Episode : Dilema Itu Bernama ‘Hubungan Rahasia’ (1)
Windy menatap arloji yang melingkari pergelangan tangan kirinya.
Ia sedikit mengeluh tanpa suara, mendapati jarum jam begitu lambat bergerak. Bagai stagnan di satu titik saja.
Sekarang baru pukul 11.52 wib. Waktu makan siang baru akan genap delapan menit ke depan. Tetapi Windy sudah tak sabar. Bukan lantaran dirinya sudah terlampau lapar. Sebab apabila itu yang menjadi masalah, maka dia dapat mengambil berbagai cemilan yang selalu ada di dalam lemari credenza-nya.
Tatap mata Gadis itu terarah ke satu tas karton yang ia letakkan di atas lemari credenza-nya. Harum aroma makanan yang khusus ia pesan melalui Ojek daring itu menguar, menggoda selera. Baru sekitar dua menit lalu makanan itu tiba, tetapi rasanya ia sudah ingin menyantapnya. Ya, jika saja dia tidak teringat, ingin menghabiskan makanan itu dengan Siapa. Tak lain, Seseorang yang kini mengisi hatinya. Bagas.
Pesan teks ia ia kirim semenjak tadi pagi tetap saja bercentang satu hingga lima menit lalu. Baru sekarang berubah menjadi bercentang dua, meski belum terlihat tanda-tanda sudah dibaca oleh Yang bersangkutan. Windy memperkirakan, kemungkinan besar Bagas tengah sibuk, dan ia tak ingin mengganggu.
Toh, ia juga sudah menyiapkan kejutan manis untuk Cowok tersayang itu. Dia ingin datang ke toko bunga All Ocassion, dan mengajak makan bersama sambil mengobrol di ruang kerja Bagas.
Windy menarik napas. Dengan para Mantan-nya yang dulu, mana pernah mau dia berlaku ‘semanis’ serta ‘sesimpel’ itu? Dulu malah tidak pernah terpikir olehnya, sekadar makan siang bersama di sebuah ruangan kerja bisa menjadi salah satu waktu berkualitas buat mereka berdua. Buat Windy, itu terlalu menjemukan. Standard Seorang Windy Briastuti untuk 'waktu berkualitas' itu lumayan tinggi.
Tapi masalahnya, ini Bagas! Bukan Cowok lainnya!
Windy menggelengkan kepalanya.
“Nggak apa deh. Hitung-hitung, sebagai ‘sarana’ untuk menunjukkan penyesalan aku, karena secara nggak sengaja sudah membuat hati Bagas kesal, kemarin itu. Hm..., barangkali aku ya, yang terlalu cepat merangsek masuk ke dalam kehidupan pribadinya? Nggak, aku ngak boleh begini. Harus lebih santai. Biar berjalan sebagaimana adanya. Kalau aku terlalu memaksakan kemauanku, yang ada Bagas malahan bisa kabur karena ketakutan,” gumam Windy pelan.
Windy terkenang percakapannya dengan Bagas kemarin sore, sepulangnya mereka dari mengunjungi Kebun Bunga milik Bagas yang ada di pinggiran Jakarta.
Sudah dua kali Windy berkesempatan melihat secara langsung kebun milik Bagas. Yang pertama adalah kebun kepunyaan Bagas yang ada di Bogor. Tempat yang langsung dianggap oleh Windy sebagai monumen cinta mereka berdua. Tentu saja secara diam-diam, tanpa setahu Bagas. Dan itu baru satu minggu yang lalu. Yang kedua adalah kemarin, tepatnya hari Minggu, sebab Bagas baru kembali dari urusan di luar kota pada Sabtu malam.
...
“Sayang, aku kan sudah melihat dua kebunmu di tempat yang berbeda. Terus kapan dong, aku diajak juga ke kebunmu yang di Puncak itu? Katanya, kamu mau kasih lihat kebunmu yang itu? Kamu nggak lupa, kan?” rengek Windy sambil bergayut mesra di lengan Bagas, sewaktu mereka berdua memasuki sebuah kafetaria di dekat toko bunga All Ocassion.
Mereka berdua memang telah resmi pacaran semenjak kepulangan mereka dari kebun bunga Bagas yang di Bogor. Dan sebagaimana Pasangan yang tengah saling jatuh cinta, sesekali mereka saling memanggil ‘Sayang’ kepada satu sama lain. Dalam hal ini, lebih-lebih Windy kepada Bagas.
Windy memang terkagum dengan kebun yang baru saja ia kunjungi itu. Letaknya yang di pinggiran Jakarta, memberikan sebuah kesan tersendiri sebab masih banyak pepohonan besar di jalan masuknya. Ada nuansa keteduhan yang melingkupi perasaan Windy berada di sana tadi. Auranya sedikit berbeda dengan kebun bunga yang di Bogor.
Kebun bunganya memang tidak terlalu luas jika dibandingkan dengan yang ada di Bogor. Akan tetapi penataannya sungguh apik. Sudah mirip taman bunga saja di mata Windy. Taman bunga yang indah. Windy melihat, Pekerja yang ada di situ juga lumayan banyak.
Mereka semua ramah menyambut kedatangan Bagas disertai Windy. Windy terkesan. Tadi itu, baru beberapa langkah memasuki area kebun saja, dirinya langsung melambungakan angan setinggi langit. Dia berangan-angan, kalau sampai pada waktunya kelak, dia akan membuka tentang hubungan yang dijalaninya dengan Bagas, kepada Orang tuanya dan juga Yeslin Sang Sahabat. Dia juga yakin, akan mudah untuk meminta agar Bagas mengajak serta Sang Mama kemari. Ya, dipikirnya, kebun bunga yang ini lebih terang dan perasaannya juga lebih nyaman berada di dalamnya. Ah, baru mengangankannya saja, Windy sudah dapat membayangkan betapa wajah Sang Mama bakal semringah, menatapi taman bunga yang seindah itu. Bisa-bisa Sang Mama sampai kebingungan kalau ditawari Bagas mau mengambil tanaman bunga yang mana untuk ditanam di halaman rumah karena semuanya pasti memikat hati Wanit ayang telah melahirkan dan membesarkannya itu.
Tapi sungguh tidak mungkin, kan, dia meminta hal tersebut, di awal hubungan mereka begini? Jauh di lubuk hatinya, Windy memang masih kerap didera rasa ragu dan gamang. Ya, setidaknya seminggu terakhir ini. Dia masih belum percaya kalau Bagas sungguh-sungguh telah mengutarakan isi hati kepadanya. Dia juga masih ragu akan perasaan Bagas, di samping tetap belum tahu harus menjalani hubungan mereka dengan cara apa. Mengingat, Bagas ini pribadi yang berbeda. Berada di dekat Bagas, entah mengapa Windy senantiasa merasa bagai Kerbau dicocok hidung saja.
Mendapati Bagas belum menjawabnya, hati Windy agak ciut. Ia mencermati, adakah perubahan ekspresi di wajah Cowok itu.
Hati Windy disapa rasa sesal dan merasa telah salah ucap.
Oh iya, ya, aku ini bukannya bersyukur, baru saja diajak ke kebun bunganya yang lain lagi. Padahal, sepulang dari Bogor saat dia terang-terangan menunjukkan ketetarikannya ke aku saja, semesetinya aku bersyukur. Itu kan sesuai sama keinginan aku selama ini. Bagas mengutarakan isi hatinya, mengakui perasaan yang dia miliki ke aku! Dan sudah tentu aku menerimanya. Ya, nggak mungkin juga aku sanggup menolak, meski Bagas terkesan memberikan aku sebuah syarat sebelum dia meninggalkanku di toko bunga untuk membereskan urusannya, kata Windy dalam hati.
Sontak Gadis itu terkenang percakapannya dengan Bagas kala itu. Percakapan yang susah-susah gampang untuk dicerna apalagi diterimanya, sebetulnya.
“Windy Sayang, kita jalani berdua dulu hubungan ini sambil mencari kecocokan terus, ya. Maksudku begini, kita simpan dulu hubungan ini buat kita berdua saja. Jangan dulu cerita ke Orang lain, meski itu Orang terdekatmu sendiri. Eng..., menurutku..., itu belum perlu,” pinta Bagas saat itu. Wajahnya terlihat amat serius, bahkan terkesan tengah menanggung sebuah beban yang berat, yang menggayuti pikirannya.
“Lho, memangnya kenapa Bagas? Kok harus begitu?” tanya Windy lirih, menyembunyikan kesan mengeluh yang bercampur protes. Ia juga berusaha menyembunyikan kekecewaannya, dengan cara sedikit menghibur hatinya mendengar Bagas sudah menambahkan kata ‘Sayang’ di belakang namanya. Buat windy, itu sesuatu yang patut diapresiasi. Lagi-lagi, ini Bagas, bukan Cowok lainnya! Jadi, kata 'Sayang' yang disematkan di belakang namanya terasa istimewa dan sungguh-sungguh dari hati yang terdalam, menurut Windy.
Maka Bagas terlihat menarik napas dan mengembuskannya dengan berat. Ia menatap Windy secara intens.
“Win,” panggil Bagas kemudian. Suaranya terdengar lebih lembut, namun teramat dalam.
“Ya,” sahut Windy dengan hati yang bergetar. Tak sadar ia jadi menundukkan wajahnya.
Lalu Bagas meraih tangan Windy, meremasnya perlahan. Windy membiarkannya.
"Begini Windy..," kata Bagas sembari mengangkat dagu Windy, menyebabkan Gadis itu tak dapat mengelak dan menengadahkan wajahnya. Tatapan mata mereka berdua tertaut.
Ada gemuruh yang terasa di d**a Windy. Perasaannya kian menguat jua kepada Cowok yang di depannya ini. Ia sampai tak sanggup melontarkan barang satu kata saja. Bibirnya bagaikan dikunci demikian rapat.
“Maksudku..., kita bikin hubungan ini mantap dulu, ya. Ini kan masih baru saja kita mulai. Masih sangat awal. Kita saling menyesuaikan diri satu sama lain dulu. Semoga sih, kita segera menemukan ritme yang sama. Aku berharap sekali kalau kamu nggak keberatan. Begini Windy, kamu mungkin nggak pernah menyangka bahwa aku punya beberapa pengalaman buruk dalam hubunganku sebelumnya. Dan sejujurnya..., itu meninggalkan bekas luka dan kenangan pahit yang membayang-bayangi langkahku. Aku nggak mau itu terulang. Dalam arti..,” Bagas menggantung kalimatnya di sana.
”Aku ngerti. Ngerti banget malahan. Aku sendiri juga punya beberapa hubungan yang berakhir secar kurang baik, dulunya.,” potong Windy.
Bagas terdiam, menanti kelanjutan kata-kata Windy. Gadis itu tampak sedng memikirkan sesuatu.
“Oke, kita cari kecocokkan dulu, ya. Aku juga nggak mau terpengaruh pendapat orang lain tentang hubungan kita. Kan, kita yang menjalani. Benar katamu, Bagas Sayang, ini masih baru permulaan. Aku nggak mau dibikin ribet sama komentar Orang lain dulu,” tambah Windy pula.
Bagas menyunggingkan senyum, mendengar perkataan Windy.
Seakan-akan ada beban berat yang terangkat dari pundaknya. Dia merasa lega, sekaligus merasa dipahami oleh Gadis itu.
Ia mengurai genggaman tangannya. Lantas diarahkannya tangannya ke kepala Windy. Bagas membelai rambut Windy dan mengecup kening Gadis itu dengan penuh perasaan, hingga mengalirkan rasa tenteram ke dalam sanubari Windy.
“Windy Sayang, kamu jangan salah paham, ya. Dan jangan berpikir aku ini Cowok lemah, melempem, yang memelihara rasa trauma. Atau Cowok yang kurang berjuang. Aku hanya..., nggak mau semuanya jadi sia-sia,” pinta Bagas.
Windy lekas menggeleng.
“Enggak kok Sayang. Aku tuh nggak sekalipun menganggap bahwa kamu lemah. Aku malahan salut, sama kamu. Kalau kamu sampai merasa kehilangan dan pernah trauma, itu kan artinya kamu bersungguh-sungguh, pada hubungan yang pernah kamu jalin sebelumnya. Jadi, oke..., aku nggak keberatan,” tegas Windy.
Bagas sepertinya tersentuh perasaannya. Dia langsung mencium puncak kepala Windy.
“Terima kasih, ya Sayang. Kamu yang sabar, ya. Pada waktunya, kita kasih tahu ke sisi dunia mengenai hubungan kita. Semoga nggak lama lagi,” kata Bagas kemudian.
Windy mengangguk. Penuh dengan harap.
Bagas memandangnya mesra.
Windy kian terlena. Ya, jika dipikir-pikir, permintaan Bagas bukan hal berat, kan? Dia hanya perlu menunda memberitahu ke Yeslin dan Orang tuanya tentang hubungan percintaannya dengan Bagas. Ah, buat seorang Bagas tercinta, apa sih, yang enggak dilakukan oleh Windy? Bagas itu terlalu simpatik, terlalu tampan, dan juga terlalu baik, untuk ditolak permintaannya. Apalagi hal begini, ah, sudahlah, ya?
Apalagi ketika sesudahnya dia mendengar gumaman Bagas, “Apa yang kita miliki ini terlalu indah.”
Gumaman yang terkesan ditujukan oleh Bagas untuk dirinya sendiri.
Gumaman yang membuat Windy tersanjung. Gumaman kecil yang tepat menyentuh hatinya. Alhasil, Gadis ini bagaikan terbang melayang mendengarnya.
Kini, mendapati Bagas masih juga berdiam diri dan tak kunjung menunjukkan tanda-tanda akan menjawab rengekannya, Windy merasa perlu untuk mengusiknya.
“Sayang, kok kamu diam begitu? Kenapa? Apa jangan-jangan, aku ini nggak boleh lihat kebun yang di Puncak, selamanya? Atau jangan-jangan..., sebenarnya kamu ini sudah punya seorang Istri, dan Istrimu itu ada di Puncak, ya? Jadinya, kamu takut kalau rahasiamu ini diketahui baik oleh aku maupun Istrimu? Terus akibatnya jadi ramai. Baik aku maupun Istrimu itu sama-sama merasa dibohongi sama kamu. Iya, kan?” rengek Windy disertai gerakan menggoyang lengan Bagas.
Bagas tersadar dari ketermenungannya yang lumayan lama.
Cowok itu tergeragap.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $