CERMIS 1 : KERAJAAN GAIB? (25)

1262 Words
Episode : Sebuah Usaha Pencarian dan Penyelamatan (2) Setelah berlari tanpa henti semenjak dari jalan rahasia di rumahnya tadi, akhirnya Fabian tiba juga di tempat tujuannya yakni area danau Ariya. Danau Ariya, yang sempat dirasanya ‘menggoda’ Sang Istri ketika mobil mereka baru saja memasuki Desa Watu Dasa sekian hari silam. Area yang sempat berhasil dia hindarkan dari pijakan kaki Sang Istri lantaran adanya alarm tanda peringatan bahaya yang bagai dibunyikan dengan nyaring, tepat di gendang telinganya. “Siapa sangka, kamu akhirnya kemari juga, Dik Shania. Dan tanpa diriku. Padahal saat aku berhasil menghindarkanmu dari sini, aku sudah sempat merasa lega,” kata Fabian setengah bergumam. Rasa sesal yang begitu dalam menyesaki benaknya. Fabian tidak menghiraukan rasa lelah yang menggayut di badannya, begitu pula deru napasnya yang seolah berkejaran. Rasa paniknya memikirkan nasib Sang Istri berhasil  mengalahkan itu semua. Rasa seperti dikejar waktu yang kian menipis dan tak mungkin ia hentikan. Ia berdiri tak jauh dari tepian danau sekarang. Mata Fabian nyalang, menatap ke sekeliling danau yang menjadi area untuk bermain pada masa kecilnya tersebut. Ia mencari-cari pertanda yang dapat dijadikannya petunjuk untuk menentukan langkahnya. “Dik Shania! Kamu di mana Dik? Dik Shania..! Jawab aku, Dik!” Panggil Fabian keras. Tidak ada sahutan sama sekali. Fabian mengeluh dalam hati. Ia terus memanjatkan doa dan memohon agar dapat segera menemukan jejak Sang Istri, juga dapat menyelematkan Istri yang baru beberapa hari ia nikahi itu. “Cepat Kak Fabian, tolong aku Kak! Lekas kemari, susul dan bebaskan aku!” Mendadak Fabian merasa mendengarkan suara Shania yang teramat lemah dan terasa demikian jauh. Suara yang sayup-sayur dan bagaikan berlalu selewatan angin. Sontak Fabian terperanjat. Ada sebuah harap yang membersit, bercampur kengerian yang menyapanya dalam tempo bersamaan.  “Dik Shania! Dik Shania! Kamu di mana Dik? Coba perdengarkan lagi Suaramu agar aku bisa menelusuri keberadaanmu!” teriak Fabian ke segala penjuru. Ia langsung bertindak. Ia melayangkan tatapannya dengan lebih cermat, mencari-cari adakah sesuatu yang mencurigakan dan mungkin saja dapat membimbingnya ke tempat Sang Istri berada kini. Hanya senyap yang terasa kian kuat. Fabian tidak patah arang. Niatnya untuk menemukan Sang Istri kian menguat jua. Ia mencari-cari dan terus meneriaki Shania dengan suara yang lantang. Setiap kali setelah berteriak, dia selalu memberi sedikit jeda dan mempertajam indra pendengarannya. Pada waktu-waktu tersebut ia sungguh berharap dapat  kembali mendengarkan sahutan dari sang istri. Petunjuk yang amat diperlukannya untuk mengetahui secara pasti, posisi Sang Istri sehingga dapat membawanya pulang ke rumah mereka. Sayangnya, harapannya tidak bersambut. “Dik Shania! Dik! Kenapa suaramu nggak terdengar lagi? Teruslah berseru supaya aku dapat menjadikannya petunjuk untuk menemukanmu! Dik Shania!” seru Fabian berbalut cemas. Detik-detik berlalu, menit pun bergulir demikian cepat. Fabian terus mencari keberadaan Sang Istri di seputaran tepian danau tersebut. Ia menyerukan nama Sang Istri, juga menyibakkan ilalang di sekitar danau. Celakanya, sekian lama berusaha, ia tak kunjung menemukan fisik dari istrinya itu. Sementara di telinganya, kini mulai terngiang suara permintaan tolong dari sang istri tadi. Perasaan Fabian gundah bukan kepalang akibatnya. “Di mana kamu sebenarnya Dik Shania? Ayolah Dik..., aku sangat mencemaskanmu,” keluh Fabian. Didera oleh akumulasi dari rasa panik, bingung serta penasaran yang berpadu menjadi satu, Fabian terus melangkahkan kakinya. Kini posisinya kian dekat juga dengan tepi danau Ariya. Selagi dia membungkukkan badan dan menatap permukaan air danau yang memantulkan refleksi tubuhnya itu, tiba-tiba saja ia merasakan ada yang mendorong punggungnya dengan kuat dari arah belakang. Dalam keadaan tidak bersiaga semacam itu, sudah pasti membuat Fabian tak sempat lagi menghindar dan bertahan. Ia tercebur dengan cepat ke tengah danau, dan sebelum mempunyai kesadaran yang cukup untuk berenang kembali menuju ke tepian danau, ‘serangan’ lain keburu datang. Tubuh Fabian seperti terenggut oleh sebuah kekuatan besar yang menariknya, sehingga lekas terbawa hingga ke dasar danau Ariya. Setelah tiba di dasar danau dalam keadaan setengah linglung, Fabian merasakan nuansa senyap yang teramat janggal. Sepi yang begitu menggigit, berpadu dengan rasa hampa yang menyiksa. Ada rasa nelangsa yang menguat, tanpa ia tahu mengapa, rasa kehilangan yang tiada tercegah. Dia semakin sulit mengendalikan perasaan aneh yang menyerangnya dan segera menguasainya tanpa ampun itu. Perasaan yang sulit diterjemahkannya mengapa dan mengapa, serta apa alasan di balik semua itu. Tempat Fabian berada kini sungguh  terasa asing, bagaikan sebuah tempat yang hampa, hening, luas tanpa batas maupun tepi. Sungguh selaras dengan perasaan yang mengusai benaknya kini. Fabian mencoba membelalakkan mata demi melihat apa saja yang dapat dijadikannya petunjuk. Malangnya, usaha yang dilakukannya tersebut sia-sia belaka. Sekitarnya teramat pekat, layaknya sebuah terowongan panjang yang tanpa ujung. Ia hanya dapat pasrah dan terus berenang maju, mengikuti aliran air yang ternyata lumayan keras. Jauh berbeda dengan tampilan permukaaan air danau Ariya yang begitu tenang.  Aneh. Mengapa aku bisa bernapas di dalam air begini? Lalu bagaimana caranya aku bisa keluar dari sini dan mencari Dik Shania kalau aku saja nggak tahu tempat macam apa ini dan kapan bisa beranjak dari sini? Pikir Fabian dalam kebingungan yang sangat. Otaknya terasa buntu. Antara sadar dan tidak sadar, Fabian hanya dapat merasakan sekilas, ada bayangan hitam, tinggi dan besar yang terus mendorong tubuhnya, membawanya menuju ke sebuah percikan kecil cahaya jauh di depan sana.                                                                                                                       Fabian tak pernah menyangka, dia harus berada di situasi semacam ini. Dia sudah hampir pasrah, ketika lamat-lamat telinganya bagaikan mendengar suara lembut Seseorang yang sangat ia kasihi. Sang nenek, yang telah lama meninggal dunia. Dia berusaha mencari, namun tak kunjung menemukan ujud sang nenek. “Fabian..., Fabian...,” terdengar Suara Sang Nenek. “Iya, Nek,” spontan Fabian menyahut. “Fabian, Cucuku, waktumu tak banyak untuk membebaskan Istrimu. Selamatkan dia. Kamu harus cepat membawanya pergi dari sini. Benar, Istrimu itu bersalah, karena tidak menuruti pesan yang kau berikan padanya. Tetapi Nenek akan membantu usahamu membebaskan dia dengan doa, supaya kamu dapat segera menemukan Istrimu. Biar Nenek yang menghadapi para Pengawal di sini. Kamu fokus pada usaha penyelamatan Istrimu saja,” ucap sang Nenek. Sedetik setelah sang Nenek berkata-kata demikian, Fabian segera mendapat bayangan bahwa sang Istri kini berada di dalam sel besi dan berteriak-teriak meminta tolong padanya. Gurat ketakutan teramat nyata mendominasi paras cantik Istri yang baru saja menjadi Pendamping hidupnya itu. “Kak Fabian, lekas Kak! Aku sangat ketakutan! Aku tidak mau berada di sini! Bebaskan aku!” Suara Sang Istri kembali terdengar. Fabian menebalkan harapannya. Menggenggamnya erat. “Sabar, Dik Shania, aku dalam perjalanan ke tempatmu. Nenak membantuku,” kata Fabian. “Lekas, Fabian! Kamu harus berkonsentrasi penuh untuk membebaskan Istrimu dari sana dan membawanya pulang besertamu. Ingat, fokusmu adalah membebaskan Istrimu, membawanya pulang. Jangan memikirkan hal lainnya. Kamu ingat baik-baik pesan Nenek. Saat nanti kamu bertemu dengan Penguasa kerajaan ini, jangan coba-coba untuk bernegosiasi dengan dia. Tidak usah melakukan tawar-menawar. Itu hanya berujung jebakan. Kedua, apa pun yang pada akhirnya diberikan kepadamu nanti, harus kamu menerimanya dengan ikhlas, jangan pernah menolak. Jangan menolak, ingat?” kali ini ucapan sang Nenek terdengar jelas di telinganya.  Walau sulit untuk memahami perkataan Sang nenek, Fabian tetap berusaha keras untuk mencernanya sebaik mungkin. Dia agak curiga sebenarnya, mengapa Sang Nenek harus mengulang kata ‘jangan menolak’ sampai dua kali. Tetapi seperti ada yang menghalanginya untuk bertanya dan meminta kejelasan tentang hal itu. “Baik. Fabian akan mengingatnya dengan baik. Terima kasih Nek,” ucap Fabian sembari mengangguk dan terus berjalan. Dipercepatnya langkah kakinya. Tekadnya semakin kuat untuk segera membebaskan Shania, Sang Belahan Jiwa. “Lekas, Fabian. Cepatlah!” Suara Sang Nenek kini menjauh, seakan mengingatkannya bahwa dirinya sudah berada di hitungan mundur. Artinya, dia tidak boleh membuang waktu barang sedikit pun. Setiap detik yang ada, sangat berharga baginya. Dan itu merupakan waktu yang tak mungkin dapat diulang kembali.                                                                                                                   *  *  Lucy Liestiyo  *  *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD