolong satu pun.
***
Next...