Episode : Dilema Itu Bernama ‘Hubungan Rahasia’ (3)
Lantas senyap saja yang ada di antara mereka berdua selama sekian detik.
Ya, hanya hitungan sekian detik saja sebenarnya. Namun yang sekian detik itu rupanya sudah lebih dari cukup untuk mengaduk-aduk perasaan Seorang Windy, dan membuat hatinya semakin merasa tidak tenang.
Windy merasa sudah tak tahan lagi kalau Ia harus menebak-nebak di dalam diam akan berbagai kemungkinan dan hanya dapat menanti. Pikirnya, semua sudah melampaui batas toleransi yang ia berikan.
Lantas katanya dengan suara yang nyata-nyata terdengar bergetar, “Maksudmu..., kamu mau semua ini berakhir sampai di sini, sekarang juga? Dan itu karena kamu menganggap aku ini terlalu menyusahkanmu dan juga gara-gara nggak ada kecocokkan di antara kita berdua?”
Sontak Bagas tersentak mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Windy.
Di momen ini hati Bagas bagai berbisik, “Berakhir sampai di sini, artinya melepaskan dirimu begitu saja? Ha ha ha! Itu betul-betul suatu hal yang mustahil. Bodoh sekali kalau aku sampai melakukannya. Di mana lagi aku harus mendapatkan Penggantimu? Dan butuh waktu berapa lama? Windy, Windy! Kamu tahu? Kamu itu bagaikan permata yang telah sekian lama aku cari dan aku nantikan. Dan kamu datang dengan sendirinya. Kamu adalah Seseorang yang akan melengkapi serta menyempurnakan apa yang menjadi rencana dan gagasanku. Hmmm..., kamu memang banyak maunya. Tapi nggak apa. Aku ikuti saja dulu. Sampai saatnya tiba. Sampai aku sendiri siap. Aku juga tidak terburu-buru kok. Aku harus menghitung segalanya dengan tepat. Dan aku perlu waktu untuk itu. karenanya sementara ini, kita sama-sama nikmati saja ya, kebersamaan kita, Manis!”
Bagas mengecup lagi punggung tangan Windy dengan mata terpejam. Cukup lama. Sampai-sampai membuat Windy bingung dan mempersiapkan diri, apabila itu adalah momen terbaik serta kenangan terakhir yang bakal disimpannya baik-baik di memory otak kirinya kelak. Ia sudah berada di batas rasa pasrah.
Karenanya, Windy membiarkan saja apa yang tengah dilakukan oleh Bagas kepada dirinya.
Gadis itu tak terlalu memedulikan beberapa pasang mata di dalam kafetaria yang mulai menatap dan melempar senyum ke arah mereka berdua. Ia tahu, karena ia sempat mengerling ke arah mereka dan sempat pula tatap matanya bersirobok dengan beberapa dari mereka, terutama sekumpulan Remaja Putri yang sepertinya sedang berbisik-bisik. Bukan tak mungkin, sedang bergosip tentang dirinya. Dan Windy memutuskan untuk pura-pura tidak tahu, tidak memusingkannya walau sedikit saja.
Terserah. Kami juga bayar kok, di kafetaria yang bernuansa romantis ini. Kami juga sudah memesan menu hidangan yang termahal di tempat ini. Lagi pula, enggak cuma kami berdua yang datang berpasangan kemari. Dan sebatas mencium tangan, di mana letak mesumnya? Di otak kalian, mungkin! Menurutku, itu masih termasuk sopan, kan? Dan semestinya nggak cukup untuk membuat kalian yang melihat adegan ini jadi sakit mata gara-gara iri hati, kan? cetus Windy dalam diamnya.
Bagas membuka matanya dan menatap Windy lekat-lekat.
Windy terbingung. Detak jantungnya semakin terasa tidak menentu saja.
“Windy Sayang...,” ucap Bagas.
Windy tak sanggup menyahut. Dia seakan-akan berada di hitungan mundur dari akhir hubungan percintaan mereka yang super singkat itu.
“Dengar aku ya..,” kata Bagas lembut.
Windy mengeluh dalam hati.
Ingin rasanya dia berteriak begini, “Cepetan dong, Bagas! Kamu ini keterlaluan banget! Waktu mau menyatakan rasa cinta ke aku, kamu bikin aku harus olah raga jantung. Terus sekarang, mau ngajak putus juga masih ngasih aku siksaan yang serupa. Ya ampun jahat banget kamu. Andai kamu iu Cowok lain, sudah aku tinggal dari tadi. Aku serius! Cuma..., aku nggak tahu. Kamu memang beda. Kamu itu punya daya tarik yang di atas rata-rata. Dan kamu itu seperti sudah sukses memenjarakan hatiku sehingga menyebabkannya nggak bisa berkutik lagi. Boro-boro mau kabur.”
Alangkah mujurnya nasib Windy hari ini.
Bagas seperti dapat mendengar suara hatinya.
Cowok itu segera melanjutkan perkataannya.
“Windy..., aku nggak ada niat untuk mengakhiri semua ini. Buat aku, apa yang kita miliki ini terlalu indah,” ucap Bagas.
“Tapi?” sela Windy yang sudah tak sabar.
Dahi Bagas berkerut-kerut.
“Tapi apa? Nggak ada tapi. Yang ada adalah ‘dan’,” tambah Bagas.
Kini gantian kening Windy yang berkerenyit.
“Kamu bikin aku bingung, Bagas,” keluh Windy demikian pelan.
Tapi toh Bagas mendengarnya juga.
“Heiii Cantik! Jangan bingung. Yang aku maksud ‘dan’ adalah... Dan aku mau, kamu bisa lebih sabar menghadapi aku, ya. Aku juga akan mengusahakan hal yang sama semampu yang dapat aku lakukan,” sahut Bagas.
Degup jantung Windy tetaplah sulit untuk ia kendalikan. Malahan, dia juga tak dapat menatik napas lega secepat itu lalu balik bertanya untuk meminta ketegasan dari Bagas.
Rupanya Bagas cukup tahu diri dan tidak berlama-lama menyiksa perasaan Windy. Ia .kembali membuka mulutnya
“Windy, pendeknya..., Orang-orang di luar boleh saja mengatakan, sebaiknya menyembuhkan luka batin dulu baru membuka hati untuk Seseorang yang baru. Idealnya memang begitu. Dan itu memang baik, supaya menyakiti Pasangannya yang baru,” lanjut Bagas.
Ya ampun! Masih muter-muter juga! Keluh Windy dalam hati.
“Boleh nggak, kalau kamu ngomongnya to the point saja? Dan maaf ya, boleh lepaskan tanganku sebentar? Enggak enak. Susana di kafetaria ini makin ramai. Makin banyak yang melihat ke kita seperti sedang menikmati tontonan gratis,” pinta Windy dengan amat hati-hati.
Bagas mengangguk dan mengurai pegangan tangannya kepada Windy.
“Sorry. Aku nggak terlalu melihat ke arah mereka tadi,” bisik Bagas yang segera diangguki oleh Windy.
“Aku lanjutkan ya. Tapi apa mau dikata. Semenjak pertama kali melihatmu saja, aku sudah menaruh hati kepadamu. Aku nggak tahu bagaimana denganmu. Dan minggu lalu aku sudah nggak bisa menyimpan lebih lama perasaanku ke kamu. Entah kamu terpaksa atau tidak, yang jelas, kamu mau menerima ungkapan perasaanku. What I meant, Windy Sayang.., aku juga baru tahu kalau kamu sama seperti aku, masih membawa-bawa kenangan pahitmu ke dalam hubungan kit ayang masih baru ini. Tapi itu bukan berarti kita harus merelakan hubungan yang baru ini,” papar Bagas panjang lebar.
Windy terpana.
Mana pernah dia sangka, Seorang Bagas akan mengatakan rangkaian kalimat yang sepanjang itu kepadanya? Dan di bagian ‘mungkin kamu terpaksa menerima ungkapan cintaku’ sungguh menggelitik perasaan Windy.
Terpaksa, Bagas? Enggak! Aku malah sudah menantikannya! Bantah Windy. Tentu saja hanya dalam hati.
Dan ternyata masih ada yang hendak dikatakan oleh Bagas.
“Windy..., apa yang Orang-orang di luar sana katakan mungkin ada benarnya. Tetapi memangnya perasaan bisa diatur-atur? Kapan datangnya, dengan cara apa dan kepada Siapa? Enggak kan? Nah..., karena kita berdua memang sepertinya sama-sama belum pulih dari luka hati di masa lalu..., aku cuma mau menyampaikan ke kamu. Itu artinya, kita hanya harus lebih kuat dalam memperjuangkan hubungan ini. Kalau ada perbedaan pendapat atau salah paham, aku harap kamu masih punya persediaan kesabaran dan pengertian yang cukup. Aku juga akan berusaha untuk memahami kamu, sejauh yang kamu ijinkan. Jadi..., Windy Sayang..., kamu masih mau kan..., melanjutkan hubungan ini?” kata Bagas lirih.
Mata Windy seketika mengerjap.
“Artinya..., kamu juga paham kalau sesekali aku bersikap seperti tadi?” tanya Windy kemudian.
Bagas mengangguk dengan matanya.
Windy merasa tersanjung.
“Bukan komunikasi dan hubungan yang mudah, ya? Tapi aku harap kamu cukup kuat dan cukup punya tekad untuk membuat supaya ini berhasil buat kita berdua,” kata Bagas.
“Kamu juga, kan?” Windy balik bertanya.
“Tentu saja. Aku ini Seorang Laki-laki, masa aku tidak memperjuangkan hubungan ini?” sahut Bagas dengan mantap.
Rasa lega menjalari benak Windy.
Paling tidak, aku nggak mencetak rekor baru usia hubungan percintaan yang tersingkat, batin Windy pula.
Tatap mata mereka kembali bertaut.
Kali ini Windy melihat ada harapan di dalam bola mata Bagas. Dan ia sangat mensyukuri hal itu.
“Win..., ada satu hal lagi yang mungkin belum sempat aku sampaikan..,” kata Bagas.
Windy dag dig dug lagi. Pasalnya, Gadis ini melihat ada selintas keraguan yang membias di paras Bagas.
Pantang dibuat deg-degan lebih lama lagi, Windy segera menyahut, “Sebaiknya diomongin saja sekarang.”
Bagas menelan ludah, membasahi kerongkongannya.
Seolah-olah dia akan mengatakan sesuatu yang sulit kepada Windy dan takut Windy tak sanggup untuk mendengarnya lalu berubah pikiran.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $