Aku bangun dengan berani saat laki-laki itu membaca isi gulungan anehnya. Mungkin tindakanku itulah yang membuat semua orang bereaksi kaget.
"Apa yang dia lakukan?"
"Berani sekali dia."
"Apa orang seperti dia yang akan jadi Selir Agung?"
"Ya ampun, dia pasti akan membuat Yang Mulia murka."
Mereka terus membicarakan tentang Selir Agung dan Yang Mulia. Aku masih menolak percaya semua hal yang kusaksikan sekarang.
Aku menunjuk wajah laki-laki yang alisnya mulai naik di depanku itu. "Ini prank, kan? Di mana kalian taruh kameranya?"
"Jangan gunakan akal gilamu di saat seperti ini!" Suaranya pelan seakan berbisik, tapi dia baru saja membentakku. Aku tahu itu.
Wanita tua nan anggun yang tadi duduk di sebelah laki-laki itu mendekat. Dia memegang pundak pria itu dengan sebuah senyuman lembut di bibirnya.
Ketika wanita berambut putih itu memandangiku, aku langsung menurunkan jari. Bagaimanapun dia jauh lebih tua dariku, tidak sopan menunjukkan jari seperti itu kepada orang tua.
"Selamat untuk penobatanmu, Selir Agung Gwen."
Saat itulah aku menyadari, semuanya bukan prank. Tidak mungkin wanita tua itu mengajakku bermain bersamanya. Kita kan, tidak kenal.
"Margareth, bawa Selir Agung ke istananya." Dia memberi perintah kepada wanita yang bersamaku sejak pagi tadi.
Ternyata wanita itu seorang pelayan kerajaan. Dan aku adalah orang yang mereka sebut sebagai Selir Agung.
"Silakan ikuti saya, Yang Mulia." Wanita itu tidak lagi memanggilku dengan sebutan Nona, melainkan Yang Mulia.
Jenis game macam apa ini? Aku naik level dalam sekejap mata.
Kendati demikian, pelayan itu tampak lebih dapat dipercaya dari semua orang yang berada di lapangan. Aku mengikutinya tanpa protes sedikit pun. Setidaknya aku mendapatkan pengalaman tour istana secara gratis, karena sekarang kami tidak lagi menaiki naga.
Astaga, aku sangat membenci diriku yang selalu memandang sisi positif dari segala hal. Bahkan dalam kondisi seperti ini pun aku masih berpikir optimis. Memang tidak ada kapoknya.
Istana ini seperti dibangun di atas tanah berbukit. Berkali-kali aku berjalan menanjak dan menurun setiap melewati satu bangunan klasik yang modelnya hampir sama. Ini sebuah tempat yang sangat luas. Dari tadi aku sudah melewati tiga danau yang berbeda. Danau pertama airnya berwarna hijau, danau kedua kekuningan sedangkan danau ketiga airnya berwarna biru.
"Kita akan ke mana? Aku sudah lelah." Aku melayangkan protes, tetapi diabaikan. Pelayanannya sungguh tidak ramah, tidak akan kuberi bintang.
Margareth berhenti tepat di depan sebuah bangunan bernuansa putih. Bangunan ini terletak tepat di depan danau berwarna biru. Jauh sekali jaraknya dari bangunan-bangunan yang kulihat tadi. Banyak tanaman menjalar yang memanjat di badan pilar bangunan berbatu itu. Pagarnya tinggi menjulang berwarna hitam. Seperti rumah angker yang sudah lama ditinggalkan saja.
"Yang Mulia, mulai sekarang Anda akan tinggal di sini."
Margareth membuka pagar dengan jentikan jari, menimbulkan bunyi kriet seperti suasana film horor. Siapa pelayan ini sebenarnya? Kalau tidak salah, kemarin aku juga mendengar bahwa laki-laki itu memintanya membangunkanku. Apa dia bisa melakukan semacam trik sulap?
Halaman bangunan itu sedikit lembab dan berkabut. Aku menelan ludah merasakan udara dingin menyentuh kulit. Jujur, rumahku jauh lebih baik. Meskipun tidak sebesar ini dan masih nyicil. Rumahku surgaku.
Dan astaga! Hewan apa yang berjalan mendekat ke arah kami?
Singa? Bukan. Lantas apa itu harimau? Tidak, tidak. Harimau atau singa tidak pernah berwarna abu-abu. Bulu halus panjang yang menutup tubuhnya lebih mirip seperti kucing.
Tapi ras kucing apa yang ukurannya sebesar singa?
"Jangan makan aku, dagingku pahit!" Aku berjongkok dan menutupi kepalaku dengan tangan. Sangat konyol rasanya kalau mati digigit kucing raksasa.
Sesaat kemudian aku merasa benda basah dan berlendir menyapu lenganku berkali-kali. Perlahan aku membuka mata dengan tubuh menggigil. Ia sedang menjilatiku?
"Sepertinya Goliath menyukai Yang Mulia," kata Margareth.
Oh, jadi makhluk seperti kucing itu bernama Goliath. Seperti nama sebuah grup band di kampung kelahiranku.
Aku melihat wajah hewan itu dengan seksama, benar-benar seekor kucing. Imut, tetapi besar. Matanya memiliki dua warna. Sebelah kanan berwarna biru, sedangkan mata kiri berwarna kuning. Dalam sekejap rasa takutku pada Goliath lenyap, dia sangat menggemaskan ketika mengusap kepalanya ke pinggangku.
Entah sejak kapan Margareth berlalu. Dia sudah sampai di depan pintu bangunan dan membukanya. Aku mengikuti jejak Margareth dan Goliath menyusul dari belakang.
Aura menyeramkan dari luar istana ternyata berbeda jauh dengan isinya. Sangat mewah dan megah. Lantai bawah begitu luas sampai bisa dibuat sebagai lapangan bola. Tidak terdapat begitu banyak perabotan di bangunan sebesar ini. Hanya beberapa kursi dan porselen putih bersih yang mengisi sebagian ruangan.
Goliat mengikuti kemana pun langkahku. Entah ia ingin mengakrabkan diri atau apa, tingkahnya membuatku jadi agak ketar ketir. Meskipun Goliath itu kucing, ia memiliki ukuran tubuh berpuluh kali lipat daripada kucing normal.
Margareth berbalik menatapku. Dia berdiri dengan sikap tegap dan telapak tangan yang menelungkup ke perutnya. "Saya hanya akan mengantar Yang Mulia sampai di sini. Segala kebutuhan Yang Mulia akan diantar oleh para pelayan sebentar lagi."
"Maksudmu aku harus tinggal sendiri di tempat ini?" tanyaku protes.
"Tidak, Yang Mulia. Mulai hari ini Goliath adalah penjaga Yang Mulia." Ringan sekali mulutnya menjawab pertanyaanku.
Jadi aku akan ditinggalkan di istana sebesar ini bersama kucing sebesar itu? Dunia fantasi seperti apa yang sebenarnya kuhadapi sekarang.
"Sebentar!" cegahku ketika Margareth hendak keluar.
Margareth berbalik dengan sigap. "Apa yang bisa saya bantu, Yang Mulia?"
"Bagaimana cara orang-orang di sini berkomunikasi?"
Bola mata Margareth bergerak ke sana kemari, seperti sedang memikirkan sesuatu. Mungkin dia bingung dengan pertanyaanku.
"Maksudku, bagaimana cara kalian saling berkirim pesan? Apakah di sini ada ponsel, internet atau sesuatu semacam itu?"
"Oh, maksud Yang Mulia cara berkirim pesan." Dia menunjuk ke udara, baru mengerti perkataanku setelah dijelaskan panjang lebar.
"Iya, itu maksudku." Aku tertawa garing, lambat sekali otaknya bekerja.
"Jangan khawatir, Yang Mulia. Tuliskan saja pesan di atas kertas, para burung di istana ini sangat andal perihal mengantar surat." Dia tersenyum lebar, untuk pertama kalinya.
Astaga dragon, ternyata manusia di sini masih menggunakan sistem surat menyurat. Berarti aku tersesat ke jaman di mana teknologi informasi belum ditemukan. Jika aku mengajari mereka tentang ponsel dan internet, mungkin namaku akan tercatat di dalam sejarah peradaban dunia.
Tuh, kan? Lagi lagi aku benci diriku yang selalu berpikir positif dan optimis.
"Baiklah. Terima kasih, Margareth." Aku mengulurkan tangan, mempersilahkan dia keluar.
Sekali lagi Margareth berbalik badan setelah melangkah. "Tapi Yang Mulia harus ingat satu hal. Jangan menyalahgunakan para burung untuk mengantar surat ke luar istana. Jika Yang Mulia Raja mengetahuinya, dia akan sangat murka."
Aku hanya memutar bola mata dan membalasnya dengan nada malas. "Ya, ya aku tahu. Lagi pula aku bisa berkirim surat dengan siapa di dunia ini. Dengan naga?"
Kemudian Margareth benar-benar meninggalkanku sendiri. Tidak, berdua dengan Goliath yang hanya terdiam di sampingku. Aku mulai penasaran seperti apa suara kucing sebesar itu.
Hal yang bisa kulakukan sekarang hanya menghela napas berkali-kali. "Andai kau ini manusia, setidaknya aku akan punya teman bicara."
Entah aku yang salah bicara atau mataku sudah mulai terus berhalusinasi. Perlahan aku melihat Goliath berubah bentuk, menjadi seorang laki-laki berambut sebahu warna abu-abu gelap. Kulitnya kecoklatan dengan iris mata dua warna seperti Goliath.
"Kau-kau manusia?" Aku tergeletak di lantai, seluruh tubuhku lemas seperti tidak bertulang. Ini sih lebih gila daripada naga.
Tapi kemudian aku sadar, tampaknya tidak ada yang mustahil di dunia aneh ini.
"Mulai hari ini aku akan mengabdi pada Yang Mulia," katanya.
Sopan sekali, good looking pula. Ada-ada saja human di dunia ini. Tidak cukup dengan naga terbang, sekarang malah ada siluman kucing. Mungkin besok-besok akan ada ikan mermaid atau Megalodon. Tidak, tidak. Kutarik kembali ucapanku mengenai Megalodon, hidupku akan benar-benar terancam kalau hal semacam itu pun wujud. Bisa-bisa raja yang angkuh dan tidak sopan itu akan membuatku jadi santapan Megalodon jika dia marah.
"Goliath, mari kita berteman." Aku mengulurkan tangan pada Goliath.
Dia terlihat kikuk untuk menanggapi, tetapi kemudian dia menyambut tanganku. Kami pun berjabat tangan dengan senyuman. Goliath menjadi teman pertamaku di dunia ini. Punya teman seorang siluman kucing raksasa, hidupku sangat fantastis!