Episode : Kepingan Rahasia Kelam Masa Lalu (9)
“Jangan! Jangan ada yang menghubungi Bapak! Aku baik-baik saja,” cegah Bu Endah serius, dengan suara yang terdengar lemah.
“Nggak bisa, Bu! Kami harus memberitahukan hal ini kepada Bapak. Kami nggak mau Ibu kenapa-napa. Kami nggak mau disalahkan nantinya,” kata Dewi.
“Ronny..., angkat aku. Bawa aku ke rumah sakit. Cepat! Aku nggak mau kehilangan Anakku!” kata Bu Endah semakin lemah.
“Mbak Merna, cepat, telepon Bapk sambil kita bawa Ibu ke rumah sakit!” kata Dewei keras kepala.
“Jangan..., nanti Bapak ... ngak konsentrasi. Bapak..., sedang ... sibuk menyiapkan.. urusan Fabian..., jangan... kalian ganggu,” pinta Bu Endah terbata-bata. Wajahnya sudah mulai memucat.
Bu Endah merasa pandangannya mulai memburam, lantas semuanya gelap baginya.
“Ibu! Ibu!” teriakan panik Merna masih terdengar di telinganya, namun ia tak sanggup membuka matanya.
Dibantu oleh Dewi dan Hera, Ronny segera membawa Bu Endah ke mobil dan memanaskan mobil dengan tergesa.
...
Lamunan Farah buyar sampai di sana. Dia tidak sanggup lagi meneruskannya.
Farah menangis terisak-isak mengenang hari yang kelam itu.
Fina merasa terganggu.
“Ya ampun Kak..., bisa diam nggak sih?” keluh Fina akhirnya.
Namun tawa Farah malah kian kencang. Ya, dia sungguh menyesali hari itu.
Dan lamunan Farah berlanjut kembali.
...
Menjelang sore, Pak Handara tiba di rumahnya. Saat ia mencari keberadaan Bu Endah, Merna menghampirinya. Dengan terbata-bata Merna mengatakan bahwa Bu Endah sedang berada di rumah sakit karena harus menjalani perawatan setelah dikuret. Disebutnya, ada Dewi dan Hera yang tengah menemani Bu Endah sekarang, sementara dirinya brgegas kembali ke rumah setelah memastikan Bu Endah mendapatkan perawatan terbaik. Semua semata karena dia ingin segera sampai di rumah. Ia tak ingin Bu Fatin melakukan tindakan jahat lainnya. Pasalnya, dia belum sempat berpesan kepada Rekan-rekannya agar mewaspadai Bu Fatin.
“Apa? Dia kenapa?” sentak Pak Handara.
Farah yang tengah berada di kamar Ibunya, mengintip semuanya.
“Bu..., apakah Bapak akan memarahi kita?” tanya Farah dalam takutnya.
Sang Ibu diam saja.
Dan secara samar-samar, Farah justru melihat ada senyum kemenangan di bibir Sang Ibu. Senyum yang entah mengapa, mengusiknya. Menerbitkan dua hal sekaligus di pikiran Farah. Yang pertama, dia bersyukur karena Sang Ibu tampak tersenyum di dalam rasa puas dan senang lantaran sebuah pencapaian. Namun untuk alasan yang sulit dimengertinya, ia juga sedikit ngeri melihat senyuman itu.
“Bu, Ibu senang?” tanya Farah.
Kembali Sang Ibu diam seribu bahasa.
Di luar sana, tampak Merna menjelaskan sesuatu.
“Kurang ajar si Fatin itu! Aku usir dia sekarang juga! Kamu juga dipukul sama dia? Itu, kamu obati lebam di pipimu itu!” kata Pak Handara.
“Pak..., Pak! Maafkan saya kalau lancang. Soal Bu Fatin, biarkan saja dulu. Bu Endah lebih memerlukan kehadiran Bapak sekarang ini. Bu Endah sangat terguncang kehilangan bayinya. Kehadiran Bapak akan membesarkan hati Ibu. Kami mohon maaf, karena tidak menghubungi Bapak. Bu Endah melarang kami. Katanya bapak sedang sibuk dengan urusan Fabian,” terang merana.
Pak Handara bagai tersadar.
Disentuhnya pundak Merna.
“Merna, kamu jaga rumah. Kamu sama Rony jaga jangan sampai si Fatin membawa pergi Fina dan Farah. Kalau dia memang mau pergi, biarkan saja,” kata Pak Handara.
Di dalam kamar, Bu Fatin yang menguping hal itu, merasa amat sakit hati.
Sial! Sial! Sial! Bukan ini yang aku ingini! Nggak begini akhirnya! Maki Bu Fatin dalam hati.
Pak Handara sudah seperti orang yang kehilangan akal sehat ketika memasuki kembali mobilnya yang baru bebarapa saat lalu membawanya pulang dari kota. Hatinya merasa hampa, karena Anak yang ditunggu-tunggu, Anak yang dia yakini adalah Laki-laki yang akan menyempurnakan ‘harta tak ternilai yang dia miliki – yakni dua pasang anak lelaki dan perempuan’ ternyata telah berpulang. Dan dalam rasa khawatir yang besar akan keselamatan Sang Istri, dia terus berdoa sepanjang perjalanan ke rumah sakit.
“Endah..., banyak sekali salahku padamu. Aku sudah menduakanmu. Aku bahkan tak sanggup melindungimu, melindungi Calon Anak kita. Seharusnya aku paham pertanda yang kudapatkan. Pantas saja perasaanku tak tenang saat akan pergi kemarin..,” ratap Pak Handara dalam perjalanan ke rumah sakit.
Pak Fuad yang menyupirinya sampai ikut sedih mendengarnya.
Pak Handara tidak pulang ke rumah malam itu. Dia menjaga Sang Istri yang harus memulihkan dulu kondisi kesehatannya di rumah sakit.
Malam itu Farah dan Fina tidur di kamar Ibu mereka. Mulanya Fina menolak, tetapi Sang Ibu memaksa. Bu Fatin bahkan terus memeluk tubuh kedua Anaknya, dan menyuruh Anak-anaknya untuk tidur lebih awal.
Fina segera terlelap, tetapi Farah tidak.
Dia mendengar Sang Ibu meninabobokannya. Satu hal yang seingatnya tidak pernah dilakukan oleh Ibunya sebelumnya. Dan ia terheran saat memergoki ada tetes air yang meluncur di pipinya sendiri.
Farah menoleh dan menatap Sang Ibu di keremangan.
“Ibu menangis? Kenapa? Ibu takut Bapak akan marah?” tanya Farah.
Sang Ibu tampak terkejut, dan lekas menguasai dirinya. Dihapusnya air mata di pipinya, tetes air matanya yang ada di pipi Sang Anak.
“Farah, kamu harus jadi Anak yang kuat. Kamu harus melindungi Adikmu. Kamu tidak boleh cengeng. Kamu tidak boleh menunjukkan kelemahanmu. Ingat kata Ibu, kadang-kadang kamu harus berpura-pura suka pada Orang lain. Lakukan saja,” kata Sang Ibu.
Farah kebingungan.
“Mengapa Bu?” tanya Farah.
“Sudah, kamu tidur saja,” kata Bu Fatin, lalu menciumi pipi Anak Sulungnya.
Ia bangkit dari tempat tidur, menghampiri telepon yang ada di meja sudut.
Dengan lincah jemari Bu Fatin memencet sebuah nomor. Nomor telepon genggam Pak Handara!
Satu kali dia menghubungi, tidak bersambut. Dua kali, tiga kali, tetap tak bersambut.
“Huh! Semoga keadaannya gawat! Biar dia mampus sekalian!” umpat Bu Fatin pelan.
Farah mendengarnya, walau sayup-sayup.
Pun begitu, diamenghubungi lagi nomor yang sama.
Kali ini bersambut.
“Hallo?” Suara parau Pak Handara terdengar.
Hati Bu Fatin terasa panas.
Dia tidak sesedih ini, beberapa bulan setelah aku melahirkan Fina dan terpaksa harus menerima kenyataan bahwa kedua indung telurku yang bermasalah harus diangkat, pikir Bu Fatin dengan hati bergetah.
“Padahal gara-gara aku berada di rumah sakit, Fina jadi harus dirawat sama Mbak Endah. Lihat akibatnya, Anak itu jadi sayang sama dia. Anak itu jadi dekat sama dia,” Bu Fatin setengah bergumam. Untung saja dia menjauhkan gagang telepon, sehingga suara gumamannya tidak terkirim ke Sang Suami.
“Hallo? Siap? Merna, ya? Ada apa, Merna?” terdengar lagi Suara Pak Handara.
Ia berpikir, barangkali Merna akan melaporkan kondisi rumah. Pasalnya, tadi ia sudah berkali-kali berpesan agar memata-matai tindakan dan gerak-gerik Bu Fatin.
Bu Fatin tertawa sinis.
“Ini aku. Dan aku puas sekali. Ha ha ha! Dedamku terbayar! Kamu nggak akan punya Anak lagi! Ha ha ha! Aku rasa tak akan sulit untuk membuat Fabian mati!” kata Bu Fatin.
Di lorong depan dekat kamar Bu Fatin, Merna tersentak.
“Dia benar-benar Iblis! Bapak sudah menikahi Iblis!” desis Merna.
“Kurang ajar kamu Fatin! Awas, aku akan membuat prhitungan denganmu!”
“Memangnya kamu bisa? Aku bisa memutus garis keturunanmu! Ingat itu! Bagaimana pun caranya! Ha ha ha!”
Merna semakin bergidik ngeri mendengarnya.
Sementara Farah, hanya mendengar sayup-sayup lantaran telah tertidur.
Dia hanya tahu, malam itu Ibunya memeluk dirinya erat-erat dan menciumi wajahnya. Entahlah, apakah Ibunya melakukan hal yang sama kepada Adiknya atau tidak. Matanya sudah terlalu berat untuk dibuka. Kantuk yang hebat telah menguasainya. Kantuk yang tidak dapat dilawan olehnya.
Lalu keesokkan harinya kala ia terbangun, ia hanya tahu Sang Ibu tidak ada di sisinya.
Ia mencari ke segenap rumah, bertanya pada Siapa saja yang ada di rumah, apakah mereka melihat Sang Ibu. Tetapi semuanya mengatakan tidak. Ia menangis meraung-raung, kala menanti sampai sore tetapi Sang Ibu belum kunjung terlihat olehnya. Ia merasa, tidak satu Org saja di dalam rumah tersebut yang peduli dengan hal yang tidak biasa : ketidakberadaan Ibunya! Ibu kandungnya. Mereka terlihat biasa saja dan tak terusik.
Dan Farah kian benci, ketika mendapati Fina tidak sepanik dirinya.
Pagi hingga menjelang siang, Fina memang menanyakan dimana Ibu mereka. Tetapi menjelang sore, Fina malah asyik bermain boneka.
Farah mogok makan hari itu, karena merasa tidak diperhatikan. Dia merasa Orang satu rumah tidak peduli dan tidak berusaha mencari di mana Ibunya berada. Mereka juga tidak terlalu keras untuk membujuknya makan. Dan ia bertambah benci, melihat Fina makan dengan lahap, ditemani oleh Merna.
“Dasar Anak kecil ini sudah berbakat menjadi pengkhianat,” gerutu Farah kesal, dan memilih masuk ke kamarnya. Ia ingin tidur. Dipikirnya, tidur mungkin akan sedikit membuatnya melupakan rasa laparnya.
Sore hari kala Pak Handara datang bersama Bu Endah dan menuntun Bu Endah masuk ke rumah, Farah langsung berlari keluar kamar.
“Bapaaak! Ibunya Farah pergi dari pagi! Bapak harus mencarinya!” rengek Farah.
Terlihat Bu Endah mengernyitkan kening.
“Pak? Ada apa? Bapak bertengkar sama Fatin?” tanya Bu Endah.
Pak Handara menggeleng.
“Bahkan Bapak belum sempat bertengkar. Sudah, sekarang aku antar kau istirahat. Tidak usah berpikir macam-macam. Biarkan saja,” kata Pak Handara datar.
Ia menoleh kepada Farah dan bertanya, “Kamu sudah makan, Farah? Adikmu Fina mana? Kamu makan dulu, ya. Bapak antar Bu Endah dulu ke kamar.”
Farah menatap kecewa. Tetapi ia tak berdaya untuk menahan kepergian Sang Ayah.
Malamnya, memang Sang Ayah menemani dirinya serta Fina sampai mereka tertidur. Begitu seterusnya sampai hari-hari selanjutnya. Tetapi yang Farah tahu, Sang Ayah tidak pernah sungguh-sungguh mencari tahu keberadaan Ibu kandungnya.
Lama-kelamaan, ketiadaan Ibu kandungnya di rumah itu seperti hal yang biasa saja. Bahkan seisi rumah seolah melupakan, bahwa pernah ada Seseorang yang bernama Fatin, di rumah tersebut. Herannya, dirinya sendiripun, ada akhirnya berusaha menerima keadaan tersebut, seiring waktu yang berlalu.
...
Lamunan Farah benar-benar berakhir. Ia menatap Adiknya secara intens.
“Ibu mempunyai dendam kepada Bu Endah, karena Bapak kita nggak sayang sama Ibu,” ungkap Farah akhirnya.
Fina mengakat wajahnya.
“kak Farah..., sudahlah! Kepalaku terlalu pusing kalau harus mengingat-ingat Sosok Ibu. Sudah Kak, jangan ajari aku membenci Bu Endah terus,” kata Fina akhirnya.
Farah mengeleng kecewa.
Saat dia kecil saja susah aku tangani, apalagi sekarang, batin Farah dengan hati galau.
“Kamu tahu apa, Anak kecil? Kamu tahu, hari terakhir sebelum Ibu pergi, apa yang terjadi dengan Ibu kita?” tanya Farah pelan.
Fina menggeleng.
“Aku hanya ingat..., itu juga samar-samar..., Ibu menarik tangan aku. Ibu mendorong Bu Endah. Bu Endah berdarah-darah. Bu Endah diangkat ke mobil. Aku nggak jadi punya Dedek bayi,” kata Fina datar.
Farah terhenyak. Tidak disangkanya masih ada peristiwa yang tersangkut di ingatan Fina. Dan sialnya, itu justru memperburuk citra Ibu kandung mereka.
Bibir Farah langsung terkatup.
Tidak ada lagi kata-kata yang sanggup ia ucapkan. Dia tahu akan sia-sia membela Ibunya,mengoreksi ‘apa yang diingat’ oleh Sang Adik dengan versinya sendiri. Kini dia sendiri juga meratap di dalam diam.
Apa benar yang Fina bilang, Bu? Apa benar Ibu nggak sayang kami? Buktinya, semanjak itu Ibu pergi dan tidak pernah kembali? Mengapa Ibu nggak pernah menengok kami? Ibu nggak sayang sama kami, sama Farah? Walau dalam mimpi, masa Ibu nggak mau datang? Bu, Farah kangen! Farah butuh Ibu untuk membela Farah saat ini. Farah tahu, Ibu sanggup melawan Bapak! Bu, tolong Farah! Ibu sebenarnya ada di mana? Ibu masih hidup? Ataukah sudah meninggal? Kasih Farah sedikit tanda, Bu! Jerit hati Farah dalam keputus asaan.
* * Lucy Liestiyo * *