Preview Antologi EX!ST2
Benar sekali apa yang dikatakan oleh Sang Florist tampan barusan. Gadis itu menyaksikan sendiri bahwa tanaman bougenvile yang disebutnya, cukup makan tempat. Gadis itu menangguk-angguk. Disadarinya keberadaan mereka saat ini adalah di sudut kedua, dari lahan kebun tersebut. Itu berarti, pada deret pertama yang telah mereka lewati ada empat tanaman, yakni dari bulan Januari hingga ke April, sedangkan deret kedua ini hanya memuat tiga tanaman saja, yaitu untuk bulan Mei, bulan Juni hingga bulan Juli.
“Ini untuk yang bulan Agustus, kok masih kosong ya?” Hampir saja pertanyaan ini terlontar dari mulut Gadis tersebut tatkala melihat kavling di sudut kedua, yang diperkirakannya bakal diperuntukkan bagi papan penanda bulan Agustus, masih kosong. Tetapi lantaran takut Sang Florist tampan yang juga pemilik kebun ini akan marah karena menilai dirinya terlalu cerewet dan banyak bertanya, segera diurungkannya pertanyaannya itu.
“Nah, ini yang namanya pohon kamboja,” pada papan penanda bertuliskan ‘September 9th’, Sang Florist menyentuh bunga kamboja yang berwarna putih dengan bagian dalam berwarna kuning di mana kuntumnya tidak terbuka penuh serta berukuran kecil itu.
Refleks, si Gadis mencengkeram erat lengan Sang Florist. Ia merasa kurang lazim saja, mendapati ada pohon kamboja yang ditanam di kebun milik Sang Florist yang tengah dekat dengannya ini. Sepanjang ingatannya, bunga kamboja itu selalu dihubung-hubungkan dengan kuburan. Dia jadi teringat celetukan Yeslin juga, tempo hari.
Sang Florist melepaskan cengkeraman si Gadis, lantas memindahkan telapak tangan si Gadis ke dalam genggaman tangannya. Tampak olehnya raut wajah Si Gadis berhiaskan ekspresi yang teramat dikenalnya. Ekspresi yang diam-diam dinikmatinya. Rasanya seperti mendapatkan kepuasan tersendiri, menemukan ekspresi macam itu.
“Hei, jangan grogi begitu dong. Nggak perlu takut. Kan, ada aku,” seakan tahu apa yang tengah dipikirkan Gadis di sebelahnya, Sang Florist mengecup lembut dahi Gadis itu. Kecupan yang tidak serta merta membuat si gadis merasa nyaman dan tenteram.
“Kalau yang ini pasti kamu tahu dong? Sudah sering melihat juga tentunya. Ini bunga mawar, Sayang. Mawar biru. Cantik, ya, tampilannya? Selera yang dimiliki orang yang berulang tahun di bulan Oktober ini, hampir mirip dengan kamu, Sayang,” kata Sang Florist, ketika menyentuh papan penanda bertuliskan ‘Oktober, 10th’.
Untuk alasan yang sulit untuk dimengertinya, ucapan Sang Florist yang sejatinya tersampaikan demikian lembut itu membuat badan si Gadis merinding hebat. Dia langsung berusaha untuk menahannya agar tak sempat terbaca oleh Sang Florist lalu menjadi penyulut pertengkaran di antara mereka. Apa daya, dirinya tidak sanggup melakukannya.
Apalagi, hanya berselang dua tiga menit kemudian dia seperti mendengar tangisan sedih seorang Wanita, yang menghadirkan pilu membiru. Mulanya terdengar lamat-lamat, tetapi semakin lama semakin keras dan jelas. Rasanya hati Gadis itu ikut tergores-gores saja, perih sekali mendengarnya. Dia sampai tergoda hendak membuka mulut dan mengatakan sebaliknya mereka segera pulang saja, tetapi lagi-lagi keinginannya ini terhalang. Dia begitu takut Sang Florist akan marah padanya.
Pasti dia akan menganggap diriku rewel dan menyusahkannya. Aku mungkin hanya berhalusinasi, jadi mendengar suara tangisan segala. Buktinya dia tenang-tenang saja. Kalau benar suara tangisan ini nyata, masakan hanya aku yang mendengarnya? Kata Gadis itu dalam hatinya, demi menghibur dirinya sendiri.
Maka kemudian, dia memilih mencuri-curi kesempatan untuk memejamkan mata. Pikirnya, toh saat ini dirinya tengah digandeng oleh Sang Florist, kekasih hatinya? Dengan begitu, sungguh tidak mungkin ia jatuh tersandung, kan? Lagi pula, toh, tinggal dua pohon lagi? Ya, sebentar lagi siksaan perasaan seram, muram dan misterius ini bakal berakhir, menurutnya. Dan ia sungguh-sungguh berharap.
“Terus yang satu ini, namanya bunga krisan, Sayang,” jelas Sang Florist di dekat papan penanda betuliskan ‘November, 11th’. Seolah hendak mempercepat penjelasannya, dia menyebut pula bahwa di sebelahnya, pohon terakhir adalah bunga kembang sepatu.
Mendengarnya, Gadis itu langsung memberanikan diri membuka matanya kembali.
Uh, leganya. Akhirnya semua beres, kan? batin Gadis itu penuh syukur. Tak ubahnya seekor keledai yang lolos dari lubang jarum saja.
Ia menatap Sang Florist dengan tatapan mata yang menyiratkan tanya, “Sudah selesai kan, Sayang?”
Sang Florist mengangguk singkat. Tanpa melepaskan genggaman tangannya pada si Gadis, ia menunjuk ke bangku taman yang tadi, pertanda ia mengajak Kekasihnya itu untuk duduk di sana. Ajakan yang menerbitkan rasa gentar di hati Gadis di sebelahnya.
Apa daya, Sang Gadis tak berani melancarkan protes. Ia hanya dapat menghibur diri di dalam diam, berharap setelah ini mereka akan segera pergi dari area kebun yang semakin terasa menyeramkan baginya ini.
Sang Florist duduk di kursi yang ditunjuknya, diikuti oleh Sang Gadis. Sang Florist merasa teramat lelah. Sekujur tubuhnya terasa demikian lemas, hampir tidak bertenaga. Ddengan ekor matanya, ia mengerling pada Kekasihnya. Sekejap saja, Sang Florist sudah dsapa perasaan heran. Dia tak habis pikir, mendapati Gadis itu tampak baik-baik saja, tidak terlihat lemas sebagaimana dirinya. Yang dapat dicermatinya pada paras Gadis itu hanyalah tersiratnya rasa takut dan perasaan tak nyaman. Dan dia tahu pasti, apa penyebabnya.
“Duduk dulu saja ya Sayang. Badanku rasanya agak capek,” aku Sang Florist. Ia terbingung, mengapa situasinya jadi begini. Sungguh jauh di luar perkiraannya.
Sang Florist melihat betapa anggukan kepala Kekasihnya itu menyiratkan keterpaksaan. Gadis itu memang menurutinya, tetap duduk di sebelahnya tanpa protes. Tapi ia tahu, sejatinya hati Gadis itu pasti terasa berat.
Dan benar saja. Rupanya Sang Gadis tidak ‘sepatuh’ dan ‘sepenurut’ itu.
“Tapi tolong jangan lama-lama ya Sayang, istirahatnya di sini. Aku..., mulai merasa... eng.., takut, Sayang, ” akhirnya terucap juga kalimat ini dari celah bibir Gadis itu setelah pergumulan dahsyat di dalam hatinya.
Sang Florist mengerling sesaat ke arah Sang Gadis. Lantas ia menyandarkan punggungnya ke kursi taman. Ia meraih tangan Kekasih hatinya dan mengangguk.
Gerakan Sang Kekasih yang lembut itu, mau tak mau menggerakkan hati si Gadis, mendorong sebersit keberanian untuk mencuat keluar. Dan ia pantang menyia-nyiakannya kali ini.
“Sekarang aku sudah boleh tanya, belum, Sayang?” tanya Gadis itu, pelan dan amat hati-hati. Seakan tak mau membangkitkan amarah Kekasihnya.
Sang Florist tidak segera menjawab. Alangkah berdebarnya hati Gadis itu. Rasa takutnya menjadi-jadi. Bertumpuk-tumpuk. Di samping takut dengan suasana mencekam di sekitarnya, dirinya juga takut sang Kekasih akan memarahinya.
“Ya..., boleh,” sahut Sang Florist singkat lagi tersendat. Sekarang ini dia mulai merasa dadanya agak sesak. Dan itu sungguh menghalanginya untuk berkonsentrasi penuh pada rencananya.
“Soal kavling yang masih kosong, yang untuk bulan Agustus. Kenapa, Sayang?” tanya Si Gadis dengan suara bergetar.
Kesenyapan meraja. Hening yang aneh dan hampa menguat. Lagi-lagi rasa gentar menyusup di benak Gadis itu. Mengintimidasinya tanpa ampun.
“Sayang, kalau kamu nggak mau jawab, nggak usah dijawab. Enggak apa-apa, kok,” ralat Gadis itu cepat.
Tak disangka, Sang Florist mengembangkan sebuah senyum lalu menjawab singkat, “Belum ketemu.”
Ada tarikan napas lega dari gadis itu. Ia manggut dan bergumam, “Oh, maksudnya kamu belum ketemu pohon sama orang yang berulang tahun di bulan Agustus, yang memberikan tanaman itu. Ngerti, ngerti. Aku ngerti.”
Sang Florist mengerling lagi kepada Gadis itu, dan berusaha keras untuk kembali fokus. Pasalnya, mendadak dia merasa pandangannya kabur. Lalu saat ia berjuang memelototkan matanya, ia malahan melihat tubuh Sang Kekasih seolah ada dua alias berbayang. Dia sampai bingung, mana yang tubuh Gadis itu, mana yang bayangan. Di kejap ini, mau tak mau Sang Florist mulai meragukan penglihatannya. Ia berusaha mati-matian untuk mempertahankan kesadaran dan daya tahan tubuhnya, yang entah mengapa, malah menolak bekerja sama dengannya di saa genting begini.
"Benar kan ya, Sayang? Tapi apakah mencari pohonnya begitu sulit?” tanya Gadis itu penasaran.
Sang Florist mengatur napasnya yang kian terasa pendek-pendek.
Cari pohonnya itu perkara mudah, yang belum ketemu itu, Siapa yang ditaruh di bawahnya, batin sang Florist seraya memfokuskan pandangan kepada Sang kekasih. Namun hal yang aneh segera terjadi. Yang kini terlihat di hadapannya, seperti bukan wajah sang Kekasih, melainkan wajah yang berganti-ganti. Wajah sekian banyak wanita, dalam ekspresi marah, sedih, serta kecewa. Lalu sorot mata mereka menampakkan dendam kesumat.
“Sayang, kamu masih capek ya? Kalau sudah nggak capek, mendingan kita balik ke mobil saja yuk. Eng.., aku makin merinding nih, kalau kelamaan di sini. Rasanya anyep, asing,” keluh Sang Gadis akhirnya, seusai menepis rasa ragu dan takutnya.
Sang Florist mengatur napasnya.
“Se.. sebentar,” kata Sang Florist dengan susah payah, akhirnya.
*
* ^ Lucy Liestiyo ^ * PS :
Helou.., kawan-kawan baru saja membaca salah satu episode dari Antologi EX!ST2 yang terdiri atas 3 kisah misteri.
Episode di atas diambil dari kisah yang berjudul 'KEBUN BUNGA SANG FLORIST" yang tak lain adalah cerita misteri kedua dalam Antologi ini. Ya, selanjutnya EX!ST2 akan setia menyapa kawan-kawan hingga episode terakhir dari kisah misterinya yang ketiga kelak. Berhubung semuanya merupakan kisah misteri yang bernuansa roman dengan sedikit unsur kekerasan dan kemungkinan narasi ataupun unsur adegan dewasa,. Karenanya, mohon bijak dalam memilih bacaan yang ditujukan untuk 18+ ini.
Tunggu kelanjutannya ya kawan-kawan sekalian, sambil memasukkannya ke dalam perpustakaan pribadi dengan klik ADD atau tap LOVE, terima kasih :)