CERMIS 1 : KERAJAAN GAIB? (26)
Episode : Sebuah Usaha Pencarian dan Penyelamatan (2)
Sejauh ini halangan demi halangan harus dilalui oleh Fabian untuk meneruskan usahanya menyelamatkan Sang Istri. Dari mulai sekumpulan binatang berkaki empat dan berkepala manusia yang mengelilingnya sehingga membuat dirinya sulit bergerak, lima orang gila yang menutup jalannya dan menarik-narik tubuhnya ke segala arah, binatang melata yang mencoba melilit badannya, sampai berbagai halangan lainnya yang tak kalah mencengangkan.
Kini Fabian harus menghadapi Para Prajurit yang berpakaian mewah dengan senjata di tangan mereka. Penampakkan mereka ini tak ubahnya seperti yang pernah Fabian saksikan di buku-buku dongeng. Sedikit yang mengusik perasaannya, karena mereka semua adalah Wanita. Entah bagaimana, halangan ini juga dapat dilewati Fabian dengan baik.
Kemudian datanglah terpaan angin yang sangat kencang, meliuk-liukkan tubuhnya, mengombang-ambingkannya secara konstan. Tetapi tak disangka, kendala yang satu ini juga dapat ia lewati dengan baik. Tidak terpikir olehnya bagaimana melepaskan diri dari itu semua.
Fabian mengira, tentu semuanya itu dapat dilewatinya dengan bantuan sang Nenek yang meski tidak terlihat ujudnya, tetapi dapat dirasakan oleh Fabian kehadirannya. Fabian tahu, sang Nenek lah yang telah membuat mereka kocar-kacir dan meninggalkannya.
Fabian melanjutkan melangkahkan kakinya.
Sekarang, tibalah Fabian di sebuah gerbang yang demikian indah. Gerbang yang demikian tinggi, berlapis emas dan menguarkan aroma bebungaan yang begitu kuat. Aroma yang membuat kepalanya agak pusing. Lantas ada pula suara seruling yang aneh dan bernuansa demikian mistis.
Ada lagi yang janggal. Yakin, semakin lama Fabian menghirup aroma bebungaan yang menguar itu, semakin dia merasakan lemas di seluruh badannya. Tulang-tulangnya serasa bagai tengah dilolosi satu demi satu. Seakan-akan, energinya terserap keluar. Sementara jika dirinya tak menghirup udara di sekitarnya, dia merasakan dadanya sungguh sesak.
Tidak ada jalan lain, Fabian terus bertahan, menguatkan hati dan tekadnya.
“Terus Fabian, sedikit lagi! Bertahan, Cucuku! Kuatkan dirimu! Nenek tetap membantumu,” berbeda dengan tadi, sekarang Fabian dapat mendengar betapa lemah dan kecilnya suara sang Nenek. Tak urung, dia merasa cemas.
“Nenek..., Nenek enggak apa-apa? Nenek baik-baik saja?” teriak Fabian khawatir.
Pasalnya, suara Sang Nenek sungguh-sungguh seperti suara orang yang sangat kelelahan setelah mengalami peperangan nan dahsyat dan mengeluarkan segenap energi yagn tersimpan. Suara itu bahkan... tak ubahnya seperti suara orang yang tengah di ambang ajal.
Padahal diam yang sesaat itu, adalah sebuah usaha Sang Nenek untuk ‘memulihkan’ tenaganya.
“Perempuan jahat itu terbakar dendamnya. Perempuan jahat itu sungguh-sungguh mau memutus garis keturunan Anakku. Padahal ia yang sudah begitu jahat menggoda dan menjebak Anakku. Dia sengaja menyakiti hati Menantu kesayanganku. Aku tahu semuanya, walau aku tidak tinggal di rumah itu. Satu-satunya yang menjadi kesalahan fatal dari Anakku, karena ia terlalu menuruti Wanita berhati ular ini. Fabian, berusahalah terus. Nenek sudah tidak kuat, tetapi Nenek akan terus membantumu. Garis keturunanmu harus terselamatkan. Kutuk itu nggak akan menimpa Istrimu, jika kamu berhasil mengeluarkannya hidup-hidup dari sini, hari ini juga,” gumaman lirih Sang Nenek hanya terdengar samar dan sebagian saja oleh Fabian.
Dia mengkerutkan dahinya karena semua itu terlalu memusingkannya, belum lagi ditambah harus memikirkan waktu yang terus berjalan.
Garis keturunan? Kutuk? Maksud Nenek apa? Apa yang disembunyikan oleh Bapak dariku? Apakah ini erat hubungannya dengan banyaknya larangan yang harus aku dan Dik Shania perhatikan? Sampai-sampai Dik Shania jenuh. Sampai-sampai Pihak Keluarga Dik Shania juga terkesan tersinggung lantaran merasa tidak dilibatkan dalam semua persiapan perayaan pernikahan kami. Tapi ... aaah! Aku tidak sempat memikirkan tentang semua itu saat ini. Keselamatan Dik Shania jauh lebih penting ketimbang misteri ini. Aku toh bisa menanyakannya di kemudian hari. Tadi Nenek bilang aku harus fokus, kan? Pikir Fabian, menyadarkan dirinya sendiri.
“Nenek...,” panggil Fabian pelan, setelahnya. Ia sulit merasakan keberadaan Sang Nenek di sekitarnya, dan sungguh itu membuatnya mengkhawatirkan keadaan Sang Nenek.
Tidak ada sahutan dari sang Nenek.
Rasa bimbang menyergap Fabian. Merasuk hingga ke sukmanya.
“Pikirkan Istrimu! Ingat pesan Nenekmu!”
Beruntung, dalam keadaan galau dan nyaris hilang arah seperti itu, entah suara siapa, hinggap di kepala Fabian. Suara yang seakan sengaja menyentak kesadarannya, suara yang menggerakkan dirinya.
Fabian meneruskan langkahnya, terus mengarah ke gerbang yang terbuka itu.
“Mau apa kemari? Ratu kami sedang sibuk!” cegah dua orang Pengawal yang mendadak muncul di gerbang dan segera menghadang langkah Fabian. Mereka berdua memalangkan senjata seperti sangkur besi yang saling ditautkan untuk menutup jalan Fabian.
Pada detik ini, Fabian teringat akan pesan sang Nenek.
Fokus. Fokus. Nenek akan membantu menghadapi para pengawal ini kan? Sedari tadi juga Nenek sudah melakukannya. Aku nggak mau membuat ini menjadi sia-sia. Aku hanya perlu fokus pada usaha penyelematan Istriku. Itu, kata Fabian dalam hati, mengafirmasi dirinya berkali-kali.
Fabian menatap lurus. Sejarak lima puluh meter dari tempatnya menjejakkan kaki, dia melihat sebuah singgasana berlapis emas. Kilau yang memancar dari singgasana menyilaukan mata Fabian. Namun ketika dirinya tengah memusatkan pandangan kesana, mendadak singgasana itu terlihat kosong. Tidak ada seorang pun di sana.
Fabian dilanda rasa heran.
Kini bahkan seperti ada tirai yang membatasi pandangan matanya. Tirai yang juga muncul secara sekonyong-konyong. Tirai yang tak mampu disibak olehnya.
Dengan kekuatan yang entah didapatkannya dari mana, Fabian memukul mundur dua Orang Pengawal berparas cantik yang menghadangnya. Mereka berdua jatuh terjerembab setelah Fabian memukul dan menendang mereka.
Segera sebelum mereka sempat bangkit, Fabian melakukan gerak cepat. Ia memanfaatkan jeda waktu itu untuk berlari menghampiri singgasana yang tadi terlihat di depannya. Anehnya, tirai di depannya bergerak seperti mundur. Ia tak mempu menjangkau tirai itu.
“Berhenti! Jangan mendekat!” sekejap saja, muncul sederet Wanita berparas rupawan yang berpakaian layaknya ksatria tangguh. Mereka sigap menghadang langkah Fabian.
Otomatis Fabian tercengang.
Mereka semua berdiri tepat di depan tirai. Jadi sekarang posisi tirai pemisah antara dirinya dengan singgasana yang menjadi tujuannya, bergeser menjadi di belakang para Wanita tersebut.
Pasukan Wanita di depan Fabian berbaris amat rapat.
Semua dari mereka menatap Fabian dengan wajah garang, angkuh, dan sorot mata yang penuh kecurigaan.
Fabian memperhatikan, setiap dari mereka memegang senjata yang aneh di tangan mereka. Tampaknya, itu merupakan senjata andalan mereka.
Ada sebagian dari mereka yang menggenggam tongkat besi dengan ujungnya berupa kepala ular sungguhan. Ada pula beberapa yang memutar-mutar lingkaran bergerigi tajam dengan warna-warna yang menyilaukan matanya. Sebagian lainnya tampak tengah mengacungkan pedang panjang yang bermata dua. Bahkan ada pula yang memutar-mutarkan bola besi berlingkarkan api yang siap menyambar dan menghanguskan siapa saja. Fabian saja sampai bingung, bagaimana bisa api menyala di dalam air seperti itu.
Rasa bingungnya belum seberapa. Saat dicermatinya, sebagian lainnya malah lebih aneh lagi, sebab tangan atau kaki mereka bukan sebagaimana yang umumnya terlihat pada manusia biasa. Kaki ataupun tangan mereka itu berbentuk rangkaian jarum beracun yang siap ditembakkan setiap saat, ataupun anak panah dengan api menyala. Semuanya sungguh di luar dari nalar Fabian.
Itu bagaimana cara mereka berjalan, coba? Pikir Fabian bingung.
“Jangan biarkan dirimu terkecoh dengan hal itu, Fabian. Bahkan di depan sana masih akan ada banyak hal yang bakal menganggu dan sengaja untuk membuyarkan konsentrasimu. Sebaliknya, teruslah berfokus pada usaha penyelamatan Istrimu. Ingat itu!” Suara Sang Nenek terngiang di telinga Fabian.
Fabian tergeragap karenanya.
Aku tahu sekarang, mereka hanya berusaha membuyarkan konsentrasiku. Mereka berupaya untuk mengalihkan perhatianku. Membuatku kehabisan banyak waktu. Maafkan aku, Nek. Aku takkan membiarkan diriku tertipu oleh pandangan di depanku. Bisa jadi ini bukan seperti tampaknya, alias hanya tipuan saja bagi mataku. Andaipun ini merupakan fakta, biar kuhadapi saja. Kuhadapi tanpa harus memikirkan masuk akal atau tidak. Ini adalah bagian dari usahaku menyelamatkan Dik Shania. Sabar Dik Shania, aku merasa posisi kita sudah semakin dekat sekarng. Terus beri aku tanda, Dik Shania. Dan sementara kita belum bertemu, tetaplah bertahan dan tunggulah kedatanganku, kata Fabian di dalam hatinya.
* * Lucy Liestiyo * *