Malam Penjamuan Istana

2880 Words
Pertama kalinya aku tidak bisa menemukan apa pun untuk dilakukan. Setelah berkenalan dengan Goliath, aku hanya berdiam lama di dalam kamar yang ukurannya hampir sebesar rumahku sendiri. Bangunan ini ternyata mempunyai empat lantai yang setiap lantainya sangat luas dan memiliki banyak ruangan. Aku menempati salah satu kamar di lantai dua. Sungguh tidak bisa dimengerti kenapa mereka membangun istana semegah ini hanya untuk ditempati oleh satu orang. Jika saja hal semacam ini terjadi di negaraku, pasti rakyat sudah melakukan demo berjilid-jilid atas tuduhan korupsi uang negara. Apakah di dunia yang super duper aneh ini mereka juga membangun istana pakai uang rakyat? Aku jadi penasaran. Namun, bukan itu masalahnya sekarang. Alasan keberadaanku di sini adalah hal paling utama yang harus dikhawatirkan. Aku harus mencari tahu apa yang membuatku bisa masuk ke dunia ini. Dalam satu hari saja tiba-tiba aku dinobatkan menjadi seorang Selir Agung. Berarti seharusnya ada perempuan lain yang dijuluki Ratu di kerajaan ini. Tidak mungkin pula wanita tua tadi adalah orangnya. Dilihat bagaimanapun, dia lebih cocok menjadi ibu dari Raja yang angkuh tersebut. Sementara aku tidak melihat seorang wanita muda yang mengenakan mahkota pada waktu penobatan. Tidak mungkin pula Raja di kerajaan ini berdiri tanpa Ratu. Tepatnya, aku tidak tahu apakah Ratu Graceland itu adalah seseorang yang berbahaya untukku atau tidak. Lagi pula, memangnya si Raja bodoh itu tidak meminta izin dari istri utamanya dulu sebelum berpoligami? Asal kawin sesuka hatinya saja. Dasar kaum berbatang. Satu hal paling tidak bisa kupahami adalah alasan Raja mengangkatku sebagai Selir Agung. Mimik wajah menyebalkan dan caranya berbicara padaku waktu itu sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia menyukaiku. Lantas kenapa dia menikahi seseorang yang tidak dia sukai? Berbicara pasal menikah. Secara harfiah sekarang aku sudah menjadi istrinya. Lantas apakah aku akan digangbang tanpa persiapan? Tidak, hal seperti itu tidak boleh sampai terjadi. Bila perlu aku akan berjaga sepanjang malam agar dia tidak bisa semena-mena terhadapku. "Permisi, Yang Mulia." Suara seorang perempuan di depan pintu kamar membuat pikiranku teralihkan. Dia mengenakan pakaian yang hampir mirip dengan model busana Margareth. Aku tebak dia juga seorang pelayan istana. Aku berdeham, mengatur pita suara sekalem mungkin. "Ada apa?" Sial, yang keluar dari tenggorokanku tetap saja suara melengking ini. Seperti suara penyanyi opera saja, padahal aku tidak bisa bernyanyi. Entah kemana perginya suara serak basahku yang aduhai. "Saya ditugaskan Nyonya Margareth untuk mengantar segala keperluan Yang Mulia." Begitu dia selesai mengucapkan kalimatnya, barisan pelayan perempuan lain langsung memasuki kamar. Ternyata dia tidak sendiri sejak tadi. Mereka membawa begitu banyak barang. Dimulai dari gaun berbagai bentuk dan warna, mahkota bermutiara dan berbunga, sepatu kain dengan sol yang sepertinya terbuat dari kayu; aksesoris seperti gelang, anting, kalung dan cincin; hingga topi lebar dan sarung tangan panjang. "Sebentar, kalian tidak memiliki tas?" tanyaku. Di antara banyak barang mewah yang mereka antar ke kamar ini, tidak ada satupun benda yang bentuknya mirip tas. Padahal aku penyuka tas branded. "Tas?" tanya si pelayan dengan wajah yang tampak kebingungan. "Maksud Yang Mulia tas yang selalu digunakan para laki-laki untuk berburu?" Aku mulai mengerti, tidak ada hal yang selalu sempurna. Tampaknya mereka belum tahu kegunaan tas untuk kaum perempuan. Padahal di duniaku tas adalah benda yang sangat wajib ada untuk menjadi alat bersaing dengan teman ataupun musuh. Sedangkan di dunia ini, hanya kaum bapak-bapak yang mengenakan tas. Awas saja nanti kuajak arisan. "Kalau tidak ada tas, apa kalian juga tidak membawa bahan makanan?" tanyaku lagi. Kelopak mata sang pelayan mengerjap cepat, dia tampak kebingungan. Jangan katakan orang di dunia ini juga tidak tahu apa itu makanan. Seingatku bahkan manusia purba saja mengenal benda yang membantu menunjang kehidupan itu. "Jamuan Yang Mulia akan diantarkan pada waktu makan," jawabnya kemudian. Aku menepuk jidat. "Bukan itu. Maksudku bahan makanan mentah, aku lebih suka makan masakan sendiri. Aku tidak pernah melewati satu hari saja tanpa memasak, kecuali di hari pernikahanku." Lagi pula aku tidak yakin makanan mereka akan cocok dengan lidahku yang cerewet. "Maaf, Yang Mulia. Saya hanya diberitahu untuk mengantar semua barang ini ke istana Yang Mulia." Dia menunduk, aku sedikit tidak tega sudah protes padanya. Padahal dia memang tidak bersalah. "Tidak, ini bukan salahmu. Hanya saja, aku sedikit susah terbiasa dengan suasana ini." "Sebenarnya jika Yang Mulia ingin memasak, kebetulan ada satu pesan lagi yang harus saya sampaikan pada Yang Mulia," katanya. "Pesan apa?" Aku jadi sedikit bersemangat mendengar kata memasak. "Besok Raja akan mengadakan penjamuan makan malam untuk merayakan penobatan Selir Agung. Di pesta itu para petinggi istana akan menguji kemampuan memasak Yang Mulia." Mataku menyipit mendengar penjelasan pelayan itu. Lupakan soal keinginanku untuk memasak. Di penjamuan besok aku harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi padaku. Selain itu, harusnya ada satu orang lagi yang akan aku temui di tempat ini. Dia adalah laki-laki yang ada di puncak kastil sebelum aku membuka mata. Dari caranya berbicara padaku, laki-laki bernama Edmund itu pasti mengenali pemilik tubuh ini. °°°° Seorang Naina memang selalu tenang dalam situasi mengancam nyawa sekalipun. Bisa-bisanya aku tertidur sampai hari terang benderang, padahal sudah berencana untuk terjaga sepanjang malam demi menjaga keselamatanku sendiri. Mungkin karena suasana di bangunan sangat sepi, yang malam harinya hanya berbekal penerangan dari lilin. Untung saja Raja tidak sopan itu sepertinya tidak datang ke sini tadi malam. Sudah lebih dari tiga puluh menit aku berkeliling membuka satu persatu ruangan di istana megah ini. Tidak ditemukan adanya kamar mandi. Tidak mungkin orang-orang di dunia ini masih mandi di sungai, kan? Aku tahu cantik itu berasal dari skincare, tetapi aku tetap harus mandi. "Selamat pagi, Yang Mulia." Ah, akhirnya aku kembali melihat wajah Margareth. Hari ini dia terlihat sangat rapi, meskipun model busananya masih itu-itu saja. Mungkin hanya detailnya yang berbeda. "Margaret, di mana kamar mandinya?" tanyaku yang terlampau lelah. Bangunan ini terlalu besar untuk ditelusuri dengan berjalan kaki. "Maaf, Yang Mulia. Kamar hanya bisa digunakan untuk tidur, bukan untuk mandi." Astaga, lihatlah dia mengucapkan kalimat konyol dengan wajah datarnya itu. Aku jadi serba salah harus tertawa atau menangis melihat kelemotan otak Margareth. Namun, apa yang dikatakan olehnya memang tidak salah. Semua orang di dunia juga tahu bahwa kamar itu bukan tempat mandi. Kecuali jika di dalamnya terdapat kamar mandi. Aku mendengus sebal. "Terserahlah, Margareth. Sekarang katakan di mana aku harus mandi." "Silakan ikuti saya, Yang Mulia." °°°° Setelah mandi dan berpakaian, aku mengikuti Margareth ke istana utama. Gaun merah maroon yang berbahan jatuh sempurna menjadi pilihanku. Dibandingkan mahkota berkilauan penuh permata, aku lebih menyukai mahkota berbunga mirip mawar dalam ukuran mini untuk dijadikan aksesoris kepala. Aku tidak menggunakan banyak riasan, karena sepertinya kulit Gwen sudah sangat putih. Hanya butuh sedikit perona pipi dan warna merah di bibir agar tidak terlihat pucat. Margareth mengantarku langsung ke dapur istana yang sudah dipenuhi dengan bahan makanan. Dia ingin aku memasak dari jam segini? Bahkan matahari saja belum naik ke atas kepala. "Kau yakin bisa memasak?" Suara seorang laki-laki datang dari arah belakang, ternyata Raja. Hari ini dia mengenakan baju yang warnanya sama denganku. Padahal kami tidak janjian. Jangan katakan bahwa Raja tidak sopan itu datang ke dapur hanya untuk menguji kemampuanku. Aku tertawa sombong, menempatkan tangan kanan di depan d**a. "Mungkin kau tidak tahu siapa aku. Perkenalkan, aku chef restoran Dwipayana yang berbintang lima. Tidak ada yang tidak mengenaliku, bahkan Presiden saja pernah memuji masakanku." Baiklah, aku berhenti menjelaskan karena tampaknya dia tidak tertarik sama sekali. Dia menggeleng pelan. "Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan, tapi aku akan memberimu peringatan. Jangan meletakkan racun di dalam makanan, kau akan diawasi selama memasak." Racun? Dia terlalu meremehkanku. Bagaimana mungkin anggota sekte pemuja makanan sepertiku memasukkan racun ke dalam makanan. Perbuatan itu sangat tercela, tidak boleh dijadikan contoh. "Satu hal lagi, pastikan apa yang kau masak setidaknya masih bisa dimakan." Dia melenggang begitu saja setelah meremehkan kemampuanku habis-habisan. Aigoo aigoo, lihatlah mulut lemesnya itu. Sangat halal untuk ditampar. °°°° Seharusnya aku sudah curiga saat Margareth membawaku ke dapur istana pagi-pagi sekali. Ternyata aku disuruh memasak hidangan sebanyak acara kenduri kampung sendirian. Hari sudah mulai gelap, sedangkan aku masih memasak hidangan terakhir. Ini namanya sistem perbabuan. Lihat saja nanti, aku akan melayangkan protes pada biro tenaga kerja kerajaan. Ketika aku berhasil menyelesaikan dua belas hidangan dalam porsi super besar, hari benar-benar sudah gelap. Aku tidak akan melakukan hal bodoh seperti ini untuk kedua kalinya. Biasanya aku dibayar cukup mahal hanya untuk satu piring makanan. Sekarang mereka akan menikmati hasil jerih payahku secara gratis? Dasar beban kerajaan. Daguku jatuh menyaksikan banyaknya para tamu yang menghadiri acara penjamuan. Dilihat dari cara berpakaiannya yang sangat mewah, mereka pasti kaum elite atau para bangsawan. Dalam sekejap mereka sudah menempati tujuh meja panjang berbaris di ruangan yang tampak seperti aula. Setiap meja bisa ditempati oleh dua belas hingga empat belas orang. Sang Raja duduk di kursi paling depan dengan seorang perempuan cantik bermahkota emas di sebelah kirinya. Mungkin perempuan yang memiliki kulit seputih s**u dengan rambut hitam pekat itu adalah Ratu kerajaan Graceland. Kursi sebelah kanan pula ditempati oleh wanita tua yang kemarin bersamanya di lapangan. Sementara aku dengan baju yang sudah berbau asap dan penampilan berantakan memilih duduk di bagian paling ujung meja. Tidak apa-apa, anggap saja aku debu. Raja bangun dari kursinya. "Hari ini aku mengundang kalian semua untuk menikmati makanan yang dimasak langsung oleh Selir Agung Gwen Patricia Willson." Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan ketika matanya memandangiku. Seperti sebuah antusiasme, aku bangun dan menunduk untuk menghormati semua tamu undangan. Saat itu para pelayan mulai menata makanan yang sudah aku siapkan di atas setiap meja. "Dia sangat cantik." "Wajahnya semerah mawar, dia terlihat seperti bangsa peri." "Selama ini aku hanya mendengar rumor bahwa putri klan Willson sangat cantik, tetapi hari ini aku bisa menyaksikan langsung kecantikannya." Aku bisa mendengar pujian-pujian itu meskipun mereka sedang berbisik. Menurutku sendiri pemilik tubuh yang aku tempati ini memang sangat cantik. Dia terlihat mirip dengan tubuh asliku, tetapi dalam versi yang lebih indah. Warna rambut dan kulitku jauh berbeda dengannya. "Para bangsawan sepertinya menyukaimu," kata perempuan di sebelahku. Aku hampir tidak menyadari keberadaannya sebelum ini karena rasa tidak nyaman berada di tengah orang-orang asing. "Terima kasih. Boleh aku tahu namamu?" Aku tidak tahu apa yang salah dari pertanyaanku hingga dia tampak mengerutkan alisnya. "Kau tidak mengenaliku?" tanyanya. Ah, aku melupakan sebuah fakta bahwa sekarang aku meminjam tubuh orang lain. Aku memang tidak mengenali perempuan di sebelahku, tetapi mungkin pemilik asli dari tubuh ini mengenalnya. "Aku sebelumnya mengalami kecelakaan hingga daya ingatku sedikit terganggu," ucapku yang jelas hanya sebuah karangan. "Aku Elleona Smiths. Aku juga seorang Belgoat sepertimu." Dia tersenyum, wajahnya sangat lembut. "Seorang Belgoat?" tanyaku spontan. Apakah dia sangat mengenal pemilik tubuh ini? "Iya, tapi aku datang ke Graceland sepuluh tahun yang lalu. Jadi mungkin tanda Belgoat sudah hilang dariku." Dia menjelaskan sesuatu yang tidak bisa aku mengerti. Jika aku bukan rakyat Graceland, lantas kenapa aku ada di sini dan menjadi seorang Selir Agung? "Siapa kedua wanita yang ada di samping Raja?" tanyaku sambil berbisik di telinga Elleona. Dia menjelaskan dengan gaya bicara yang sangat anggun. Ternyata wanita tua di samping kanan Raja adalah Ibu Ratu Agung, sedangkan perempuan di samping kirinya adalah Ratu Isabelle Swan. "Oh, iya. Apa kebetulan kau mengenal seseorang bernama Edmund?" tanyaku penasaran. Raut wajah Elleona langsung berubah, tidak dapat dibaca. Dia hanya menatapku seperti tanpa emosi apa pun. Apakah aku salah bicara? "Mohon perhatiannya." Suara Raja kembali mengalihkan pikiranku. Semua tamu tampak memberi atensi padanya. "Sebelum kalian menikmati hidangan, izinkan aku meminta juru masak istana untuk mencicipinya terlebih dahulu. Semua ini demi menjaga keselamatan kalian." Sialan, ternyata dia serius dengan ucapannya tentang meracuni makanan. Dia pikir aku sejahat itu? Juru masak yang diminta untuk mencicipi makanan buatanku mendekat ke meja. Dia mengambil satu potong paha ayam kentucky dan memandanginya dengan alis berkerut. Mulutnya berulang kali terlihat ragu untuk memakan ayam tidak bersalah itu. Namun, kemudian dia tetap menggigitnya hingga menimbulkan bunyi kriuk yang menarik perhatian semua tamu. Bola mata tukang masak istana membulat sempurna untuk beberapa saat. Dia beruntung bisa mencicipi masakanku secara gratis, karena biasanya orang-orang harus mengantri dan membayar mahal untuk itu. Seketika Raja berdiri dari tempat duduknya dan menunjuk ke arah koki itu. "Lihatlah, matanya membesar. Pasti makanan ini sudah diracuni!" Rupanya kejulidan dalam diri Raja memang sudah tidak tertolong. Sifatnya lebih parah daripada tetangga ibuku di kampung. "Makanan ini ...." Sang koki menjeda kalimatnya sambil terus mengunyah paha ayam. Ucapan yang menggantung itu menghisap seluruh atensi tertuju padanya. "Bagaimana bisa ayam terasa seperti ini?" Pertanyaan selanjutnya membuat tamu sekeliling meja menaikkan alis serentak. "Bagian luarnya sangat renyah, mungkin karena dibaluti dengan bubuk gandum. Sedangkan daging di dalamnya begitu lembut dan basah, tetapi matang secara merata. Begitu juga dengan bumbu yang digunakan meresap hingga ke tulang ayam. Selama pendidikan memasak, saya tidak pernah menemukan resep rahasia semacam ini. Ini benar-benar sebuah mahakarya yang sempurna!" Aku tertawa geli mendengar dia memuji masakanku yang katanya belum pernah ditemukan. Padahal ayam goreng kentucky bisa ditemukan di mana saja di duniaku. Mungkin jika aku membuka usaha kentucky fried chicken kecil-kecilan di sini, pasti akan laris manis. Mendengar pujian dari mulut koki istana, sang Raja terdiam dan kembali duduk di kursinya. Kemudian koki itu mengambil roti yang kubuat dari tepung jelai dan mencubitnya sedikit. "Tekstur roti ini sangat lembut," katanya. Dia memasukkan potongan kecil itu ke dalam mulut. Tiba-tiba matanya terpejam cukup lama, tingkah si koki kembali mengundang Raja untuk bangun dari kursinya. "Lihat, sekarang matanya terpejam! Pasti roti ini diracuni. Selir Agung Gwen sudah membunuh tukang masak istana!" Aku benar-benar tidak tahan dengan mulut judesnya. Suatu saat mungkin aku akan meracuni orang ini terlebih dahulu. Sang koki berdeham dan membuka matanya. "Saya masih hidup, Yang Mulia." Kalau saja aku yang berada di posisi si Raja saat ini, pasti rasa malu sudah sampai ke tulangku. Enak saja asal memfitnah, itu lebih kejam daripada pembunuhan tahu! "Lantas kenapa kau memejamkan mata? Dramatis sekali!" bentak Raja. Dia kembali duduk dengan wajah memerah. "Yang Mulia akan tahu setelah mencicipi roti ini," katanya. Seperti enggan, Raja mengambil roti dan menggigitnya sedikit. Mirip dengan ekspresi sang juru masak, mata Raja langsung terpejam sambil memasukkan gigitan roti kedua, ketiga dan seterusnya. "Sangat lembut, roti ini seperti meleleh di mulutku." Penjabarannya membuat beberapa tamu menelan ludah. Setelah melihat Raja makan dengan lahap, semua orang mulai makan dan memuji masakan yang aku buat. Siapa yang bisa menolak masakan seorang chef restoran bintang lima sepertiku? Tidak sia-sia kemampuan memasak yang aku punya dibawa ke dunia ini. Meskipun bahan masakan yang mereka miliki tidak begitu lengkap, setidaknya aku bisa menggunakan skill dan otakku untuk membuat masakan sederhana menjadi lezat dan bergizi. Kehadiran seorang anak perempuan yang sepertinya berusia lima atau enam tahun membuat Raja berhenti makan. Dia langsung menggendong anak itu dan meletakkan di kursinya. "Apakah itu anak Raja?" bisikku pada Elleona yang baru menyelesaikan makannya. Elleona menggeleng, lalu tersenyum tipis. "Dia Catherina, sepupu William dari klan Hammington. William sangat menyayanginya." Ternyata Raja tidak sopan itu bernama William. Elleona menyebut namanya seakan mereka sudah akrab. Aku melihat wanita tua di samping Raja mengajak Catherina bicara, tetapi dia hanya diam. Malah kulihat gadis kecil itu memandangiku sambil tersenyum. Aku melambaikan tangan padanya, tetapi dia menaruh jari telunjuk ke pipinya dan diputar sekali sambil memandangku. Hatiku tiba-tiba mencelus, ternyata Catherina tidak bisa berbicara. Dia mengingatkanku pada Yull, keponakanku yang juga seorang tunawicara. Aku membalasnya dengan menggunakan bahasa isyarat yang selalu kugunakan pada Yull. Aku menaruh telunjuk ke pipi dan membuat isyarat tangan di udara untuk mengatakan bahwa dia juga cantik, dan aku senang berkenalan dengannya. Dia tampak senang dan berterima kasih lewat jarinya. Entah hanya perasaanku saja atau bagaimana, tanpa sengaja aku mendapati bahwa sejak tadi Raja, Ratu Isabelle dan Ibu Ratu Agung terus memandangiku berinteraksi dengan Catherina. °°°° Setelah acara penjamuan selesai, aku berdiri di teras istana untuk melepas lelah. Danau yang dikelilingi taman bunga berwarna menjadi salah satu pemandangan menyejukkan mata. Ternyata udara malam di sini sangat dingin, mungkin karena lingkungan yang masih terjaga dan memiliki banyak pepohonan. "Aku tidak akan membiarkanmu membahayakan dirimu sendiri, Will." Suara seorang perempuan membuatku melihat ke sekitar. Meskipun aku baru di sini, aku bisa mengenali bahwa itu adalah suara Elleona. "Percaya padaku, Ell. Aku tidak akan membiarkan perempuan itu melukaimu lagi." Sekarang bergantian dengan suara seorang laki-laki yang sangat menyebalkan. Pasti dia William, si Raja tidak sopan. "Kau tidak perlu melakukan apa pun untukku. Aku tidak ingin Duke Edmund semakin membenci kau dan aku karena hal ini." Elleona menyebut nama Duke Edmund, sudah kuduga dia mengenali laki-laki itu. Aku mulai mencari dari mana arah suara tersebut. Melewati beberapa pilar putih di sepanjang lorong. Sehingga tampak sebuah ruangan yang pintunya sedikit terbuka. Pemandangan di depan mataku sangat tidak bisa dimengerti. Elleona berada di pelukan William. Mereka punya hubungan spesial? "Aku tidak akan membiarkan siapa pun merebut Edmund darimu, termasuk Gwen." Kalimat William membuat jantungku seakan berhenti. Aku telah merebut Edmund dari Elleona? Jadi itu sebabnya raut wajah Elleona berubah ketika aku bertanya mengenai Edmund. William mengusap lembut rambut Elleona. "Sampai kapan pun Edmund akan tetap menjadi suamimu, Ell. Begitu saja aku sudah bahagia." Sial! Apa yang baru saja dia katakan? Awalnya kupikir Elleona hanya kekasih Edmund, tapi ternyata dia istrinya. Jadi aku masuk ke tubuh seorang pelakor? Ini sangat tidak berkelas. Tanpa disadari lenganku menyentuh gagang pintu karena terlalu gugup. William melepas pelukannya, mungkin dia menyadari ada yang sedang menguping pembicaraan mereka. Namun, tiba-tiba sebuah tangan menutup mulutku dari belakang dan menarikku bersembunyi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD