Episode : Reaksi Kurang Bersahabat Dari Sang Sahabat (3)
“Oke, oke. Langsung deh ya, biar nggak muter-muter lagi. Cuma bikin capek kalau ngomongnya pakai belibet. Sudah begitu, sia-sia dong nanti kalori yang gue makan, terbuang percuma deh judulnya,” tukas Yeslin.
Windy menunjuk hidung Yeslin.
“Nah, itu elo pintar. Just do it! Ngomong yang jelas dan langsung ke intinya Nek!” timpal Windy.
Yeslin menautkan jari telunjuknya ke ibu jari, sebagai ganti pernyataan ‘oke’.
“Maksud gue tadi, kok tumben banget, kali ini Cowok yang elo taksir, umurnya tuh sampai beda jauh begitu sama elo. Sementara biasanya, kalau dapat Pacar yang beda enam tahun aja elo udah minder. Elo bete kalau dikomentari Orang lagi pacarin sama Om - Om. Elo sampai uring-uringan kalau diledekin nggak bisa cari yang sepantaran. Terus yang satu ini...? Wuakakaka..., sepuluh tahun, Nek! Artinya, pada saat elo baru oek oek oek menyapa dunia dan seisinya, eh dia sudah sekolah, kelas empat pula. Rajin ya dia,” ujar Yeslin usil.
Wajah Windy terasa memanas seketika.
Bicara dengan Yeslin yang telah amat mengenalnya memang susah-susah mudah. Dia bakal dibuat sering kehabisan kata-kata begini. Tapi bagaimanapun, memang dia memerlukan pendapat Seorang Yeslin. Dan selama ini setiap kali hendak menceritakan tentang apa pun juga, ya pekerjaan, ya perselisihannya dengan Sang Mama, atau masalah percintaan, selalu saja Seorang Yeslin Priyandhini menempati urutan pertama di daftar prioritasnya.
“Yeee..., tapi kan itu nggak masalah dong, Nek? Lagian, elo belum lihat langsung Orangnya, sih. Tampangnya dia nggak setua itu, kok. Dia malahan masih seperti Cowok yang belum tiga puluhan. Awet muda, dia. Terus gaya berpakaiannya yang selalu kasual itu juga menambah kesan mudanya,” kata Windy.
Hampir saja Yeslin mau berkata, “Ciye... Ciye...! Bela terus deh! Sudah cinta mati itu!”
Untung saja dia sedang tak ingin membuat Sahabatnya satu ini kesal.
“He eh, percaya kok apa yang dikatakan Windy,” sambar Yeslin dengan senyum kocaknya.
Ah, sejatinya dia tahu lah, di mata seseorang yang sedang jatuh cinta, semua juga terlihat indah dan sempurna, tanpa cacat barang sedikit jua. Menurutnya, masih cukup bagus Windy ini mau berkisah padanya dan meminta pendapatnya. Ya meski, dia sendiri tidak terlampau yakin pendapatnya bakal dijadikan sebagai acuan untuk bertindak. Tahu lah dia, seseorang yang sedang terobsesi akan sesuatu atau seseorang kan, biasanya hanya mencari pembenaran saja, bukan meminta opini dalam arti sesungguhnya.
Gue ini wartawan, gitu, lho! Sudah sering ketemu macam-macam nara sumber yang kisahnya berbeda, sikapnya bervariasi, gayanya saat diwawancari juga berlainan. Ha ha ha! Kata Yeslin dalam hati.
“Elo kalau ngeledek melulu, gue enggak akan mau ceritain apa-apa lagi ke elo,” ancam Windy. Ia memasang ekspresi serius di raut wajahnya.
“Heeee..., jangan, dong! Elo anggap gue apa, kalau begitu?” timpal Yeslin cepat. Nada bicaranya sungguh persuasif.
“Makanya, mau gue lanjutin nggak nih, ceritanya? Yang soal para Pegawainya ngomongin tentang Bagas? Mereka tuh sepertinya nggak ngeh, bahwa gue ada di sekitar situ dan mendengar obrolan mereka,” tutur Windy.
“Cerita gih! Cerita sekarang juga!” suruh Yeslin.
Windy tak segera berkisah. Ia menyempatkan menuangkan isi teko ke gelas kosong di depannya, lalu meneguknya. Sepertinya, dia akan berkisah sesuatu yang panjang jadi perlu membasahi kerongkongannya lebih dahulu. Ya, perihal kunjungannya kemarin lusa, ke toko bunga All Ocassion milik Bagas.
Saat itu, Windy sedang mengamati bunga mawar beraneka warna yang tengah dirangkai dengan terampil oleh salah Satu Pegawai Bagas.
Bagas yang melihat kedatangan Windy ke tokonya, segera memberikan isyarat kepada gadis itu untuk menunggu saja di ruangan kerjanya, sementara dia menyelesaikan dulu pembicaraan melalui sambungan telepon, entah dengan siapa.
Dan tatkala melihat Bagas berjalan menjauh darinya, Windy hanya mengacungkan jempol saja. Dia tidak menunggu di ruang kerja Bagas, tetapi memilih berkeliling ke seisi toko bunga itu.
...
Saat itu lah, telinga Windy mendengar suara bisik-bisik di belakangnya.
“Mbak Reyn, kelihatannya sebentar lagi Pak Bagas bakal melabuhkan hatinya ya,” ucap sebuah suara.
“Eh, kamu kok bisa ngomong begitu? Kamu merasakannya juga Mbak Sri? Maksud kamu ya sama Si Mbak Windy itu, kan?” sahut Suara lainnya.
“He eh, siapa lagi habisnya?” sahut Suara yang pertama.
“Oh, kalau yang dimaksud Si Mbak Windy itu, kayaknya malah sudah, deh,” timpal suara yang lainnya lagi. Suara yang berbeda dari suara yang pertama maupun yang kedua.
“Eh! Dengar juga dia! Sini, sini, ayo ikut ngobrol sama kita!” kata si Pemilik suara yang pertama, yang dipanggil ‘Mbak Sri’.
“Nggak bisa. Aku lagi ada kerjaan. Aku tinggal tinggal dulu. Kalian lanjutkan saja ngobrolnya,” kata Pemilik suara yang ketiga itu.
“Ah..., dia mah... ada kerjaan melulu. Padahal...,” kata Si Pemilik Suara kedua.
Sang Pemilik Suara yang Pertama menyenggol lengan Lawan Bicaranya, memberikan isyarat agar tidak mengganggu atau mencegah kepergian dari si Pemilik Suara yang ketiga.
“Wah, terkonfirmasi tuh Mbak Reyn. Kalau begitu, kita tinggal tunggu kabar bahagianya saja deh. Kita ikut bahagia kalau Bos kita bahagia, ya kan?” kata Suara yang pertama.
Suara yang kedua, yang dipanggil ‘Mbak Reyn’ tadi, menyahut, “Betul banget itu. Kalau memang Pak Bagas sama Mbak Windy sudah jadian, kita jelas ikut senang, dong. Bisa menambah semangat kerjanya Pak Bagas, dan bisa membuat mood Pak Bagas makin bagus setiao harinya. Kalau menurutku, Mbak Windy itu kelihatannya juga Orangnya baik. Dia ramah, cocok sama Bos-nya kita.”
Mendengar namanya disebut-sebut, Windy segera menajamkan telinganya. Ia sangat ingin mendengar lebih jelas lagi dan memastikan, dialah Windy yang disebut oleh dua Orang di belakangnya itu, yang hanya berbatas dengan sebuah lemari display.
“Iya, kalau diingat-ingat, semenjak putus hubungan sama Mbak Rahma Oentoro, kan, belum kita lihat Pak Bagas pacaran sama siapa-siapa lagi. Ya, kan, Mbak Reyn?” terdengar lagi sebuah suara.
“Benar itu, Mbak Sri. Padahal kalau dipikir-pikir, apa salahnya pak Bagas? Dia baik begitu. Sama kita yang cuma Pegawainya saja sikapnya baik. Dia nggak mentang-mentang, enggak pernah genit, nggak pernah kurang ajar. Tapi sayangnya, selalu deh, dia itu ditinggalkan sama Pacarnya. Kalau enggak karena menikah dengan Cowok lain, eeh..., gara-gara Pacarnya itu memilih karirnya, mau ditempatkan di luar negeri,” sahut Suara lainnya.
“Begitu, ya? Dulu, jujur saja aku sempat berpikir sih, jangan-jangan, Pak Bagas itu posesif dan cemburuan begitu, ke Pacarnya. Tapi pernah dengar juga, hubungannya sama Pacarnya yang mana gitu, nggak mendapatkan restu dari Mendiang Ibunya Pak Bagas. Dan sebaliknya, juga nggak disetujui sama keluarganya Cewek itu. Jadi ya sama-sama mendapatkan kendala dari kedua belah pihak. Kasihan, ya, kenapa mereka berdua nggak nekad aja kalau memang saling mencintai? Bukannya Orang tua bakal luluh pada akhirnya?” Ucapan penuh nada sesal ini terucap dari Orang yang dipanggil ‘Mbak Sri’.
“Hush! Ngawur itu pemikiran kamu. Aku rasa sih nggak mungkin Pak Bagas sampai bertindak begitu. Kita tahu sendiri, bagaimana patuh dan sayangnya Pak Bagas sama Mendiang Ibunya. Pegawai Pak Bagas yang sudah lama bekerja sama dia tahu banget, Pak Bagas itu hormat banget sama Mendiang Ibunya. Makanya, saat Mendiang Ibunya meninggal, dia nggak mau lama-lama terpuruk dalam kesedihan. Dia berjuang keras buat membanggakan Mendiang Ibunya. Ya caranya, dengan bikin gede toko bunga ini. Tuh, sampai kebeli lahan di Puncak, pula! Guedeee banget, lho, lahannya! Terus, dia juga buka toko bunga di Bogor. Kerja gila-gilaan, dia,” komentar Suara yang satunya lagi.
Windy tertegun mendengar percakapan tersebut.
Semakin banyak mendengar tentang bagas, semakin salut saja dia pada Sosok Bagas. Sudah baik hati, romantis, rendah hati, ternyata juga amat menghormati ibunya.
Lagi-lagi Windy digoda sebuah pemikiran yang juga pernah melintas saat perjumpaan pertamanya dengan Bagas dulu.
Ya, ya, banyak yang bilang lho, Pria yang menghormati Sosok Ibunya, ke depannya akan mengapresiasi pula Pasangan hidupnya dan berusaha membahagiakan Pasangannya? Bukannya itu bagus? Bisik hati Windy. Dengan sadar Gadis ini menaburkan harapan di hatinya sendiri.
Aaah.., mendadak angannya melayang. Dia jadi berharap cemas, kapan saatnya Bagas mengungkapkan perasaan kepadanya, sedangkan dirinya sendiri rasanya sudah membuka hati pada Cowok itu. Dan pada saatnya nanti Bagas mengungkapkan perasaan kepadanya, dia yakin sejuta persen akan langsung menerimanya.
...
Windy mengakhiri kisah singkatnya tentang ‘pengintaian’ tak sengajanya di toko bunga milik Sang Gebetan, Bagas.
“Ya jadi gitu Nek, ceritanya. Cukup jelas, kan? Nggak mungkin, dong kalau dia sampai suruh Pegawainya setengah berbisik dan lebih mirip bergosip ria begitu, supaya bisa cerita yang bagus-bagus soal dia? Secara, dia juga nggak tahu gue bakal di mana dan kapan. Malahan kalau dia tahu lagi diomongin sama Pegawainya di belakang dia, bisa jadi dia juga enggak suka,” bela Windy.
Yeslin hanya manggut-manggut, tidak mengatakan apa-apa.
Sebetulnya Windy agak kecewa dengan reaksi Yeslin yang adem ayem itu.
Dan di detik ini pula, dia mulai ragu bahwa dirinya akan mendapatkan dukungan dari Yeslin.
Windy memperkirakan, kemungkinannya kecil sekali. Mungkin nol koma nol nol sekian persen.
Padahal, jauh di lubuk hatinya, dia masih ingin berkisah lebih banyak tentang Bagas. Tepatnya, tentang betapa dalam perasaan yang dimilikinya terhadapat Cowok berusia matang yang satu ini. Cowok yang tengah membuat dirinya jatuh cinta pada pandangan pertama.
Nek, ada satu hal yang elo perlu tahu. Gue merasa nyaman, kalau berada di dekat dia. Tapi kalau gue langsung bilang sekarang juga, gue yakin nggak akan mendapatkan komentar yang bagus dari elo. Pasti elo bakal kasih berbagai peringatan, kan? Ah, elo kan lebih cerewet dari Nyokap gue. Ya, meskipun, saran yang elo kasih ke gue selama ini banyak yang benar juga sih, batin Windy, kala ia terkenang pada salah satu Mantan Kekasihnya, yang mengkhianati dirinya dan berselingkuh dengan Seseorang yang telah beberapa kali menjadi Teman Seperjalanan Sang Mantan.
Di ujung hubungan percintaannya dengan Derry, Sang Mantan yang ternyata sudah berpacaran dengan Susiana itu, Windy bahkan mendapatkan fakta yang sungguh menyakitkan bagi dirinya.
Ya. Sejujurnya gue masih suka sedih kalau ingat soal itu. Jelas-jelas dari awal elo sudah bilangin supaya gue jangan terlalu berharap sama si Derry. Tapi gue malahan bandel, mati-matian ngebantah dan berpikir bahwa elo hanya negative thinking sama Derry. Belakangan toh ketahuan, Derry itu ternyata pacarannya sama travel mate-nya, si Susiana, sudah begitu jauh. Dan gue enggak heran, kalau keduanya pasti sudah sering tidur bareng. Secara, jalan-jalan berduaan buat jangka waktu lama. Huh! Nggak mungkin kan kalau mau-maunya pisah kamar? Kata Windy dalam hati, sembari mengusir bayangan wajah Sang Mantan yang tiba-tiba mengusik perasaannya.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $