"Kumpulkan tugas kalian sekarang juga, Ibu akan periksa." Vidya menatap semua muridnya dari ujung kiri ke ujung kanan.
"Ya, Bu..." ujar mereka serempak.
Satu orang perwakilan yang duduk di paling belakang maju sambil membawa buku teman satu barisnya. Di kelas ada empat baris, jadi ada empat orang perwakilan yang mengumpulkan buku.
Semua buku sudah terkumpul di meja guru. Para murid was-was kalau nilai mereka jelek. Vidya bisa dibilang guru killer di sekolah ini. Bahkan dia tidak segan-segan memberikan hukuman berat jika ada yang melanggar tidak mengerjakan tugasnya.
Vidya mulai memeriksa satu persatu tugas murid-muridnya. Semua murid diam, mereka merangkum materi dari paket ke buku catatan mereka masing-masing. Tentu saja itu pun tugas dari sang guru killer di depan.
Benar-benar tidak ada suara dari para murid. Mereka sudah paham betul bagaimana sifat gurunya itu. Hanya terdengar suara pohon bergoyang karena terkena terjangan angin yang cukup kencang.
Vidya sudah berhasil memeriksa lima buku. Beberapa kali dia membenarkan letak kacamatanya yang merosot karena ukuran hidungnya yang minimalis.
"Lify, Agnee diam! Jangan berisik kalian!" tegur Vidya.
Semua murid di kelas itu jadi heran, mereka saling tatap. Terutama Agnee dan Lify, mereka jadi bingung sendiri.
"Kami diam saja sedari tadi, Bu." ujar Lify memberanikan diri.
Vidya menatap Lify, dia membenahi letak kacamatanya lagi. Sorot matanya benar-benar tajam sampai membuat Lify dan Agnee beringsut.
"Jangan bercanda kalian, jelas-jelas saya mendengar kalian berdua saling berbisik-bisik sedari tadi."
Para siswa benar-benar tidak mengerti, kenapa Vidya bisa berkata demikian. Padahal seisi kelas tidak ada yang mendengar jika Lify dan Agnee bisik-bisik. Ditambah, Lify dan Agnee tidak satu bangku.
"Benar kan Shevia, dari tadi Agnee dan Lify sibuk berbisik-bisik?" Vidya menatap Shevia yang duduk di sebelah Lify.
"Enggak Bu, mereka sama-sama diam dan merangkum materi." bukan karena Shevia teman baik Lify dan Agnee, dia jadi membela kedua temannya itu. Tapi karena memang Lify dan Agnee tidak berbisik sedikit pun.
"Sama saja kamu, kalian bertiga dihukum membersihkan toilet yang ada di dekat lorong." ujar Vidya tanpa pikir panjang lagi.
Jelas saja, semua orang kaget. Mereka jadi bingung, di sini Vidya yang mencari gara-gara atau ketiga gadis tadi yang sedang bernasib malang.
"Tapi kami tidak bisik-bisik Bu. Ibu tidak bisa seenaknya menghukum kami dong." Agnee angkat bicara, mana terima dia dihukum bukan karena kesalahannya.
"Apa buktinya kalau kalian berdua tidak bisik-bisik tadi? Suara kalian berdua terdengar jelas sekali." suara Vidya meninggi.
"Saya sebagai ketua kelas menjamin mereka, Bu. Tidak ada yang bersuara sama sekali dari tadi." Dama pun membantu ketiga teman perempuannya agar Vidya tidak jadi menghukum mereka.
"Saya tidak percaya, kalian tetap harus dihukum karena sudah gaduh dan berbohong."
Vidya tidak lagi menghiraukan keempat muridnya yang barusan beradu argumen dengannya. Wanita itu lanjut memeriksa tugas muridnya yang hanya sisa beberapa saja. Sampai pada Vidya harus memeriksa buku bersampul coklat milik Lify.
Emosi Vidya semakin memuncak melihat tulisan yang ada di dalam buku milik Lify. Dia sudah tidak bisa mentolelir kesalahan muridnya kali ini.
"Lify! Hukumanmu saya tambah jadi membersihkan lapangan sepak bola!" seru Vidya tanpa perasaan.
Lagi, semua murid menatap Vidya heran. Kenapa perempuan itu hobby sekali marah-marah. Apalagi yang membuat Vidya emosi sekarang.
"Tapi salah saya apa, Bu?" Lify heran sekali, dia tidak tahu apa-apa salahnya.
Brak!
Semua murid kaget ketika Vidya melemparkan buku tugasnya ke meja Lify dengan kasar. Bahkan buku itu sampai mengenai bagian d-a-d-a Lify cukup keras.
"Lihat isi bukumu! Kamu mau mempermainkan saya?!" bentak Vidya tak tanggung-tanggung.
Lify masih tak paham, dia hampir saja meneteskan air mata mendapat perlakuan seperti ini dari Vidya.
Sedangkan Vidya lanjut memeriksa tugas muridnya yang tersisa dua orang lagi. Tinggal milik Nata dan Adit yang belum Vidya periksa.
"Baca apa yang ada di dalam bukumu itu!" titah Vidya.
Lify membuka bukunya, dia kaget saat melihat bukunya hanya berisi tulisan 'tolong' saja. Semua tulisannya menjadi tolong dengan tinta warna merah.
Shevia ikut kaget, dia memeriksa buku Lify. Tangannya membekap mulutnya tak percaya.
Brak!
"Kalian berdua juga saya hukum!" Vidya ganti melempar buku Nat dan Adit secara bersamaan karena mereka duduk bersisian.
"Ini bukan buku saya, Bu. Saya mengerjakan tugas yang Ibu kasih. Saya tidak pernah menulis semua kata-kata ini." Lify jadi panik sendiri, dia tidak mengerti kenapa tulisan di bukunya semua berubah menjadi tolong.,
Adit dan Nata ikut membuka buku mereka masing-masing. Rasa syok juga menimpa mereka berdua. Adit tak percaya, kenapa bukunya berisi kata tolong. Nata pun syok, tapi dia masih bisa menahan kekagetannya.
"Kalian bertiga mencoba mempermainkan saya? Dan kamu, Adit! Kamu itu ketua OSIS, berani sekali kamu melakukan hal seperti itu." Vidya sudah berdiri, di tengah-tengah antara meja Adit dan Lify.
"Tapi Bu, kami benar-benar tidak tahu kenapa tulisan dalam buku kami berubah seperti ini." Adit angkat bicara, dia juga tidak tahu kenapa ini bisa terjadi.
"Karena kalian sudah berani mempermainkan saya, nilai kalian satu semester saya kasih nilai 0. Dan jangan lupa hukuman saya, bersihkan toilet di dekat lorong penghubung gedung lama dan lapangan sepak bola." Vidya tidak mau lagi mendengar apa yang dikatakan oleh Adit dan teman-temannya atas kasus ini.
Lify menangis, dia tidak menyangka akan mendapat musibah seperti ini. Bagaimana bisa tulisan dalam bukunya berubah seperti ini. Dia ingat betul-betul jika dirinya tidak salah membawa buku. Bahkan tadi, sebelum mengumpulkan saja, Lify sempat melihat tugasnya dan aman.
Adit menjambak rambutnya frustrasi. Dia tidak terima nilai fisikanya 0 selama satu semester. Bisa gawat jika Vidya benar-benar tidak mau memberikan nilai padanya, Lify dan Nata. Sungguh, Adit tidak tahu dari mana datangnya semua tulisan tolong tersebut.
"Pasti ini ulah mereka." Nata mengangguk-anggukkan kepalanya.
Adit menatap Nata, dia bingung apa yang dimaksud Nata barusan. Lagi pula, tumben sekali lelaki itu bicara. Apa mungkin Nata sedang tidak irit bicara karena mendengar jika nilai fisikanya selama satu semester nanti anjlok.
"Maksud lo, mereka siapa?" Adit memutuskan untuk bertanya pada Nata.
"Mereka yang pernah mengganggu kita pas jurit malam." sumpah demi apa, Nata bicara begitu banyak siang ini.
***
Sebagai sahabat yang memiliki solidaritas tinggi. Mereka berdelapan bagi tugas, Adit, Dama, Lify dan Tiara membersihkan kamar mandi. Sedangkan Nata, Wekas, Shevia dan Agnee membersihkan lapangan sepak bola. Mana mungkin mereka yang tidak dihukum tega meninggalkan teman-temannya yang dihukum.
Tapi tanpa mereka duga, ternyata Angel mengajak teman satu kelasnya untuk membantu mereka berdelapan. Semua teman kelas siap sedia membantu, karena mereka juga tahu jika Lify, Agnee, Adit, Nata dan Shevia tidak salah. Karena di kelas tidak ada yang mendengar jika Lify dan Agnee berbisik ria.
"Thank buat kalian yang sudah mau membantu kita." Wekas melihat beberapa temannya yang sudah selesai membantu membersihkan lapangan sepak bola.
Semua teman-teman sekelas Wekas mengangguk sambil berkata jika mereka tulus membantu. Sebagai ucapan terima kasih Wekas pada mereka, dia memberikan uang imbalan untuk mereka membeli minuman. Wekas meminta maaf karena tidak bisa menemani, dirinya masih harus membantu Adit yang membersihkan kamar mandi.
"Kalau begitu, kita pulang dulu ya." pamit Tia mewakili beberapa teman lainnya.
Wekas mengangguk dan membiarkan mereka pulang. Tapi tak selang lama, beberapa orang yang membantu di toilet sudah berjalan ke arah lapangan. Sepetinya mereka juga sudah selesai membantu.
"Eh Kas, kita pulang dulu ya. Kita sudah beres menbantu Adit membersihkan kamar mandi." ujar Kea, teman satu kelas dengan Wekas juga.
"Oh begitu, boleh. Terima kasih ya sudah bantu, ini buat beli es deh. Sorry gue tidak bisa menemani." Wekas juga memberikan beberapa lembar uang berwarna merah pada mereka untuk membeli es.
"Wah... Thank ya, gue sama yang lain cabut dulu." Kea langsung pergi bersama teman-temannya.
Agnee lega, karena hukuman ini selesai. Dia tidak bisa membayangkan jika teman satu kelasnya tidak membantu, mungkin bisa sampai maghrib mereka membersihkan lapangan sepak bola yang luasnya sejagat raya.
"Hah... Akhirnya beres juga." Adit dan ketiga teman lainnya datang, mereka duduk di tribune yang paling dekat dengan lapangan.
"Capek banget sumpah." Tiara sampai memijat-mijat punggungnya sendiri karena saking pegalnya.
"Istirahat bentarlah di sini, baru kita cabut." Dama menatap teman-temannya yang mengangguk setuju.
"Ag, temani gue ke toilet yuk." pinta Shevia.
"Ayo... Gue sekalian ingin cuci muka." Agnee berdiri.
Shevia menerima uluran tangan Agnee, mereka berjalan berdua menuju toilet yang tadi dibersihkan oleh teman-temannya.
"Masih jam empat, She." ujar Agnee usai melihat jam tangan yang melingkar di tangannya.
"Em... Masih lamalah ke maghrib."
Mereka sampai di toilet, mereka benar-benar membersihkan toilet ini. Buktinya tidak lagi tercium aroma pesing atau tak sedap dan lantainya tidak licin lagi.
Shevia masuk ke dalam salah satu toilet karena dia ingin buang air kecil. Sedangkan Agnee hanya berdiri di depan cermin yang biasa dipakai untuk berdandan para siswi. Agnee membasuh wajahnya menggunakan air dari keran yang langsung ditampung wastafel.
"Ah... Segarnya." gumam Agnee saat wajahnya terkena air.
Gadis itu mengambil tisue yang disediakan dan mengelap wajahnya hingga kering.
"Aaa...!"
Agnee kaget saat mendengar suara Shevia berteriak di dalam toilet. Dia langsung saja menggedor-gedor pintu toilet Shevia. Jelas Agnee takut kalau terjadi apa-apa pada Shevia.
"She! Shevia, lo kenapa?" Agnee berusaha keras membuka pintu toilet tersebut.
Tak lama, semua teman yang tadi duduk di area tribune berdatangan. Mereka bilang bahwa mereka juga mendengar suara teriakan Shevia.
Brak!
Pintu berhasil didobrak oleh Nata, dia menemukan Shevia menangis sambil membekap mulutnya.
"Shevia!" Nata langsung menarik Shevia keluar toilet dan memeluk gadisnya yang terlihat ketakutan.
"Lo kenapa, She?" Lify ikut panik.
"Astaga!" Tiara membekap mulutnya saat melihat sebuah tulisan di cermin dalam toilet.
"Kok bisa ada tulisan tolong sih? Tadi gue sudah cek kalau toilet ini bersih." Adit jadi bingung.
Agnee melihat tulisan itu, dia seperti pernah melihat sebelumnya.
"Bukannya itu tulisan yang mirip sama tulisan di buku kalian bertiga?" Agnee menatap Lify, Adit dan Nata secara bergantian.
Lify dan Adit mengamati tulisan tersebut. Mereka menganggukkan kepalanya, seolah tak percaya kenapa bisa ada tulisan seperti itu. Nata sendiri masih menenangkan Shevia.
"Ini makin tidak beres, kita harus cari tahu kenapa kita berdelapan diteror." Dama tidak terima jika dirinya dan ketujuh temannya diteror terus menerus seperti ini.
Wekas memilih memotret cermin tersebut sebagai bukti. Mumpung tulisan itu masih ada.
***
Next...