CERMIS 2 : KEBUN BUNGA SANG FLORIST (7)

1446 Words
Episode  : Reaksi Kurang Bersahabat Dari Sang Sahabat  (2)   Windy terbungkam seketika. Mana dia tahu, kalau reaksi Yeslin akan seperti ini? Pakai mengeluarkan celetukan yang membuat merah telinganya, pula! Ya, di telinganya, seolah Yeslin berkata, “Bucin garis keras deh itu mah namanya!” Windy sempat gugup dan tersipu karenanya. Namun kemudian, dia segera menguasai dirinya. Pantang baginya terlihat grogi, apalagi untuk perkara menyangkut Cowok yang bernama Bagas ini. A big no, baginya. “Yeee... bolehnya kok sirik gitu ya?” ucap Windy sekenanya. Yeslin menggelengkan kepalanya dengan tegas. “Enggak lah! Jauh dari itu! Masa sirik sih? Kalau Sahabat gue senang, tentu gue senang. Kalau Sahabat gue sedih dan bete, uring-uringan sepanjang waktu, itu yang gue nggak suka,” jelas Yeslin. Windy senyum-senyum kecil dan menyahut, “Kirain, he he he!” Maksud hati Windy adalah untuk memancing tawa Yeslin. Namun sedari tadi, wajah Yeslin tetap saja masih serius. Dan ia ingat jelas, belum tersenyum, apalagi tertawa selama dirinya berkisah dengan semangat penuh tentang Si Pemilik Toko Bunga yang akan mengajaknya mengunjungi kebun miliknya. “Terus kenapa, itu muka masih disetel kencang terus?” usik Windy, ditunjuknya wajah Yeslin dan memutar-mutar jari telunjuknya di depan wajah Sang Sahabat. “Enggak, deh,” kata Yeslin. Menengarai ada yang disembunyikan oleh Yeslin, Windy mengguncang lengan Sang Sahabat. “Ngomong nggak! Ngapain sih, ke gue pakai sok enggak enak hati gitu!” pinta Windy. “Entar kalau gue terus terang ngomongnya, yang ada elo berpikir negative ke gue,” ucap Yeslin datar. “Jadi ya sudah. Elo cerita aja. Bagiannya gue cuma mendengar. Gue enggak usah komentar deh,” imbuh Yeslin. “Yeee! Reseh banget dia! Sejak kapan elo jadi Sahabat yang nggak bertanggung jawab macam itu? Nyebelin. Ngomong dong, apa yang ada di pikiran elo?” kata Windy lagi. Yeslin mengangkat bahu, lalu mencomot tempe goreng dan mencocolnya juga dengan sambal terasi. Lantaran terlalu banyak mencocol sambal terasi itu, dia kepedasan dan terpaksa meraih gelas minumnya. Segera diteguknya gelas berisi air mineral tersebut. “Heh! Ngomong! Gue suruh bayar nih, makanannya! Gue hitung dari sekarang ya! Semua yang elo makan itu seharga satu bulan gaji elo,” cetus Windy. Yeslin hampir tersedak mendengarnya. Untung saja ia cepat menenangkan dirinya. “Gile lo ye! Hampir gue keselek. Hampir juga gue sembur elo pakai air minum!” tegur Yeslin setelah ia mampu menguasai keadaannya. “Nyembur? Elo pikir Naga kali, pakai nyembur segala,” goda Windy. “Bukan naga, tapi Dukun,” ralat Yeslin seenak perutnya. “Apa sih! pakai nyebut Dukun segala. Nggak banget tuh!” tegur Windy tak senang. “Justru itu! Ada hubungannya. Gini lho Nek, elo nggak curiga, apa, bahwa jangan-jangan elo itu dipelet sama si Bagas – Bagas itu? Kan, biasanya elo itu sukanya ama Para Cowok traveller gitu, yang menekuni hobby melanglang buana dan cerita-ceritanya bikin elo terkagum? Nah, si Bagas-Bagas ini, kayaknya bukan type begitu, kan?” korek Yeslin, mengingat-ingat gambaran Bagas sesuai yang dikisahkan Windy padanya selama ini. Kalimat Yeslin membuat Windy terkaget luar biasa. “Gila lo, Nek! Jangan nakut-nakutin gue begini dong! Dipelet apaan, sih!” pekik Windy. Yeslin mengembuskan napas dan menatap Sang Sahabat secara intens. “Ya sudah, makanya dari tadi gue sudah bilang, elo bagian dengar. Fair, kan?” kata Yeslin. Datar. Menyaingi ppapan seluncur datarnya. Pun dengan ekspesi wajahnya. Windy membujuknya. “Oke, oke. Lanjut, Nek. Lanjutin itu omongannya. Kenapa elo bisa berpikir begitu sih? kasih tahu gue coba,” suruh Windy. Seolah hendak melakukan sesuatu hal yang berat, Yeslin menghela napas panjang terlebih dahulu sebelum berkata-kata kembali. “Ya habisnya, kayaknya elo pas baru ketemu sekali langsung cerita ke gue kan? Kesannya elo kesengsem berat gitu. Bukannya apa, Nek, dari apa yang elo bilang ke gue, Si Bagas - Bagas ini kan, sudah rada tuwir, tiga puluh enam tahun gitu kalau nggak salah ya? Aneh nggak sih, kalau dia, dalam kondisi sesukses itu, belum menikah? Agak gimana gitu kan? Rasanya, bidang usahanya dia juga memungkinkan dia buat sering ketemu sama para Cewek cakep dri berbagai kalangan. Ya atau, menaruh hati ke Salah satu pegawainya, lah. Masa iya nggak ada yang cakep? Atau jangan-jangan..., dia itu punya orientasi berbeda, S – 3 gitu, gitu, suka sama sejenis?” cetus Yeslin. Windy mengerucutkan bibirnya. “Ih, jahat banget deh elo Nek! Analisanya elo kebangetan ah! Serius nih, dari yang gue lihat, gue rasakan dan gue amati, dia itu nggak ada tanda-tanda begitu, deh. Karyawannya juga sopan semua sama dia, kok.  Ada alasan lain pastinya,” bela Windy. “Apa?” tanya Yeslin. “Jadi gini lho, Nenek! Dia pernah bilang ke gue, dia itu telat menikah karena fokus sama usaha peninggalan dari Mendiang Ibunya. Ya toko bunga ini. tepatnya semenjak Ibunya sakit. Dia juga cerita, Mendiang Ibunya itu, sakitnya lumayan lama, sebelum akhirnya meninggal dunia. Jadinya, ya gitu deh..., sampai sekarang dia masih sendiri..., tapi...,” Windy menggantung kalimatnya. “Tapi apa?” selidik Yeslin di antara kunyahannya. “Gue sempat dengar pembicaraan dua Orang Pegawainya sih..,” kembali Windy menggantung kalimatnya. Yeslin tidak mengejar kelanjutannya kali ini. Dimanfaatkannya jeda ini untuk meneguk minuman. Akibatnya, justru Windy yang terdorong untuk menuntaskan kalimatnya. “Engg., kayaknya... Nek..,  dia itu kurang beruntung, kalau soal asmara,” imbuh Windy. Kali ini Yeslin hampir tersedak mendengarnya. Dia terbatuk hingga dua kali. Terdengar seperti disengaja, padahal tidak. “Reseh, ih! Kenapa lagi? Di sebelah mana aneh atau lucunya sampai bikin elo batuk-batuk heboh begitu?” tegur Windy tak senang. Yeslin tidak segera menjawab. Dituntaskannya urusannya meredakan batuknya, baru kemudian dia nyeletuk, “Keselek beneran, tahu! Tapi nih ya...Woow..., woow.. woow.., untung mau selesai nih makannya. Kayaknya sebentar lagi gue mau beralih jadi penulis fiksi aja ah. Lebih seru. Enggak pakai panas-panasan atau kena debu di jalan. Enggak pakai  pusing nyiapin daftar pertanyaan. Enggak pakai bete kalau mendengar jawaban ‘no comment’ dari nara sumber gue. Cukup buat duduk manis, dengarin cerita elo aja, terus gue ubah-ubah dikit, gue ganti namanya. Jadi duit deh.” “Sial! Lo pikir apaan coba?” caci Windy gemas. Yeslin mengedik santai saja, lantas segera menyelesaikan makannya dan mengangkat piringnya yang telah tandas. “Kasih gue waktu buat cuci tangan dulu ya. Nanti baru kita lanjut lagi. Elo nggak mau minum jus atau apa, gitu? Biar dibuatin sama Mbok Jumi,” Yeslin menawari Sahabatnya. “Halah! Pakai basa-basi nawarin segala! Ini kan sudah kayak rumah gue sendiri. Gue biasa ambil minum sendiri, suka-suka gue. Kalau lapar juga langsung ke meja makan. Enggak usah sok nawarin begitu, deh. Entar yang ada, malahan hujan gede dan banjir, bahaya, tahu! Jakarta bisa kelelep. Repot kita,” ejek Windy. Yeslin mencibir sebelum mengolok Sang Sahabat, “Rumah sendiri? Enak aja lo! Entar elo jual lagi. Mau tinggal di mana, gue, Bokap gue, Nyokap, Adik gue, dan nggak ketinggalan, Mbok Jumi juga?” “Reseh deh lo, beneran gue jual baru tahu rasa!” Windy meleletkan lidahnya. Yeslin tidak mengacuhkannya. “Tunggu sebentar ya Nek,” kata Yeslin kemudian. Bergegas, Yeslin mencuci tangan dan membersihkan mulutnya. Dia kembali ke area meja makan dengan tampang disetel super tengil, lebih tengil dibandingkan ekspresi tengil atlet badminton spesialis sektor ganda yang menjadi idolanya. Hati Windy tergelitik jadinya. “Ngapain, tuh tampang? Nyebelin banget. Nggak cocok, tahu!” kritik Windy yang terusik. Yeslin terkekeh. “He he he..., lanjut yang tadi gih! Gue masih terkagum-kagum judulnya,” kata Yeslin. “Terkagum apaan? Reseh banget ih!” balas Windy sewot. Yeslin kembali tertawa. “Ih, gila, ngakak yang gede. Aroma ikan asinnya parah, tahu! Bukannya sikat gigi dulu,” cerca Windy. “Nah ini, ciri-ciri Orang yang kurang baca. Di mana-mana, sikat gigi itu bagusnya minimal lima belas menit setelah makan. Karenanya percuma kalau setelah makan langsung sikap gigi, itu zat gulanya nanti naik lagi. Yang ada gigi bolong. Lagi pula, aroma ikan asin tuh satu tingkat lebih tinggi kegunaannya dibandingkan aroma theraphy, tahu! Sfatnya menenangkan perasaan. Memberikan damai sampai ke lubuk hati yang terdalam,” urai Yeslin diiringi gestur yang berlebihan, memejamkan mata, tersenyum dan meletakkan kedua telapak tangannya ke dadanya. “Ngawur! Teori dari mana itu?” ejek Windy. “Ya teori dari Yeslin dong. Nggak dengar apa, barusan? Jelas-jelas diucapkan sama seorang Yeslin gitu!” olok Yeslin santai. Windy merengut menahan rasa sebalnya. “Sialan. Ngomong sama jurnalis memang nggak ada menangnya deh. Itu nara sumber elo apa nggak sebal kalau elo mencecar mereka sama pertanyaan elo, atau saat mereka iseng tanya balik ke elo, elo pasang gaya ngeles bajaj?” kata Windy. “Kenapa jadi ngomongin gue, ya? Mau dilanjutin nggak nih?” goda Yeslin sambil memainkan matanya. “Dasar! Cepetan dong, Nek! Elo mau ngomong apa sih tadi?” kejar Windy tak sabar. $ $ Lucy Liestiyo $ $
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD