“Hmm … ini enak banget loh,” ucap Mayang mengomentari dessert bertopping cokelat mousse yang sedang dinikmatinya, “Mau cobain nggak, Sar?”
“Mau, mau. Tukeran, nih. Punya gue juga enak,” ucap Sarah sambil menyodorkan mangkuk dessertnya yang berupa hot cake dengan white mousse.
“Syukurlah kalau lo pada suka dessertnya,” ucap Dio senang melihat antusiasme Mayang dan Sarah. “Kalau yang suka cokelat memang biasanya suka sama menu yang dua itu. Lo gimana, Rein? Enak nggak yang gue pilihin buat lo?” tanya Dio sambil menoleh pada Reindra.
Dan Dio tercengang melihat mangkuk Reindra yang tadinya berisi pudding jelly dengan buah-buahan segar di atasnya, telah habis ludes.
“Enak,” jawab Reindra sembari nyengir malu karena telah meghabiskan dessertnya dalam waktu sangat singkat.
“Buset, cepet amat lo makannya?” komentar Sarah sembari membelalak ke arah mangkuk Reindra. “Baru juga gue mau cobain.”
“Yaah, sori kalau gitu,” ucap Reindra tenang.
Mayang dan Dio tertawa melihat wajah kecewa Sarah.
“Nih, makan ini aja, belum gue makan, kok,” ucap Dio menawarkan mangkuk dessert yang ada di hadapannya. “Gue tadi sengaja pesan lebih, siapa tau kurang. Kalau yang ini perpaduan pudding dan cokelat, jadi rasanya nggak terlalu manis.”
“Loh, jadinya lo nggak ikutan makan dong, Dio?” tanya Mayang.
“Nggak apa-apa, kan gue juga udah pernah cobain semua menu yang ada di sini. Ini gue pesenin buat kalian, kok. Nih,” ucap Dio sambil menyorongkan mangkuk dessertnya ke tengah meja.
“Asyiiik, oke!” jawab Reindra sambil hendak meraih mangkuk itu. “Ayo kita bagi tiga!”
“Sini, sini, gue yang ngebagi. Kalau lo, nanti nggak rata potongannya,” ucap Mayang yang dengan cepat mencegah Reindra mengambil mangkuk tersebut.
“Iya May, lo aja yang ngebagi! Lepasin, Rein!” Sarah menepis-nepis tangan Reindra.
“Iya iyaaa! Ambil tuh May, ambil!” gerutu Reindra pura-pura kesal.
Dio tertawa melihat ketiga teman barunya itu. Mereka adalah orang-orang dewasa paling unik yang pernah ia temui. Meskipun bekerja secara professional di kantor, tetapi saat sedang berada di luar kantor dalam suasana santai, mereka terlihat sangat asyik dan gaul.
Sementara itu pertunjukan live music sudah dimulai. Sebuah band beranggotakan empat orang remaja sudah naik ke atas panggung kecil dan mulai menyanyikan lagu-lagu yang berirama pop medium.
“Waah, yang ini juga enak!” puji Mayang. Matanya sedikit membulat saat sedang mengagumi rasa lumer pudding di dalam mulutnya.
“Iya, enak!” puji Sarah. “Enak semua dessertnya!”
“Main coursenya juga enak, kok,” ucap Reindra pada Dio. “Gue dua kali makan di sini, rasanya enak terus.”
“Thanks,” ucap Dio nyengir pada Reindra, “syukurlah kalau pada bilang enak. Soalya gue kan, ada rencana mau buka cabang Kafe Daun, jadi gue masih perlu testimoni pelanggan, buat up promo gue di medsos.”
“Oh, tenang, nanti gue mention yah, di i********: gue,” ucap Reindra.
"Gue juga," ucap Sarah.
“Oke gue juga,” ucap Mayang.
"Sip, thanks!" ucap Dio senang.
“Eh, lo mau buka cabang di mana, emangnya?” tanya Reindra.
“Di Bandung,” jawab Dio, “udah dapat tempatnya di Setiabudi, arah ke Lembang. Sekarang lagi persiapan. Mudah-mudahan sih sebelum minggu depan udah bisa soft launching.”
“Wah, viewnya bagus dong yah, kalau di Lembang,” ucap Reindra.
“Iya, bagus. Kebetulan memang agak tinggi gitu tempatnya. Eh, iya ….” Dio tiba-tiba terdiam sejenak.
“Kenapa?” tanya Reindra.
“Kalian main dong, ke Kafe Daun yang di Lembang. Nanti bisa sekalian liat villa keluarga gue yang di Lembang, yang gue tawarin ke majalah Style itu. Mau nggak?” tanya Dio.
“Wah, boleh tuh!” sahut Reindra. “Bisa nginep sekalian nggak, di villanya?”
“Bisa banget. Dari Kafe Daun ke villanya juga nggak jauh, kok. Gimana?” tanya Dio, yang meskipun lebih banyak mengarahkan kalimatnya kepada Reindra karena sesama laki-laki, namun semua tahu dalam hati Dio sangat berharap Mayang mau ikut.
“Mauuuu!” sahut Sarah dan Reindra berbarengan.
“Oke, gue ikut,” jawab Mayang kalem, meskipun dalam hati ia sebenarnya senang karena hendak pergi berlibur. Karena memang sepertinya otak dan jiwanya sedang butuh hiburan.
“Eh tapi, emangnya nggak apa-apa kita nginep di villa lo? Itu villa keluarga lo, kan?” tanya Reindra.
“Nggak apa-apa,” jawab Dio, “kakak-kakak gue semuanya kan tinggal di Jakarta. Kalaupun mereka tau gue nginapin temen-temen gue, bilang aja lagi barter endorse.”
“Barter endorse gimana maksudnya?” tanya Sarah.
“Ya … gue kasih endorse villa gratis buat kalian, nah kalian kasih endorse foto model gratis buat kafe gue,” jawab Dio sambil terkekeh.
“Maksud lo ... kita disuruh jadi model promo kafe lo?” tanya Reindra.
“Iya, itu juga kalau kalian bersedia. Kalau nggak mau juga nggak apa-apa, villanya nggak akan gue kunciin kok. Kalian bisa tetep nginap di sana,” jawab Dio sembari terkekeh.
Mayang, Sarah dan Reindra ikut tertawa.
“Jadi kalian kapan mau ke Lembang? Hari apa tepatnya?” tanya Dio.
“Hmm … enaknya perginya hari apa, ya?” tanya Mayang pada Sarah dan Reindra. “Sabtu pagi ... atau Jumat malam aja, pulang kantor?”
“Jumat malam aja!” jawab Sarah dan Reindra serempak.
“Kalian nggak capek?” tanya Mayang pada Sarah dan Reindra. “Kan malam Jumatnya kita deadline. Terus besoknya rapat internal. Kalian biasanya kurang tidur kan, kalau menjelang deadline?”
“Nggak kok, nggak. Gue kebut kerjaan gue mulai Senin,” ucap Sarah dengan wajah penuh tekad.
“Gue juga. Kalau perlu gue begadang terus dari Senin sampai Rabu. Jadi Kamis malam gue udah santuy,” jawab Reindra dengan sangat niat.
Mayang terkikik melihat kedua sahabat sekaligus anak buahnya itu mendadak berubah rajin.
“Ya udah kalau gitu Jumat malam,” ucap Mayang. “Eh, naik apa, ya? Lo bisa bawa mobil lo, Rein?”
“Eh, pakai mobil gue aja,” sela Dio. “Kan gue juga mau bawa beberapa barang ke sana, buat keperluan launching kafe. Gue aja yang nyetir, jadi kalian bertiga kalaupun capek dan ngantuk setelah deadline, bisa tidur di mobil.”
“Beneran, nih, nggak apa-apa lo yang nyetir?” tanya Reindra.
“Nggak apa-apa,” jawab Dio. “Kalau gue tiba-tiba ngantuk ya kita berhenti dulu aja. Kan banyak rest area.”
“Oh iya. Dan biasanya kalau kita udah berhenti di rest area, ngantuknya jadi hilang, dan yang ada malah pada jajan makanan. Terus abis makan kan jadi kenyang, dan waktu nerusin perjalanan, yang nyetir jadi tambah ngantuk,” ucap Reindra.
Semua tertawa mendengar kata-kata Reindra yang memang sangat benar itu.
“Ya pokoknya kita selow aja lah di perjalanannya,” ucap Sarah, “emangnya launching kafe lo hari apa, Dio? Sabtu atau Minggu?”
“Sabtu siang,” jawab Dio, “waktu jam makan siang.”
“Berarti udah bener ya, kita berangkat Jumat malam,” ucap Mayang. “Jangan lupa bawa peralatan foto lo yang lengkap, Sar.”
“Siap, Bos!” jawab Sarah sembari nyengir.
“Tamu undangannya banyak?” tanya Reindra.
“Gue sih cuma ngundang relasi kafe aja, tapi nggak tau deh, kakak-kakak gue. Mungkin pada mau ngundang temen-temennya. Kenapa emangnya, Rein?” tanya Dio.
“Nggak, gue pingin ketemu cewek Bandung yang geulis-geulis. Kan gue bosen liat mereka berdua terus,” ucap Reindra kalem sembari menunjuk Mayang dan Sarah dengan lambaian kedua tangannya.
“Rese lo, Rein! Ya udah merem aja kalau nggak mau liat kita!” ucap Mayang pura-pura kesal sembari melempar Reindra dengan sedotan bekas minuman.
“Eh sok kegantengan lo, Rein! Lagian emang cewek-cewek Bandung yang geulis mau diliatin sama lo? Malah pada kabur kalee!” tukas Sarah galak.
Dio kembali terkekeh-kekeh.
“Kalian itu seru banget, ya, kalau lagi kumpul. Saling kenalnya udah lama, ya?” tanya Dio, menoleh pada Mayang.
“Sebenernya baru sih, baru empat tahun sejak kantor redaksi Majalah Style didirikan,” jawab Mayang, “tapi sejak awal kerja, emang kita pada sok akrab.”
Sarah dan Reindra tertawa.
“Soalnya kan setiap hari di kantor udah serius, tuh,” ucap Sarah, “jadi pas lagi jam istirahat makan siang dan jam pulang kantor, kita suka becanda-canda. Nggak taunya becandanya sefrekuensi. Jadi yah, lanjut.”
“Eh, Dio, padahal gue udah berusaha melepaskan diri dari genk cewek-cewek ini loh,” kata Reindra dengan wajah sok serius. “Kan gue juga pingin kayak cowok normal lainya yang bergaul dengan teman cowok. Tapi kayaknya susah banget, gitu. Gue rasa mereka pakai pelet, deh.”
“Apaan, fitnah banget lo!” tukas Sarah. “Eh, Dio, tau nggak? Justru si Reindra tuh, yang lebih sering ngajakin duluan buat jalan dan nongkrong. Ngajakinnya heboh banget pula. Kadang malah suka ngancem kalau kita lagi males diajakin jalan. Justru dia tuh, yang nggak punya temen cowok, makanya mainnya sama cewek!”
“Dih, enak aja! Apaan, tuh!” balas Reindra tak terima. “Fitnah lo lebih kejam daripada fitnah gue tadi tau, Sar!”
Dan Dio terbahak-bahak mendengar perdebatan absurd Sarah dan Reindra itu. Mayang pun ikut terkikik-kikik geli.
“Lo pasti ketawa terus ya May, kalau lagi sama mereka,” ucap Dio di sela tawanya pada Mayang.
“Iya,” jawab Mayang sembari masih terkikik. “Sehat nih gue, bercanda terus sama mereka.”
“Bagus kan, sering ketawa. Jadi awet muda,” ucap Sarah bangga sembari mengibaskan rambut pendeknya yang sebenarnya tidak bisa dikibaskan.
“Meskipun umur lo tetep jalan terus, yah,” celetuk Reindra masih berusaha mengejek Sarah.
“Ya kalau umur mah, emang jalan terus! Kecuali lo dibekukan pakai metode cryonic!” balas Sarah cepat.
“Umur sih nggak masalah, yang penting kan cara menyikapi hidupnya. Asal dibawa senang, ya bakal bahagia, kan?” ucap Dio.
“Nah, betul itu!” dukung Sarah.
“Iya deh iya, Nek Sarah yang menang,” ucap Reindra kalem. Dan sejurus kemudian kembali terjadi saling lempar ejekan antara Sarah dan Reindra.
Sementara itu Mayang sedikit terhenyak mendengar kalimat terakhir Dio tadi. Sekilas memang Dio seperti memberikan tanggapan terhadap perdebatan antara Sarah dengan Reindra. Tetapi sesuatu di dalam intonasi suara Dio membuat Mayang merasa bahwa kalimat itu ditujukan untuknya.
Dio memang menarik. Di usia muda ia terlihat professional dalam pekerjaan dan dewasa dalam bersikap. Dio juga bisa berbaur dengan gaya bercanda dan bersosialisasi Mayang serta teman-temannya. Dan kalau memang benar kata-kata Sarah siang tadi bahwa Dio berusaha mengumpulkan informasi tentang dirinya melalui Sarah, maka cukup pantas kalau saat ini Mayang merasa sedikit berdebar-debar.