Part 9 Menyesal

1281 Words
Beberapa hari berlalu, Rara masih disibukkan dengan pencapaian target akhir tahun. Hubungannya dengan Banyu biasa saja. Tidak ada kemajuan berarti. Sepulang dari kondangan di Kuningan dia lebih banyak diam. Hanya bertanya sekali, ingin tahu letak makam Melati. Entah untuk apa dia tanya. Tapi beberapa kali Rara lihat dengan ekor matanya, kalau Banyu mencuri pandang. Entahlah, kenapa sikapnya jadi berubah. Rara pikir hubungan mereka meningkat One step ahead seperti kata Agni. Ternyata jalan di tempat. Aaah, sudahlah. Toh seperti kata pepatah, kalau jodoh gak akan ke mana. Ada saja jalannya untuk bersatu. Daripada pusing memikirkan kelanjutan hubungannya dengan Banyu, sekarang dia lebih pusing memikirkan presentasi di klien. Bukan yang terlalu gede juga nilai proyeknya, tapi kan sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit. Walaupun nilai proyek tidak besar tapi kalau banyak, lumayanlah bisa membantu mencapai target. Siang ini mereka presentasi di sebuah perusahaan hygiene products. Berlokasi di lantai 17 di sebuah gedung di Jl Sudirman. Setelah ada masukan sana sini dari klien, dan tim marketing janji akan segera merevisi proposal, mereka berpamitan untuk pulang. Karena masih ada janji meeting dengan klien lain, tim terpaksa dibagi 2. Rara kebagian tugas untuk segera merevisi proposal. Sedangkan Rosi dan Rio lanjut ke klien lain untuk follow up. Yap, tiap kali presentasi jika diperlukan maka seksi Marcomm akan diikutsertakan untuk mendukung marketing. Diharapkan hasilnya akan lebih efektif. Rosi dan Rio sudah terlebih dulu ke parkiran. Rara menyusul kemudian dikarenakan harus ke toilet dulu. Toh dia langsung balik ke kantor pakai taksi karena mobil operasional kantor dipakai Duo R. Saat pintu lift terbuka, Rara masuk. Sebenarnya agak sedikit ragu karena lampu yang ada di dalam lift kok kedap kedip. Sempat tertawa dalam hati karena berpikiran mungkin nih lampu memang disengaja biar yang pakai lift berasa sedang ajep ajep. Sendirian di dalam lift, Rara merasa tidak nyaman. Entahlah, akhir-akhir ini rasa itu sering muncul. Tiba-tiba lift berguncang cukup keras membuat Rara terkejut. Kemudian lift itu dia rasakan berhenti mendadak. Rara menatap nanar sekeliling. Sesaat kemudian lampu lift padam membuatnya menjerit kencang. "Aaaaggghhh... Tolooong." Panik melanda gadis itu. Digedornta pintu lift dengan kekuatan penuh. Tidaaak, aku tidak boleh semakin panik. Tenaaaang, ambil nafas dan berfikir apa yang seharusnya kulakukan di saat seperti ini. Aah yaa.. ponsel. Tersadar harus menelpon seseorang, segera diambil ponselnya dengan mengaduk tas kerjanya yang berukuran besar karena berisi banyak macam. Ya Allah.. gelap. Gemetaran Rara mencari ponsel. Saat dia menemukan benda pipih itu, dia mengucap syukur berkali-kali. Tapi kemudiaaaan... aaaah low bat. Hanya tinggal lima persen saja. Siaaaal. Double sial, Rara lupa ngecas tadi karena keburu-buru. Terduduk lemas dengan badan gemetar dan keringat dingin mulai mengucur, Rara kembali berfikir apa yang harus dilakukan. Aaah yaa emergency button di lift. Susah payah diraihnya tombol merah itu. Berdoa semoga ada seseorang yang dapat segera menemukannya. 5 menit... 7 menit... 10 menit... Entah sudah berapa lama Rara menunggu. Dia tak tahu. Aku takut. Aku gugup. Aku gemetar. Disaat seperti ini, di tempat kecil dan gelap ini, Rara sudah kehabisan suara karena lelah menjerit. Dan bayangan-bayangan itu pun kembali menghantuinya. Mereka berkelebatan, sepertinya berlomba berputar di otak Rara seperti dvd rusak yang selalu rewind dengan sendirinya. Rara duduk menangkup kakinya. Diletakkan kepalanya di atas kedua lututk yang semakin gemetar. Tidaaak, aku tak mau begini. Ya Tuhan... Gelap. Sempit. Aku takut. Ayah, umi... tolong Rara. Aku takuuut. Airmata mengalir deras di pipi gadis itu. "Tidaaak... kumohon jangan. Jangan lakukan ini padaku. Sakiiit.. hentikan... tolong hentikan..." Racau gadis itu lirih. Kepalanya menggeleng kasar. Mencoba mengusir kelebatan bayangan p*********n itu. "Kumohon jangan. Jangaaaan.." Entah sampai kapan Rara meracau. Terakhir diingat ada suara gedoran di pintu lift. Dan teriakan orang-orang yang sama paniknya dengannya. Semoga.. semoga aku cepat ditemukan. Kemudian semuanya menjadi gelap gulita. ~~~ Siang ini Banyu ada pertemuan dengan klien. Rasanya malas sekali hari ini. Tapi bagaimanapun juga dia harus pergi. Lagipula lumayanlah bisa melupakan hubungan tidak jelasnya dengan Larasati. Dia masih tidak suka Rara dekat dengan Indra. Tapi dia tidak punya hak untuk melarangnya. Laah memang dia siapanya Rara? Pacar bukan, suami bukan, teman juga gak jelas. Huuft... Banyu mengajak Bu Tantri, sekretaris direksi, untuk ikut bersamanya. Bu Tantri sangat bisa diandalkan. Mungkin karena pengalaman beliau selama menjadi sekretaris papa. Walau sudah berumur lebih dari 40 tahun tapi beliau tetap cekatan. Banyu berjalan ke luar menuju lift dan keheranan melihat kerumunan orang-orang yang tampak heboh di depan pintu lift. Acuh, dia hendak melewati kerumunan itu. Ketika sekilas dia mendengar bisik-bisik ada seorang gadis yang terjebak di lift. Dan gadis itu meracau tak jelas. Selintas lalu Banyu mendengar rintihan, dengan suara yang sungguh memelas. "Tidaaak.., tolong hentikan. Sakiiit..." Rintih suara itu. Seketika Banyu menoleh ke arah suara tersebut. Itu kan suara.. aah sial, kenapa pada ngariung gini sih? Bukannya nolongin. Rutuknya dalam hati. "Minggir..!" Bentak Banyu pada kerumunan itu. Di depan kerumunan terlihat ada seorang ibu memangku kepala seorang gadis yang merintih sedih, menyayat hati orang yang mendengarnya. "Ra...Kamu.. kenapa bisa jadi gini?" Banyu berjongkok disebelah Rara. Ternyata benar, dia Rara. Dia masih meracau mengulang kata-kata itu. Kata demi kata yang masih kuingat dari tiga tahun yang lalu. Semakin mendengar rintihannya, semakin nyeri hati Banyu menahan sakit. Semua gara-gara aku. Rara jadi menderita seperti ini. Segera saja Banyu membopong Rara. Saat itu dia mendengar si ibu tadi bertanya," Maaf, bapak kenal gadis ini? Sepertinya dia tidak bekerja di gedung ini karena memakai kartu visitor." Banyu mendengkus dan melirik ke arahnya. Dijawab," Dia, Larasati, teman adik saya." Segera saja dia berjalan sambil membopong tubuh Lara yang lemah. Dibelakangnya, Bu Tantri tergesa menyusul. "Bu, tolong bebaskan jadwal saya hari ini. Dan tolong segera panggilkan dokter dari klinik di lantai 3." Bu Tantri mengangguk. "Mau dibawa ke mana pak, nona ini?" "Ke ruangan saya saja bu. Tolong siapkan sofa dan bantal kecilnya. Lama-lama berat juga." Bu Tantri yang tersenyum penuh arti. Biar saja dia terheran karena Banyu mau repot menolong seorang gadis. Kuletakkan tubuh Rara perlahan di sofa di ruangan. Diusap dahinya lembut, mengusap keringat di wajahnya dengan sapu tangannya. Rara masih terpejam, badannya masih bergetar, kepalanya masih menggeleng ke kanan kiri seperti menolak sesuatu, mulutnya masih meracau menggumankan kata-kata yang dia ucapkan sedari tadi. Banyu terdiam, duduk gelisah di sebelahnya. Meringis menahan nyeri di d**a, melihat keadaan Rara yang seperti ini. Tak pernah dia sangka akibat perbuatannya tiga tahun lalu ternyata sehebat ini bagi mental Rara. Menyesal! Bagaimanapun juga, dia gak bersalah. Dia hanya berada di saat yang tidak tepat waktu itu. "Maaf Ra.. maafkan aku. Aku benar-benar minta maaf." Ucap Banyu lirih sambil menghapus keringat di dahi gadis itu. Pasti Bu Tantri terheran-heran melihat mereka. Si gadis yang terus meracau dan Banyu yang terus menggumankan kata maaf. "Bu Tantri.. mana dokternya? Kenapa lama sekali?" Tanya Banyu ke Bu Tantri, tidak sabar. Tepat bibirnya menutup, terdengar suara ketukan di pintu ruangan. Sigap Bu Tantri membuka pintu dan mempersilakan seorang laki-laki yang pasti dokter karena jas putih yang dipakainya. Tampak ada seorang perawat yang menemani dokter itu. Sigap mereka segera memeriksa Rara. Banyu cerita dengan singkat kejadiannya, sesuai yang dia tahu saja tentunya. Dan tak lupa info sepertinya Rara punya trauma tertentu pada ruang sempit dan gelap. Yang tentu saja dia tidak bilang karena apa. Setelah pemeriksaan, dokter memberikan obat penenang ke Rara. Tak lama kemudian Rara tertidur tenang. Segera diambil ponsel dan menelpon Agni. Tentu saja dia heboh menanyakan kronologi kejadiannya. Aduuuh adikku itu memang suka panik deh. Sementara menunggu Agni datang, Banyu kembali memandangi Rara. Tampaknya dia sudah tertidur, terdengar dari suara nafas yang teratur. Walau bisa terlihat masih ada kegelisahan di wajah ayu itu. Masih ada air mata yang mengalir dari sudut matanya. Bahkan saat tidur pun dia menangis. Banyu mengusap perlahan air mata itu dengan jari tangannya. Ya Tuhan.. semua gara-gara aku. Aku menyesal sudah melakukan hal itu padanya. Yaa aku menyesal. Sungguh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD