Episode : Reaksi Kurang Bersahabat Dari Sang Sahabat (1)
Yeslin menelengkan kepalanya. Matanya dibuat menyipit.
Seolah dengan ia membuat gerakan macam itu, apa yang didengarnya bakalan berubah.
“Beneran tuh? Iya, Nek?” tanya Yeslin penasaran, di antara gerakan tangannya mencocol sambal terasi dengan kerupuk di tangannya. Sang Jurnalis satu ini memang selalu seperti itu. Makan apa saja, tampaknya selalu nikmat dan mengundang selera bagi yang melihatnya. Tidak peduli dirinya tengah menyantap makanan di restaurant super mewah atau di pinggiran jalan. Tak peduli dirinya tengah menikmati menu termahal, atau sekadar nasi panas yang ditemani oleh sayur asem serta ikan asin ala warteg begini.
Kalau Windy yang notabene Orang kantoran itu bertanya kepadanya, mengapa semua makanan dan kapan pun dimakannya senantiasa enak bagi Yeslin, jawaban dari Sang Jurnalis itu sederhana, tapi dengan uraian panjang yang membuat kepala Windy terasa berdenyut.
Tengok saja jawabannya!
...
“Mau tahu kenapa? Gini Nek, elo sekali-kali cobain deh, jadi wartawan. Enggak bakalan elo bisa bertingkah sok princess, terus milih-milih harus makan di tempat yang proper.” Nah, itu baru awalan saja.
“Maksudnya?” pancing Windy pula.
“Ya jelas, gue kan nggak bisa milih-milih, mau ngeliput kemana. Itu suka-suka Bos gue, gue ditugasin ke mana sama dia. Bisa ke lokasi banjir, nggak jarang ke peresmian mal mewah atau pembukaan pameran. Hari ini bisa saja disuruh meliput kegiatan inspiratif Anak muda di bantaran kali, hari lainnya nggak mustahil gue ada di dekat lokasi demo. Lusanya bisa juga gue dikirim ke Acara Bazaar Sekolah Anak berkebutuhan khusus. Malah pernah, gue harus ngeliput berita di tempat lokasisasi. Nah, dengan kondisi begitu, ya, kali, gue masih bisa, gitu, buat milih-milih menu makanan dan tempat makan? Yang ada bisa bolong maag gue, deh. Orang kadang-kadang, bisa nemu warteg yang nggak terlalu jauh dari lokasi wawancara aja, itu juga sudah bagus banget.”
Panjang dan rinci, kan?
Nah, jelas sudah alasan mendasar dari Yeslin yang senantiasa menikmati makanan dengan bias rasa syukur di wajahnya. Oleh karenanya, Windy auto terbungkam, tidak bertanya lebih lanjut lagi.
...
“Beneran dong,” sahut Windy sambil mengangkat-angkat kedua alisnya, menggoda Sang Sahabat.
Yeslin malahan menanggapi ucapan Windy dengan gerakan mengerutkan kening, yang sengaja diperlihatkannya seara terang-terangan di depan Sang Sahabat.
Windy mencebik.
“Apa sih lo Nek! Nggak pakai begitu juga, kali! Sok mikir dan sok terheran,” protes Windy.
“Ah, gila lo! Ini mah bukan sok mikir atau sok terheran. Tapi asli, beneran gue shock dengarnya. Serius tuh, elo mau diajak, ke kebun Si Siapa itu, namanya yang punya toko bunga? Si Bagas - Bagas itu? Nek! Think about it first, lah! Think twice! Elo nggak takut, apa? Baru kenal gitu, juga!” ucap Yeslin dengan nada kalimat yang sarat keluhan.
Windy tak suka dengan komentar Yeslin yang terlampau jujur itu. Namun karena dia sudah telanjur berkisah dengan ekspresif dan menunjukkan rasa girangnya saat menyebut akan pergi ke kebun Bagas, dia merasa perlu dukungan Sang Sahabat. Sudah kepalang tanggung, menurutnya.
“Yeslin, Bagas itu orangnya baik, tahu nggak?” kata Windy, lalu melirik keji pada kaki Yeslin yang dinaikkan ke kursi.
Katanya kemudian, “Elo kan, makan di rumah, nggak harus gaya warteg juga dong, Nek!”
Yeslin tak terpengaruh. Jangankan menurunkan sebelah kakinya dari atas kursi yang dia duduki, sekadar memperbaiki sikap duduknya juga tidak.
Windy tergerak untuk menyentil paha Yeslin. Dia merasa gemas.
“Turunin nggak itu kaki sekarang juga!” kata Windy.
“Nggak!” sahut Yeslin, lalu meleletkan lidahnya yang berwarna merah lantaran terkena sambal.
“Itu sentilan elo pedas banget di kulit paha gue, kalah deh ini sambal!” kata Yeslin kemudian.
“Rasain! Habisnya, susah dibilangin sih! Nggak bagus tahu dilihatnya. Sakit, ini mata!” kata Windy.
“Ah, jangan reseh deh! Lagi nggak ada Nyokap ini. Jadinya nggak masalah buat tangkringin kaki ke kursi begini. Nikmat tahu, rasanya. Gila, ini, si Mbok Jumi, bikin sambalnya mantap surantap banget. Bahaya nih, bisa-bisa gue milih-milih, kalau makan di luar nanti, gara-gara kepincut sama sambal bikinan dia,” sahut Yeslin dengan santai.
“Ck! Ck! Ck!” Windy berdecak.
Yeslin tetap tak peduli.
Ia malah menggoda Sahabatnya itu. Usai menyuapkan nasi dengan suwiran ikan asin, dia sengaja mengunyah sambil memasang ekspresi merem-melek, lantas pakai mendesah bak orang kepedasan, pula. Seolah, dia menahan nikmat yang sangat.
Hiih jijayy! Mukanya kayak muka bintang film bokep kalau begitu! pikir Windy sebal.
Buru-buru ia memberikan ‘peringatan keras’ kepada Sahabatnya ini.
“Reseh lo Nek! Nggak perlu begitu juga, kali! Bikin program diet gue terancam batal. Udah, elo kelarin makan dulu aja. Gue nonton teve dulu, ya,” kata Windy.
Windy menyentil lengan Yeslin dan bersiap akan pergi dari meja makan.
“Ah! Elo berani pergi dari sini, bahkan bergeseer satu jengkel saja dari tempat duduk elo, gue makin lamain makannya. Mau nambah malahan, gue,” ancam Yeslin seenaknya.
Windy membelalakkan matanya.
“Gila! Serius tuh omongan? Mau nambah? Please deh! Ini udah malam, Nek. Nggak takut, apa, jadi gendut?” cela Windy.
Sungguh pertanyaan retorik. Sebab, sebanyak apa pun yang Sahabatnya itu makan, tampaknya dia tidak punya bakat untuk jadi gendut. Dari dulu, badan Yeslin tetap ‘segitu-segitu’ saja, tidak tergantung dengan banyaknya kalori yang masuk ke dalam tubuhnya. Mungkin sedikit dipengaruhi pula pekerjaannya yang banyak menuntutnya untuk bergerak lincah ke sana kemari, tingkat stress-nya dalam meliput berita, atau bisa juga berbagai penyebab yang lainnya.
Yang jelas, hal itu merupakan anugerah besar, bagi Seorang Yeslin. Maka dari itu, Yeslin tak menanggapi pertanyaan yang dilontarkan oleh Windy,. Pasalnya dia merasa memang tidak perlu untuk dijawab juga.
“Ya deh, gue tunggu di sini,” kata Windy akhirnya. Mengalah dia.
“Gitu dong!” sambut Yeslin.
“Nek, elo mau ikut nggak, ke kebunnya Bagas? Anggap elo temani gue. Biar gue enggak grogi, gitu, kalau cuma berduaan aja,” bujuk Windy penuh harap.
Alih-alih mengatakan, “Hal... louuu? Gue mau dijadiin tukang tepok nyamuk buat elo berdua? Tega banget!” Yeslin justru memasang ekspresi serius di wajahnya.
“Ogah, ah Nek! Enggak demen gue, sama yang berbau-bau kebun begitu. Malah menurut gue nih, mending elo pertimbangkan lagi, deh. Perlu nggak sih, elo pergi bareng dia? Barusan kenal gitu, Nek,” kata Yeslin pelan di antara kunyahan makanannya.
Bibir Windy yang sudah hampir menyuarakan isi hatinya, langsung terkatup.
Windy mengembuskan napas, seperti kurang suka dengan respons Yeslin. Ada bias kecewa yang mewarnai parasnya.
Ia masih berusaha untuk mengubah cara pandang Yeslin. Buatnya, pendapat Yeslin lumayan penting.
“Ya memang baru sih, kenalnya. Tapi kan, gue sudah beberapa kali ketemu sama dia. Pertama kali, pas di toko bunga dia. Terus, dua hari kemudian, gue ada perlu mau kirim bunga buat kerabat gue, gue datang lagi ke toko bunganya itu. Dan kita sempat ngobrol banyak lho, di dua pertemuan itu,” sanggah Windy tak kalah serius.
“Dan itu menurut elo cukup buat mengenalnya?” tanya Yeslin.
“Gue belum selesai ceritanya. Makanya dengar dulu sampai tuntas. Terus, dia langsung ngajakin gue makan malam. Dan kita ngobrol lagi. Malah besoknya, dia juga minta ijin mau jemput gue dari kantor, katanya. Cuma memang gue nggak bisa, karena pas ada meeeting di luar. Terus lusanya, gue sama dia janjian makan malam lagi. Tuh, beberapa kali, kan? Dan kemarin lusa, gue main lagi ke toko bunga dia,” lanjut Windy.
“Segitu doang, Nek? Dan menurut elo, itu sudah cukup buat memutuskan elo bakalan pergi ke kebun miliknya dia? Itu bukan tempat yang dekat, kan, pastinya?” tanya Yeslin.
Windy berdecak kesal.
“Ck! Nek! Dengar gue dong! Kalau ngelihat dari cara Pegawainya menyambut gue, kok gue punya feeling, sepertinya ... atau pastinya, dia itu sudah cerita sesuatu tentang diri gue, ke Pegawainya. Mereka kelihatannya baik banget, sih, ke gue. Mereka tuh kayak menaruh respek yang besar ke gue. Itu kan bukan sikap yang bisa dibuat-buat. Gue lihatin kok, mata mereka. Mata nggak bisa bohong dong,” tutur Windy dengan mata menerawang.
“Ih, gede rasa banget lho..., Sahabat gue yang satu ini!” timpal Yeslin ringan.
Windy mendengkus pertanda protes berat.
“Yee! Gede rasa di mananya, maksud elo Nek? Salah lo, mikir gue gede rasa! Nih ya! Gue kasih tahu satu hal lain lagi. Gue sempat dengar, kok, pembicaraan mereka, pas kemarin lusa. Eh, bukan, bukan! Kemarin, sih tepatnya,” koreksi Windy cepat, seolah hendak mengalahkan kecepatan suara.
Kalimat Windy terdengar amat jelas, tegas dan tentunya serius. Lebih-lebih dari sebuah pernyataan kosong belaka.
Akibatnya, Yeslin menggeleng-gelengkan kepalanya dengan super heboh.
“Astagaaaa! Kemarin lusa elo ke situ, habis itu..., kemarin juga elo datang lagi nyamperin itu Cowok. Demen banget ya, Nek!” olok Yeslin diiringi dengan gerakan mendecak yang sengaja ia buat sok dramatis.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $