CERMIS 1 : KERAJAAN GAIB? (27)

2217 Words
Episode : Rahasia Hati Sang Penguasa Kerajaan Di Dasar Danau Ariya (1)   Sang Ratu berkacak pinggang dengan sikap congkak. Ia tampak tengah menghadapi semacam monitor besar yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri. Wajahnya terlihat serius, mengamati perubahan yang ada di sana dari detik ke detik. Bila di kehidupan nyata, monitor yang terlihat di depannya tak ubahnya monitor yang memperlihatkan tampilan dari tangkapan kamera cctv. Mulanya ia tertawa senang dan bergumam, “Hm. Akhirnya satu-satunya Penerus garis keturunan si Handara itu datang juga. Kesempatan emasku ini nggak akan pernah aku sia-siakan. Aku akan membuat perhitungan sama dia, atas kesalahan yang telah dilakukan sama Bapaknya dia terhadapku dulu.” Namun beberapa saat setelahnya, wajah Sang Ratu terlihat murung, mengenang ‘akumulasi kesalahan’ Pak Handara atas dirinya di masa lalu. Kenangan yang tiada pernah dapat dihapusnya dari memory otak kirinya. Kenangan yang demikian membekas. Rasa yang tetap mengisi hatinya hingga di detik ini. “Iya. Meski aku sudah cukup lama berada di sini dan tidak pernah bertemu dengan dia lagi, tapi jujur aku masih saja merasakan kesulitan yang besar untuk melupakan dia. Perasan cintaku padanya juga tetap sekuat dulu, walau begitu banyaknya kesalahan yang telah dia lakukan terhadap diriku,” gumam Sang Ratu. Seketika bayangan wajah Pak Handara muda mengusiknya. Pak Handara yang dinilainya tidak membalas cinta serta perhatian yang dia berikan. Pak Handara yang menurutnya tidak mencintai dirinya sebesar ia mencintai Lelaki itu. Pak Handara yang ia angap sebagai Sosok yang Pilih kasih dan justru lebih mengutamakan Istri Pertamanya. Sampai di situ, Sang Ratu mendengkus kesal. “Padahal apa bagusnya Istri Pertamanya itu? Jelas-jelas dia lebih lebih tua dariku. Dasar Mas Handara itu keterlaluan. Dia telah menyia-nyiakan diriku. Bahkan tidak peduli dengan kepergianku dari rumahnya. Ya! Itu adalah kesalahannya yang terparah! Aku tidak melihat dia sungguh-sungguh mencari keberadaanku. Aku tahu dia hanya melacak keberadaanku ke Sanak Saudaraku. Itu saja. Tidak ada masa bersedih karena kehilangan aku. Bahkan sebentar saja dia tampak seperti telah melupakan aku. Apa jangan-jangan dia malah menganggap kepergianku sebagai jalan keluar baginya untuk seterusnya memanjakan Istri Kesayangannya itu? Huh! Dasar Lelaki nggak adil! Padahal, aku sudah memberikannya Sepasang Anak Perempuan!” keluh Sang Ratu, yang tak ragu untuk mengakui betapa ia masih sangat mengharapkan cinta dari Lelaki itu. Sang Ratu hampir terhanyut dalam kenangan awal pertemuan mereka di perkebunan dulu. Itu adalah saat palig manis baginya, tatkala dirinya sengaja mengenakan pakaian terbaiknya yang dirasanya dapat mencetak dengan maksimal, lekuk tubuhnya. Saat di mana ia dapat tertawa bahagia, mencandai Pak Handara dan memetik daun teh, lalu menguraikan dengan penuh percaya diri, mana teh yang bagus dan mana yang kurang bagus. Dia merasa itu adalah momen emas baginya, di mana Pak Handara seperti terlihat tertarik dengan caranya menerangkan. Dia menangkap kekaguman dalam tatap mata Pak Handara muda. Senyum mengembang begitu saja di bibir Sang Ratu, layaknya Seorang yang amat terobsesi akan Seseorang dan Sesuatu hal. Tentu akan dikejarnya selama masih ada celah kesempatan itu. Bahkan andai celah kesempatan itu tidak terlihat, dia yakin dia akan berusaha untuk menciptakan sendiri peluangnya. Namun sebuah ketukan di ruangan besarnya yang megah dan berlapiskan emas itu membuyarkan apa yang tengah digagasnya. “Huh! Apa lagi mereka ini? Mengganggu kesayikanku saja!” keluh Sang Ratu. “Waktumu tidak banyak, Fatin. Aku sudah membantumu sejauh dan selama ini. Bantuan dariku selesai di hari ini. Bila kamu tidak mampu mengalihkan kepemimpinanmu atas kerajaan ini ke Wanita yang tadi datang, maka kamu harus menerima kenyataan bahwa kamu akan selamanya tinggal di sini. Kamu tidak akan bisa keluar dari sini,” terdengar sebuah suara yang bagai menembus dindingnya. Sang Ratu tentu saja bergidik ngeri mendengarnya. Masih ada sejumlah keinginan yang terpendam di hatinya. Dia masih ingin hidup normal di dunia ‘atas’. Bahkan dia ingin merebut kembali posisi sebagai ‘satu-satunya’ Pendamping dari Pak Handara. “Beri saya waktu untuk berpikir sebentar, Guru,” ucap Sang Ratu. Ketukan pintu terdengar lagi. “Huh! Mengganggu sekali! Nggak tahu aku lagi pusing apa, memikirkan strategi yang tepat. Ini waktuku nggak banyak!” omel Sang Ratu. “Masuk!” seru Sang Ratu kemudian. Pintu kamarnya terbuka. Dua Orang Pengawal cantik membungkuk hormat kepadanya. “Ada apa?” tanya Sang Ratu. “Tawanan sulit diajak kerja sama, Ratu. Apakah kami harus bertindak kasar padanya?” tanya Salah satu dari mereka. “Huh! Menangani hal kecil saja kalian tidak mampu. Masa harus aku juga yang turun tangan?” omel Sang Ratu. “Maafkan kami Ratu,” sahut Dua Orang pengawal itu bersamaan. Sang Ratu mengibaskan jubahnya dengan kesal. Wajahnya tampak menegang. Ia berjalan cepat menuju sel di mana Shania, ‘Sang Tawanan’ ia tempatkan. Di belakangnya, Dua Pengawal yang tadi melapor, setia mengikutinya dalam diam. Di balik sel, Shania menatap tajam padanya. “Bebaskan aku dari sini!” ancam Shania galak. “Kamu ini bodoh sekali! Semua kerajaan ini adalah milikmu. Mereka semua akan mematuhimu perintahmu. Mereka akan melayanimu dengan baik. Kamu akan senang berada di sini. Sudah, tak perlu banyak cakap. Kamu persiapkan diri dan hatimu. Nanti malam adalah pengalihan kekuasaanku kepadamu. Kamu terima saja,” kata Sang Ratu. Shania membuang muka. Jadi benar, ini wajah asli dan kepribadian dia yang sesungguhnya. Tadi itu dia hanya berpura-pura anggun, pikir Shania. Sang Ratu merasa tersinggung diperlakukan macam itu. Ia mengangkat dagu Shania dan memarahinya, “Nikmati sisa hidupmu di sini.” Dengan berani Shania meludahi wajah Sang Ratu. Sang Ratu terkejut dan segera menampar pipinya dengan keras. “Berengsek! Kurang ajar!” makinya, lalu mengayunkan tongkat di tangannya. Terpaksa aku harus melakukan ini, pikir Sang Ratu. Shania merasakan ada perubahan pada badannya, tetapi dia tidak tahu pasti apa yang terjadi. Dia hanya merasa badannya agak mengecil dan menjadi pendek. Di atas segalanya, yang amat ia sadari hanyalah, suaranya saat ini menghilang. Ia berteriak-teriak memaki Sang Ratu, tetapi tidak dapat mendengar suaranya sendiri. Kak Fabian, lekas tolong aku, Kak. Aku merasakan keberadaanmu semakin dekat dengan aku, batin Shania dalam sisa-sia pengharapannya. Sang Ratu membalikkan badan dan berkata, “Jaga dia yang benar!” Satu Orang Pengawal bergumam tanpa sadar, “Er- Ratu..., Apakah harus seperti ini? El- Lalu..., Bagaimana dia bisa menjadi Ratu kami dalam keadaan dan bentuk macam itu?” Sang Ratu menoleh dan menatap tajam pada Pengawalnya. Tatapan tajamnya ampuh membuat Sang Pengawal bungkam. Dan sebagai Abdi, tentu saja Sang Pengawal paham dirinya baru saja mengucapkan sesuatu yang salah, pertanyaan yang tidak semestinya. “Huh! Benar-benar merepotkan si Shania ini!” geram Sang Ratu. Ia segera berlalu dari hadapan mereka, kembali masuk ke kamarnya sebelum berpesan dengan serius kepada sejumlah Pengawal pilihannya. “Ulur waktu selama mungkin. Aku benar-benar sedang tidak bisa diganggu. Aku harus berpikir keras untuk menuntaskan semua ini. Jangan ada laporan apa-apa lagi. Aku sendiri yang akan keluar dari kamar dan menuju singgasanaku nanti. Camkan itu!” “Baik, Ratu,” sahut Para pengawal pilihannya serentak. Ratu masuk ke dalam kamarnya yang penuh gemerlap emas murni. Dihempaskannya dengan keras pintunya. Ia benar-benar kesal dan merasa terdesak. Hati Sang ratu sungguh resah. “Aku nggak mau semuanya berakhir sia-sia. Penantianku sudah begini lama. Pengorbanan yang aku jalani sudah tak terkira banyaknya. Apalgi kesabaran. Kesulitan yang aku hadapi juga sudah bertumpuk. Dasar Handara sialan! Menantunya juga sialan!” umpat Sang Ratu sambil mondar-mandir lantaran pusing. “Farah, Farah Anakku yang sangat aku sayangi. Ibu sangat rindu padamu. Diam-diam Ibu selalu mengamatimu, walau Ibu tidak bisa bertemu denganmu sebelum perjanjian Ibu dengan Guru Ibu usai. Ibu bangga sama kamu, yang sanggup bertahan sampai hari ini. Dan Ibu juga bangga karena kamu tetap mengenang Ibu sebagai Seseorang yang kamu sayangi. Farah, Anak kesayangan Ibu, sabar ya. Bantu Ibu berpikir. Ibu harus berterima kasih karena kamu menuruti panggilan Ibu, walau kamu tak merasakannya. Kamu berhasil menggiring Menantunya si Handara kemari. Kamu juga tidak tahu kalau kamu dibuat mengantuk. Tenangkan hatimu, Farah, Ibu akan membelamu. Bapakmu nggak akan sanggup memarahimu,” gumam Sang Ratu perlahan. Ia menatap ke seliling dinding-dinding kamarnya. “Guru...,” panggil Fatin dengan lembut. Lama tiada jawaban. “Guru, aku mohon..., beri aku sedikit waktu lagi. Aku tidak yakin untuk menuntaskan semuanya hari ini,” pinta Sang Ratu lagi. Tetap tiada jawaban. Sang Ratu tidak menyerah. Ia mengambil posisi berlutut dan mengatupkan tedua telapak tangannya. “Guru..., maafkan kegagalanku. Bukankah Guru sendiri yang berpesan agar Shania tidak boleh dikasari, apalagi sampai terluka? Aku memagang erat pesan Guru.Tetap dia memang tidak mau mendengarkanku. Tapi Guru..., dia baik-baik saja. Aku bisa pastikan hal itu,” kata Sang Ratu lagi. Tetap hening. Tiada sahutan. Sang Ratu tercenung. “Guru..., aku mohon. Aku sudah cukup lama berada di sini. Dan selama di sini, aku sudah berusaha keras, untuk dapat melakukan setiap perintah Guru dengan baik. Mohon maafkan aku jika masih ada pelayananku yang dirasa kurang. Tetapi Guru, sejauh ini penduduk Desa Watu Dasa sudah cukup tahu diri, mereka tidak membuat keramaian di senja hari. Mereka sudah dapat menahan diri dengan berbagai kejadian yang membuat mereka trauma dan ketakutan. Secara tak langsung, merkea sudah mengakui kedaulatan Kerajaan kita ini, Guru,” Sang Ratu menjeda sesaat kalimatnya. Ia mengembuskan napas perlahan sebelum melanjutkannya. “Karenanya, aku sungguh mohon kebijaksanaan Guru. Aku ingin kembali ke pelukan satu-satunya Lelaki yang aku cintai. Seseroang yang segera merebut hatiku dan menarik perhatianku ketika aku melihatnya menyapa dengan ramah aku dan beberapa temanku ysnag sama-sama tengah memetik teh. Dia begitu baik, begitu memesona. Dan sejak pertama kali melihatnya saja, aku sudah yakin aku bakal merebut hatinya. Aku tidak peduli dia sudah berkeluarga. Apa salahnya Seorang Laki-laki memiliki Istri lain?” sambung Sang Ratu, yang segera terkenang akan masa mudanya. Masa di mana dia bergerak cepat, mendekati Pak Handara muda, memikatnya dengan pesona fisik yang dia miliki, merancangkan sesuatu hal untuk dapat dinikahi oleh Lelaki itu. Saat itu, dia memang sudah lelah hidup berkekurangan dan bekerja keras. Ia juga tak mau didekati oleh Sang Mandor. Buatnya, kelas Mandor perkebunan bukanlah levelnya. Dendamnya kepada Sanak Saudara yang bagai membuangnya, membuatnya menetapkan standard yang tinggi untuk Seseorang yang akan dijadikannya Pasangan hidup, agar dapat ‘menampar’ ketidakpedulian mereka. Dan ia sungguh beruntung karena mempunyai faktor kenekadan serta penampilan fisik yang elok. Alhasil, dalam waktu cepat dia sudah dapat menarik Pak Handara muda yang tengah jauh dari Istrinya, ke mess tempatnya berada. Di sanalah mereka melakukan perbuatan terlarang itu.   Bila untuk Wanita lain merasa menyesal dan seperti kehilangan masa depan usai melakukan hal itu, Sang Ratu justru sebaliknya. Dia merasa amat bahagia, karena merasa telah menyerahkan kehormatannya untuk Lelaki yang merebut hatinya pada pandangan pertama. Dia bahkan bagai menemukan senjata andalan untuk dapat merebut pula hati Lelaki Idamannya itu. Cukup sebentar berpikir, ide bgus hinggap di kepalanya. Dia langsung menangis meraung-raung, minta untuk dinikahi secara adat di depan para Teman yang sama-sama Pemetik teh serta Sang Mandor yang terbengong, sebelum Pak Handara muda empat mengelak dari tanggung jawab. Dan dia tak berhenti sampai di situ, setelahnya, dia ‘mengikat’ Pak Handara muda, menuntut agar rutin dikunjungi, diberikan nafkah lahir serta batin, sebagaimana layaknya Seorang Istri sah. Dia tidak lagi bekerja di perkebunan. Hidupnya berkelimpahan. Dia bahkan tak mau mengenal Sanak Saudaranya. Dia menatap sinis Mantan Mandor perkebunan yang menaruh hati padanya. Dia bahkan mempunyai sejumlah pekerja di rumah yang dibelikan oleh Pak Handara muda. Sang Ratu tersenyum mengenang ‘kemenangannya’ yang gilang gemilang itu. Aku hebat, kan? Bahkan sampai aku bisa masuk ke rumah mereka. Lalu kali ini, aku sangat yakin, aku akan dapat meraih cintanya si Handara itu. Aku akan dapat menyingkirkan Perempuan bernama Endah itu. Setelah ini, dia tidak akan punya siapa-siapa lagi. Biar dia rasakan apa yang selama ini aku rasakan. Perempuan itu tidak akan dapat memberinya keturunan lagi. Fabian akan terkurung buat selamanya di sini, bersama dengan Istrinya. Sementara aku, aku sudah memberinya sepasang Anak Perempuan. Aku akan merebut lagi hati Kedua Anakku dan aku yakin aku dapat melakukannya dengan baik, bisik hati Sang Ratu. Kembali Sang Ratu berusaha untuk bernegosiasi dengan Sang Guru.  “Guru.., aku sangat berterima kasih atas semua yang telah Guru berikan kepadaku. Dan dengan perjanjian kita, Guru, aku juga sudah mendapatkan pemulihan kondisi kesehatan yang ajaib. Aku bahkan merasa masih semuda dulu, seperti pertama kali aku sampai di sini. Aku akan dapat memberikan si Handara itu setidaknya sepasang Anak Laki-laki lagi. Anak Laki-laki yang akan dapat melanjutkan garis keturunannya. Anak Laki-laki yang akan membuatnya bangga. Sungguh tidak mungkin ia akan tetap bertahan di sisi Perempuan yang tak mungkin memberinya Anak lagi,” ucap Sang Ratu. “Guru..., aku mohon bicaralah..,” pinta Sang Ratu lagi. Masih saja senyap. Ia kembali berusaha. “Guru, karenanya aku mohon, beri aku sedikit keringanan, Guru. Beri aku sedikit waktu. Aku sudah berusaha, Guru, bahkan pada saat awal si Menantu dari Handara itu tiba di sini, aku sudah berusaha menariknya. Tapi Fabian berengsek itu yang menggagalkannya. Dan juga, tidak mudah untuk mempengaruhi Farah. Bahkan hubungan batin antara aku sama dia juga sudah terputus lama. Anak itu masih ragu dan takut. Dia masih amat muda. Dia juga tumbuh dengan kekurangan kasih sayang seorang Ibu. Mohon maafkan dia juga, Guru,” pinta Sang Ratu sungguh-sungguh. Sang Ratu masih menanti dengan sabar, walau belum ada tanda-tanda permintaannya bakal dipenuhi oleh Sosok yang amat dihormatinya itu. Sosok penting yang menolongnya di saat dia benar-benar putus pengharapan, menampungnya, mengobati kendala kesehatannya, mendidiknya, melatihnya dengan berbagai ilmu, memuliakan dirinya, lalu memberikannya satu hal yang tak pernah terbayangkan olehnya : Kekuasaan!                                                                                                                                              *  * ^   Lucy Liestiyo  ^  * *                 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD