Episode : Dilema Itu Bernama ‘Hubungan Rahasia’ (2)
“Win...,” ucap Bagas pendek.
Windy tidak segera menyahutinya. Ia malahan sengaja menunjukkan wajah cemberutnya kepada lelaki itu.
Bagas menyenggol lengan Windy perlahan.
“Hei..., kok kamu jadi merengut begitu sih?” kata Bagas lirih, bak berbisik, membuat Windy bagai mendapatkan amunisi untuk 'menyerang' balik, menyudutkan Cowok itu.
“Apa? Kamu kenapa belum menyinggung lagi soal rencana menunjukkan kebun bungamu yang di Puncak?” sahut Windy sewot.
Bagas terlihat menahan napas kala memejamkan matanya barang satu detik. Seperti menahan reaksi jengkel yang mengusiknya.
Windy agak kaget juga dengan reaksi yang ditunjukkan Bagas. Jauh di lubuk hatinya, dia cukup was-was juga.
Namun kemudian, ia mendengar sendiri Bagas berbicara dengan nada rendah, “Kamu itu merengut hanya karena kepengen diajak ke kebun bunga yang itu dan aku belum sempat memenuhi keinginanmu itu? Oh, boleh saja kok. Cuma, waktunya saja yang belum pas, Win.”
Windy tak puas dengan jawaban macam itu. Jawaban yang sebenarnya sudah cukup panjang. Ada rasa curiga yang menggodanya. Curiga yang berbalut phobia lantaran pernah dibohongi oleh kaum Lelaki. Dan sialnya, mendadak selintas bayangan Krismantoro Sang Event Organizer menjajah perasaan Windy.
Sial! Kenapa masih juga sih, kebayang sama dia. Itu kan sudah lumayan lama kejadiannya? Tapi kan nggak apa juga dong. Bisa jadi itu sifatnya sebagai alarm peringatan buat aku pribadi. Sebagai proteksi diri. Ya, hitung-hitung, supaya aku ini nggak mengalami hal serupa. Mumpung perasaanku ke Bagas belum terlalu dalam, kan? Biar kalaupun aku harus putus hubungan sama dia, rasa sakitnya tidak terlampau lama. Ah! Tapi, siapa jua yang mau kehilangan dia. Enggak. Aku nggak mau! Ada sebuah pertentangan yang terjadi di kepala Windy.
Pertentangan yang akhirnya membuat Windy menganggap bahwa Bagas hanya beralasan saja kepadanya. Baginya, ada sesuatu hal yang tengah disembunyikan rapat-rapat oleh Bagas darinya. Dan amat mungkin, sebenarnya Bagas ini sudah berkeluarga. Itu yang membersit dalam pikiran Windy sekarang. Dan kian menguat juga pengaruhnya, menyesaki pikirannya.
“Benar ini hanya masalah waktu yang belum cocok?” selidik Windy. Hatinya sungguh berdebar kala mengucapkan kalimat tanya ini. Ah! Betapa dia takut untuk mendengarkan jawaban Bagas, apabila sesuai dengan apa yang dia pikirkan barusan.
Bagas manggut kecil.
“Iya, benar begitu. Makanya kamu yang sabar, ya. Pada saatnya nanti pasti kamu akan aku ajak ke sana. Untuk sekarang-sekarang ini aku masih agak sibuk sama berbagai urusan di sini. Sementara operasional kebun bunga yang di sana juga bisa berjalan tanpa harus diawasi setiap hari. Ada yang mengurusnya dengan baik dan mereka dapat dipercaya,” jelas Bagas dengan nada datar.
Windy menyipitkan matanya.
“Bagas, aku nggak mempermasalahkan waktunya. Lagi pula juga kita..., eng..., belum terlalu lama kan, berkenalan dan akhirnya jadi dekat seperti ini. Tapi aku ini mau memastikan, itu alasan kamu yang sebetulnya. Bukannya dikarenakan ada sesuatu yang kamu sembunyikan dari aku,” kata Windy dengan memberikan jeda pada setiap katanya. Seakan-akan, dia tak mau ada satu saja dari kata-katanya yang tak tertangkap dengan baik dan akhirnya terlewat dari perhatian Bagas.
Bagas tersenyum samar.
“Kamu ada-ada saja deh Win. Kamu pikir, aku menyembunyikan apa memangnya?” Bagas malah balik bertanya setelahnya. Nadanya masih seringan semula.
Windy menatap lekat-lekat pada Bagas, seakan sedang menimba dan mengukur seberapa dalam kejujuran yang ada di sana. Di sepasang mata Bagas.
“Eng..., aku mau memastikan yang satu ini. Ini sangat penting buatku. Jadi bukan karena..., kamu sudah punya Istri dan Istrimu itu tinggal di sana, atau minimal dia sering berkunjung ke sana? Atau bahkan dia yang kamu serahi tugas untuk mengurus operasional kebun itu?” korek Windy dengan pertanyaaan yang beruntun.
Bagas langsung mengernyitkan keningnya.
“Kamu ngawur deh! Bisa-bisanya mikir sampai ke sana. Dan pertanyaanmu..., ya ampun! Macam Seorang Detektif saja,” tepis Bagas dengan jemu.
Namun bagi Windy, itu bukanlah jawaban. Minimal belum. Dia masih perlu suatu kepastian.
“Bener nggak, dugaanku? Soalnya aku nggak mau lho, menjadi Sosok yang dibohongi sama Lelaki beristri, dan di waktu yang sama nggak sengaja menjadi Seorang Perusak buat rumah tangga Orang. Aku serius, Bagas..., soalnya...,” ucapan Windy terhenti di sana.
Andai dirinya dapat menuruti kata hati, ingin benar Gadis itu melanjutkannya dengan kalimat berikut, “Perasaanku tentang kamu itu suka berubah-ubah. Jujur, dari awal kenal, dari pertemuan pertama kita. Bukan semenjak minggu lalu. Kadang aku merasa bahwa kamu baik dan aku bangga banget bisa bersamamu. Dan betapa aku ingin selalu bersama kamu, kalau bisa malahan selamanya. Sementara banyak saat lainnya..., selintas sering terpikir sama aku, kamu itu..., Ah! Aku takut buat mengungkapkannya. Aku takut pemikiranku yang buruk tentangmu itu bakalan menjadi bumerang buatkuke depannya nanti. Aku hanya..., sering merasa..., agak takut padamu. Tapi entah apa yang aku takutkan.”
Namun untung saja, akal sehatnya masih mengingatkannya untuk mengerem perkataannya. Gadis itu memilih diam.
Diamnya Windy sepertinya membuat Bagas tergugah dan berusaha untuk memberikan rasa tenang kepadanya.
“Windy, Windy! Kok bisa-bisanya kamu mikir sampai ke sana. Enggaklah. Yang jelas, aku ini belum pernah menikah. Pernah gagal waktu mau menikah, iya. Malahan lebih dari satu kali. Apakah jawaban ini cukup buat meyakinkanmu?” tanya Bagas pelan.
Perasaan Windy yang halus tersentuh sesaat. Selintas rasa iba dan peduli menyapanya.
Tetapi setelah itu dia malah spontan mengucapkan, “Habisnya..., kamu itu tadi gugup. Terus jawabnya ke aku juga lama. Pakai gelagepan pula. Bagaimana aku nggak curiga, coba?”
Bagas memperlihatkan wajah lelahnya.
“Win, aku nggak tahu harus menjawab apa. Terserah kamu saja deh. Terserah anggapanmu ke aku. Bukannya waktu ini teramat sayang kalau kita habiskan dengan berselisih paham yang nggak perlu macam itu?” sahut Bagas. Datar sekali. Malahan kalimat tanyanya juga diucapkan dengan amat lirih, bagai ditujukan kepada dirinya sendiri.
Windy merasakan ada ketersinggungan di sana. Diam-diam dia juga sepemahaman dengan Bagas, bahwa waktu kebersamaan mereka tidak semestinya diisi dengan percakapan tidak berkualitas macam itu. Windy juga sadar betapa naif dan kekanakannya rengekannya untuk diajak ke Puncak dan memakai embel-embel menyinggung status pernikahan Bagas segala. Seakan-akan dirinya adalah Gadis materialistis yang ingin segera mengukur dan menghitung seberapa banyak kekayaan yang dimiliki oleh Bagas saja. Windy tersenyum kecut jadinya.
Namun toh, ia telah telanjur melemparkan topik itu. Sangat tidak mungkin baginya untuk sesegera mungkin berubah haluan.
“Oke kalau begitu. Jadi aku tanya sekali lagi nih buat memastikan, benaran ya alasannya cuma sibuk? Bukan disebabkan kamu punya Istri, di sana?” tanya Windy, kini dengan memperlihatkan kemanjaannya.
Bagas yang telah terbiasa menghadapi Para Wanita, sepertinya menyadari perubahan sikap Windy tersebut. Tak heran, itu membuatnya langsung memperlunak sikapnya.
“Ih, kamu tuh, Win. Masih aja diterusin ngaconya! Enggak, lah. Kamu tanya saja ke semua Pegawaiku kalau nggak percaya. Ada beberapa kok, di antara mereka yang sudah kerja lama di tempatku,” kata Bagas. Tampak ringan, namun sesungguhnya masih menyimpan sedikit dongkol di hatinya. Pikirnya, ini Cewek baru juga dekat tapi sudah secerewet ini dan ada gelagat mau menjajah kehidupannya. Namun Bagas menyimpan sendiri pemikirannya.
Windy rupanya tersadar bahwa Bagas mungkin saja masih menyimpan rasa kesal dan tersinggung walau terkesan tak mau meributkannya Ia langsung melakukan introspeksi di dalam diamnya. Ia berpikir, apa yang ingin Ia ketahui toh ada benarnya, walau jalannya salah dan terelalu menyolok. Dan ia juga tahu, pastinya Bagas agak jengkel pada dirinya.
Karenanya, Windy tergelak, hanya demi mencairkan suasana agar tidak tegang tak berselimutkan prasangka satu sama lain.
Ini masih terlalu awal. Masa sudah pakai acara debat nggak jelas? Baru juga jadian satu minggu. Ah, gara-gara aku juga sih terlalu kepo dan terlalu mau tahu urusan pribadi dia! Dan gara-gara aku dibebani sama kegagalan hubunganku yang sebelum-sebelumnya, secara nggak sadar aku jadi dikuasai perasaan insecure deh! Sesal windy dalam diam.
“Iya, deh, aku percaya kalau begitu,” kata Windy kemudian.
“Nah begitu dong,” timpal Bagas.
Windy mencermati, raut wajah Bagas sudah kembali sedap dipandang.
“Mana senyumnya?” tagih Bagas.
“Nih!” timpal Windy segera, sembari menghadiahi sebuah senyuman untuk Bagas.
Bagas tertawa kecil.
“Ngomong-ngomong, kamu tahu nggak Win?” tanya Bagas kemudian.
“Apa?” tanya Windy sambil menantang tatapan mata Bagas.
“Kamu itu pada dasarnya sudah cantik dan menarik. Tapi semuanya lebih sempurana saat kamu tersenyum seperti barusan. Makanya, jangan gampang ngambek lagi ya,” pinta Bagas serius.
Windy terdiam sesaat.
“Eng.., terima kasih pujiannya. Tapi tadi itu bukannya ngambek sih. Ya tapi sorry kalau kamu salah terima. Aku hanya..., berusaha melindungi diriku juga sih. Ya kapan hari kan aku sudah sempat menyinggung sedikit. Aku..., pernah dibohongi sama Seseorang yang mendekati aku, tapi ternyata hanya untuk main-main. Dia itu sebenarnya sudah punya Tunangan,” kata Windy dengan berat.
Bagas langsung meraih tangan Windy dan mengecup punggung tangan Gadis itu.
Ia lalu mengangguk dan berkata, “Aku paham. Dan mungkin aku juga salah dalam bersikap saat menghadapimu. Maafkan, ya. Maaf kalau itu tercermin lewat sikapku yang cukup hati-hati. Aku sendiri juga nggak mau gagal lagi. Aku harap, kamu bisa mengerti, ya.”
Windy mengangguk singkat.
“Dan jangan ngambek lagi dong. Aku ini sudah kelamaan nggak dekat sama Cewek. Sudah rada lupa cara membujuk dan meredakan kemarahan Seorang Cewek,” imbuh Bagas.
Windy nyaris tersenyum geli mendengarnya.
Namun ternyata, ucapan Bagas belum tuntas.
“Win..., jadi begini, aku sama kamu ini, sama-sama belum bisa melupakan pengalaman dan kenangan pahit yang pernah terjadi dalam kehidupan kita sebelum ketemu,” kata Bagas.
“He eh. Eng..., maksudku..., mungkin,” timpal Windy.
Bagas menepuk pelan punggung tangan Windy yang berada dalam genggamannya.
“Pernah dengar, kan, bahwa sebaiknya memang Seseorang itu jangan dulu membuka hati apalagi menjalin hubungan yang baru, sebelum luka lama tersembuhkan? Sebab dissadari atau tidak, rasa trauma itu bisa terbawa-bawa ke dalam hubungan yang baru, dan membuat hubungan yang baru menjadi serba sulit. Nggak jarang, malah berakhir cepat tetapi sangat menyakitkan. Lebih menyakitkan kalau dibandingkan dengan kenangan pahit yang membayang-bayanginya..,” ucap Bagas setelahnya.
Windy bagai disengat lebah rasanya. Kalimat Bagas, walau diucapkan dengan begitu pelan, seolah tanpa emosi, tetapi terlampau jelas. Dan ada kemauan kuat yang tersirat, di dalamnya.
Tentu saja hati Windy bagai diremas kuat saat ini.
Apa maksudnya ini? Dia mau mengajak putus, hanya gara-gara aku memempertanyakan soal dia sudah punya Istri di Puncak? Alasannya sih lumayan masuk akal. Tapi...? Secepat ini? Kami bahkan baru satu minggu jadian! Ini sungguh memalukan! Masa aku diputuskan sama Cowok ini, hanya seminggu setelah dia menyatakan isi hatinya kepadaku? Apa-apaan ini? Oh, aku nggak tahu harus bersyukur atau menyesal, karena belum sempat membocorkan tentang hubungan kami ke Siapapun juga. Tapi nggak boleh begini juga, Bagas! Kamu sama saja menghinaku kalau begini! Jerit Windy dalam hati.
Belum-belum, Windy sudah berpikir, ini merupakan rekor hubungan percintaannya yang tersingkat. Satu minggu. Ya, tidak lebih!
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $