Kutukan di Dalam Tubuh Mayang
Gadis dengan rambut diikat ekor kuda itu membungkuk, tangannya meraih seikat bunga yang tergeletak begitu saja di sela akar besar pepohonan yang mencuat ke atas dari dalam tanah. Ia mengamati lekat-lekat ikatan bunga cantik dan dedaunan yang tampak cukup rapi itu, memikirkan siapa kira-kira yang merangkainya dan meninggalkannya di tempat ini.
Ia menoleh ke kiri dan ke kanan mencoba mencari sosok orang yang mungkin masih ada di sekitar situ. Namun pandangannya tiba-tiba menjadi kabur dan berbayang. Kepalanya mendadak pusing.
Tiba-tiba sang gadis mendengar suara dari arah belakangnya. Ia menoleh dengan sangat cepat, hingga tanah serasa berputar di bawah kakinya. Ia terhuyung sedikit ke samping.
Suara bergemeresak itu terdengar lagi. Gadis itu berusaha keras menajamkan pandangan matanya. Dan ia melihat sebuah sosok muncul dari balik semak-semak. Sosok bertubuh besar, dengan wajah mengerikan, yang menyeringai ke arahnya.
Sang gadis menjerit ketika makhluk menyeramkan itu tiba-tiba melompat keluar dari persembunyiannya. Suara geramannya terdengar mendekat dengan cepat ke arah si gadis, siap untuk menerkam. Gadis itu memutar tubuhnya dan langsung berlari.
Namun betapa sulitnya untuk berlari dengan pandangan berkabut dan kepala terasa berputar. Hanya beberapa langkah limbung saja yang dapat dicapainya, sebelum kemudian ia jatuh terbanting dengan keras ke tanah.
Mayang menatap pantulan wajahnya di cermin. Kantung matanya tampak besar dan menggantung di bawah garis matanya yang berbentuk buah badam. Menyesal rasanya ia memaksakan diri untuk menonton sampai habis episode-episode serial drama bergenre science fiction di channel berbayar itu.
Kemudian ia melangkah ke luar kamar menuju dapur. Membuka freezer pada bagian atas lemari esnya, dan mengeluarkan container kecil berisi tumpukan es batu dalam potongan kecil-kecil. Diambilnya sebutir es yang bentuknya sudah tak beraturan, dan menempelkannya perlahan di bawah mata. Mengejang sedikit akibat rasa dingin membekukan yang menempel di kulit wajahnya.
Padahal ia sendiri yang menyusun artikel bulan lalu tentang cara mengompres wajah yang sembab dengan es batu. Namun rasanya malas sekali untuk mencari selembar kain tipis untuk membungkus butiran es batu itu sebelum menempelkannya ke wajah, sesuai dengan instruksi yang disarankan oleh pakar-pakar kesehatan. Selain malas, dia juga sudah tak ada waktu lagi karena jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Dan setelah ini ia masih harus mandi dan berdandan sedikit sebelum berangkat, agar bisa tiba di kantor jam delapan pagi.
Mayang membuang sisa es batu di tangannya ke dalam bak cuci. Dan sekilas, hanya sekitar sedetik, sudut matanya seperti menangkap sesuatu di sana. Di sudut meja makan.
Mayang sontak menoleh dengan darah berdesir cepat, hanya untuk mendapati suasana kosong dan lengang pada area ruang makan.
Mayang mengembuskan napas sedikit kasar. Ia merasa tidak nyaman dengan ruang makan yang tak pernah digunakannya lagi sejak sebulan lalu ini. Ia bahkan lebih memilih langsung membawa masakannya dari dapur ke dalam kamar, dan menyantap makanannya di sana sembari menonton televisi.
Tak sabar rasanya, ingin segera mencari tempat tinggal baru. Yang lebih dekat jaraknya ke kantor, dan lebih nyaman untuk ia tinggali tanpa khawatir sewaktu-waktu ada yang akan mengganggunya.
Selesai mandi, Mayang mendapati ponselnya berdering. Masih dengan tubuh terlilit handuk pendek yang memerlihatkan kedua kaki jenjangnya, Mayang meraih ponselnya sembari melirik sekilas ke arah layar. Nama ‘Ibu’ tertera di sana.
“Halo, Bu?”
“Halo, Mayang, kamu belum berangkat ke kantor?”
“Belum, Bu. Baru selesai mandi, nih. Ada apa, Bu? Ada yang urgent?”
“Ooh, enggak. Ini lho, Pakdemu mau ngajak makan-makan di sini hari Minggu nanti.”
“Wah, makan-makan dalam rangka apa, Bu?”
“Yaa ... nggak dalam rangka apa-apa, sih. Mungkin mereka kangen aja sama kamu.”
“Ooh … ya udah, bisa kok, Bu, tenang aja. Mayang pasti datang, kok.”
“Kalau bisa, nginap dari malam Sabtu aja, ya. Ibu kangen ngobrol sama kamu, lho.”
“Iya, Bu. Mayang juga kangen kok, sama Ibu. Ya udah oke, Sabtu sore selesai jam kantor Mayang pulang ke sana, ya.”
“Oke. Ya sudah, sekarang kamu lanjut siap-siap berangkat kantor, deh. Baik-baik ya, Nak.”
“Iya, Bu.”
Mayang tiba di kantornya pukul delapan lewat satu menit. Ia bergegas memasuki ruangannya yang terletak di lantai dua puluh lima gedung pencakar langit di pusat kota Jakarta itu.
“Pagi,” sapanya ramah pada semua orang yang sudah terlihat di mejanya masing-masing.
“Pagi.”
“Pagi.”
“Pagi, Mbak May!” sapa Dery, editor proofreading yang baru saja bergabung dengan redaksi majalah Style dua minggu lalu. Dery tampak berjalan menuju meja kerjanya dengan membawa sebungkus plastik di tangannya.
“Pagi, Der,” balas Mayang sembari menatap plastik di tangan Dery.
“Ehh, maaf Mbak, saya … belum sempat sarapan tadi di rumah, soalnya buru-buru berangkatnya, takut terlambat,” ucap Dery cepat-cepat dengan wajah tidak enak hati karena dipergoki oleh atasannya membawa makanan.
“Iya, nggak apa-apa kok, Der,” ucap Mayang sembari tertawa kecil melihat kegugupan Dery, “justru saya mau nanya itu apa yang di dalam plastik, wangi banget aromanya. Soalnya saya juga belum sarapan tadi.”
“Ooh … ini bubur ayam yang di seberang kantor itu lho, Mbak. Mbak mau aku beliin?” tawar Dery yang merasa lega karena ternyata ia tidak dimarahi.
“Oh, yang di seberang kantor itu. Nggak usah, nanti saya minta tolong sama office boy aja,” ucap Mayang. “Ya udah, kamu sarapan dulu, deh.”
“Iya, Mbak,” jawab Dery.
Mayang memasuki ruangan pribadinya, sebuah area kecil di sudut yang hanya berisi mejanya saja. Dua tahun bekerja di perusahaan ini sebagai staff editor, dan setahun berikutnya menjadi kepala editor, membuatnya sudah merasa sangat akrab dengan meja kerja beserta peralatannya. Terlihat dari keberadaan sandal flat berbahan lembut di bawah meja, bantal berbentuk kepala beruang yang tersandar di kursi kerjanya, tumbler lima ratus milliliter, mug besar, setoples kopi sachet berbagai rasa, serta tumpukan kotak lock n lock yang berisi camilan kesukaannya sebagai pelawan rasa mengantuk di saat deadline tiba.
Mayang meletakkan tasnya di atas meja, dan mengangkat gagang telepon di sudut mejanya. Ia menekan angka empat puluh dua yang terhubung dengan area pantry, dan memesan sarapan kepada office boy yang bertugas. Dan baru saja ia menarik kursi sembari menyalakan tombol power pada layar komputer, pintu ruangan terbuka tanpa diketuk terlebih dahulu.
“May! Udah dateng, lo?” sapa seseorang yang muncul di ambang pintu dengan cengiran lebar di wajahnya.
“Belum,” jawab Mayang tenang, pura-pura tetap sibuk dengan komputernya.
“Terus, lo siapa, dong? Hantu?” tukas perempuan bergaya sedikit tomboy itu dengan kesal.
Mayang tertawa melihat ekspresi wajah Sarah yang lucu. “Ya lagian sih, lo pake nanya segala gue udah dateng atau belum. Kan udah kelihatan jelas nih, gue duduk di sini.”
“Ya kan gue basa basi. Lagian gue tadi nyapa, bukan nanya!” gerutu Sarah sembari melangkah masuk dan menutup pintu ruangan.
“Nyapa kok gitu. Nyapa tuh gini, ‘Haai!’” ujar Mayang memberi contoh.
“Hai juga!” balas Sarah santai. Ia kemudian meletakkan tas kameranya yang besar dan berat di atas meja Mayang.
Meskipun jabatan Mayang adalah kepala editor, namun persahabatan Sarah dengan Mayang sejak bekerja di perusahaan ini tiga tahun lalu membuat sikap Sarah sangat santai kepada Mayang. Mayang pun tidak pernah mempermasalahkannya, karena ia bukanlah seseorang yang gila hormat dan jabatan. Ia diangkat menjadi kepala editor hanya dalam waktu setahun setelah bekerja di redaksi majalah Style karena kepala editor terdahulu mendadak dipindahkan ke kantor pusat redaksi majalah mereka di New York.
“Eh, May, lo tau nggak?” desis Sarah yang sudah menempatkan diri di sebelah Mayang, duduk di atas lemari laci pendek yang berisi majalah-majalah terbitan lama.
“Nggak,” jawab Mayang cepat.
“Bodo amat. Pokoknya gue mau cerita,” tukas Sarah tak kalah gesit.
Mayang kembali terkikik geli. “Iya, iya. Ya udah cerita aja.”
“Jadi, si model yang gue foto kemarin, yang buat edisi bulan depan, ngajak gue kencan! Gila kan?” bisik Sarah keras.
Mayang menoleh. “Si Adelio?”
“Iyaa! Setelah selesai gue foto di kolam renang, dia tiba-tiba ngajak gue kencan. Katanya dia tertarik sama gue. Aneh, kan?” Sarah mengerutkan dahinya bingung.
“Hmm … iya, yah. Aneh. Kok dia bisa tertarik sama lo?” gumam Mayang sembari ikut-ikut mengerutkan dahi.
“Sial!” umpat Sarah. “Kok setuju banget gitu sih, lo?”
“Loh, gimana sih? Bukannya malah bagus kalau ada temen yang setuju sama pendapat lo?” balas Mayang.
“Ya tapi nggak gitu juga, kalii!” kilah Sarah.
Mayang tertawa. “Ya udah, kalau gitu terima aja ajakan kencannya,” ucapnya.
“Dih, nggak, ah! Bukan selera gue,” jawab Sarah. “Dia kan agak-agak … melambai, gitu.”
“Emang selera lo yang kayak gimana? Dulu si Reindra yang jelas laki-laki, lo bilang nggak cocok. Sekarang yang agak melambai juga nggak selera. Maunya gimana, sih?” Mayang menggeleng-gelengken kepala pura-pura lelah.
“Yeee, beda urusan kali, ama si Reindra! Gue dulu pacaran sama dia hanya karena kebetulan sering liputan bareng. Kayak semacam cinlok gitu,” ucap Sarah cuek. “Tapi setelah itu kita sama-sama sadar, kalau kita ternyata nggak cocok pacaran. Cocoknya temenan ….”
Belum selesai Sarah menyelesaikan kalimatnya, pintu kembali terbuka. Dan sosok seorang cowok bertubuh tinggi dengan wajah biasa-biasa saja namun berkesan ramah muncul di sana.
“Nah, yaa. Lo pada ngomongin gue, ya?” ucapnya dengan santai sambil memasuki ruangan. Ia menenteng sebuah plastik putih di tangannya.
“Emang kedengeran dari luar?” tanya Sarah pada Reindra, reporter yang pernah berpacaran dengannya selama tiga bulan saat sama-sama baru mulai bekerja di redaksi majalah tersebut.
“Ya kedengeran kalau lo nempelin kuping lo di pintu,” jawab Reindra.
“Buset. Nguping pembicaraan orang terang-terangan!” seru Sarah.
Mayang tertawa cekikikan melihat kedua sahabatnya ini. Mereka adalah pasangan mantan tersantai yang pernah dikenalnya. Tidak ada sisa dendam atau kekesalan yang terlihat di wajah mereka saat berinteraksi seperti ini, tidak seperti orang-orang yang pernah berpacaran pada umumnya. Tidak canggung, tidak jaga image, pokoknya Mayang merasa benar-benar nyaman berada di antara mereka.
“Udah, udah, jangan ribut di ruangan gue. Sana berkelahi sekalian di lapangan parkir!” ucap Mayang.
“Oh, nggak, nggak, May. Makasih, gue takut lawan ban coklat,” tolak Reindra sembari melayangkan ekspresi penuh ketakutan pada Sarah yang memang jago tae kwon do.
“Rese lo, Rein! Lagian lo ngapain sih, ke sini? Ganggu orang lagi ngegosip aja.” Sarah berucap ketus.
“Gue cuma mau nganterin ini kok, buat Mayang,” ucap Reindra sembari meletakkan plastiknya di atas meja. “Gue tadi ketemu Mas Nur office boy di depan pintu sana. Ini pesenan lo, kan, May?”
“Eh, iya, bubur ayam gue,” ujar Mayang dan langsung membuka plastik itu. “Oh iya, gue belum bayar! Mas Nurnya masih di luar nggak yah?” Mayang bergegas meraih tasnya dan mengeluarkan dompetnya.
“Udah nggak usah, udah gue bayarin. Dan nggak usah diganti. Gue traktir,” ucap Reindra cepat mencegah Mayang memberikan uang padanya.
“Oh … wah, makasih ya Rein,” ucap Mayang tersenyum dan segera membuka kemasan bubur ayamnya.
“Mayang doang nih, yang ditraktir?” Sarah mendelik pada Reindra.
“Lo kan udah sering gue traktir dulu, waktu kita sama-sama tersesat ke jalan yang salah,” sahut Reindra santai sembari tertawa.
“Sialan,” gerutu Sarah, namun tak urung ikut tertawa juga.
“By the way, malam Minggu lo pada sibuk, nggak? Nongkrong yuk, di mana gitu,” ajak Reindra.
“Eh iya, yuk, May! Udah lama kan, kita nggak nongkrong bareng sejak … eh ….” Sarah menghentikan kalimatnya, melirik dengan tidak enak hati ke arah Mayang.
Mayang menoleh, dan memberikan senyum tenangnya pada Sarah. “Mau banget sih, nongkrong bareng kalian lagi. Tapi weekend ini gue udah janji sama nyokap mau pulang ke Bekasi, ke rumah pakde.”
“Ooh, ada acara keluarga?” tanya Reindra.
“Enggak.” Mayang menggeleng. “Yaa … mngkin mereka mau ngajak gue tinggal di sana lagi. Yah, sebentar lagi juga kan gue harus pergi dari rumah yang gue tinggalin sekarang.”
Sarah dan Reindra saling lirik diam-diam.
“Tapi May, maaf nih. Bukannya gue ikut campur urusan pribadi lo. Tapi secara teori, rumah yang lo tinggalin sekarang itu kan punya lo, May. Hak lo,” ucap Sarah hati-hati.
“Iya, May. Itu rumah harusnya udah hak lo. Lagipula, surat-suratnya atas nama lo, kan?” imbuh Reindra.
“Iya, bener. Tapi, gue males ribut. Kalau gue bersikeras mempertahankan rumah itu, nanti gue bakal makin diserang sama mereka.” jelas Mayang dengan tatapan sedikit menerawang.
“Iya May, gue ngerti, kok. Maaf ya, gue tadi cuma mau berpendapat aja,” ucap Sarah sembari membelai bahu sahabatnya itu.
“Maaf juga ya, May,” ucap Reindra tulus. “Tapi emangnya, keluarga almarhum suami lo itu udah ngomong apa aja? Mereka nyuruh lo pindah dari rumah itu setelah empat puluh hari, gitu?”
“Yaa … mereka enggak ngomong secara literally, sih. Tapi dari sepotong-sepotong ucapan mereka setiap kali datang ke rumah, ya maksudnya seperti itu. Gue cukup tau aja, lah,” jawab Mayang. “Lagipula ….”
“Lagipula apa?” tanya Sarah penasaran, melihat dahi Mayang yang tiba-tiba mengerut.
“Lagipula gue udah nggak nyaman di rumah itu. Gue … gue sering … melihat kembali kejadian waktu itu ….” ucap Mayang lirih.
“Melihat kembali?” tanya Reindra menegaskan ucapan Mayang.
“Ya … ya mungkin itu cuma bayangan yang terulang-ulang di kepala gue aja, karena gue shock banget waktu ngelihatnya. Tapi … emang terasa mengganggu,” sahut Mayang.
“Ya, ya, gue ngerti.” Sarah mengangguk-angguk.
“Ya udah May, gimana baiknya aja. Yang penting hidup lo bisa nyaman dan bahagia, nggak stress. Ya, kan?” ucap Reindra.
Mayang mengangguk dan tersenyum.
“Terus, lo mau pindah ke Bekasi lagi? Tapi kan, jauh dari kantor, May? Apa enggak capek nanti bolak baliknya?” tanya Sarah.
“Enggak. Itu kan keinginan Pakde dan Bude gue aja. Gue sih, mau cari kontrakan aja yang deket sini. Nanti kalian bantuin gue cari, ya,” ucap Mayang melihat kepada dua sahabatnya.
“Oo tenaang, May. Nanti gue anterin lo cari kontrakan. Naik motor gue aja biar gampang, oke?” ucap Reindra.
“Lah, naik motor? Terus gue gimana? Gue juga mau ikut!” sela Sarah.
“Ya lo naik ojek aja, Sar, ngikutin di belakang kita,” ucap Reindra asal lalu terbahak keras. Dan selembar majalah tebal pun melayang ke wajahnya, yang dilemparkan dengan tepat sasaran oleh Sarah.
Mayang tiba di depan sebuah rumah mungil yang tampak segar dipandang mata. Rumah yang menjadi tempatnya dibesarkan setelah ia dan ibunya pergi dari desa lima belas tahun yang lalu. Bertolak belakang dengan candaan orang-orang yang selalu mengatakan bahwa matahari di Bekasi ada dua, saking panas dan teriknya cuaca di daerah ini, rumah milik pakde dan budenya ini sangat sejuk dan asri. Banyak sekali tanaman-tanaman hias dalam pot yang diletakkan di berbagai sudut halaman dan teras.
Mayang teringat saat remaja dulu, setelah pulang sekolah ia selalu bermain atau mengerjakan pekerjaan rumah sendirian di lantai teras yang dingin itu, karena pakde dan bude tidak memiliki anak. Makanya mereka berdua sangat menyayangi Mayang. Sedangkan Mayang sendiri yang tidak pernah bertemu dengan ayahnya sejak lahir, merasa bahagia karena memiliki tiga orang tua yang sangat perhatian padanya.
Setelah dewasa dan diterima bekerja di Jakarta, Mayang pindah ke kontrakan dekat kantornya di daerah Jakarta Pusat. Sesekali saja ia pulang ke Bekasi, karena ibunya lebih memilih tetap tinggal bersama kakak dan kakak iparnya. Kemudian, dua setengah tahun yang lalu, saat pernikahannya yang pertama, Mayang sempat pindah tinggal bersama keluarga suaminya di daerah Bintaro, Jakarta Selatan. Namun ia tidak tinggal lama di sana. Selepas empat puluh hari kepergian Ridho, suami pertamanya, Mayang langsung pindah ke kontrakan yang terletak dekat dengan kantornya. Berusaha melupakan peristiwa mengenaskan dan menyedihkan itu dan kembali beraktifitas seperti biasa.
Lalu tidak sampai setahun lalu, dia mengenal Bayu dari relasi sesama perusahaan penerbitan. Mereka berpacaran selama beberapa bulan sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah. Dan sama seperti pernikahan sebelumnya, hanya sehari setelah pernikahan, Bayu meninggal dunia. Rumah yang saat ini ditempati oleh Mayang, yang surat-suratnya sudah atas nama Mayang, hendak diambil kembali oleh pihak keluarga Bayu. Mereka berpendapat Mayang tidak berhak memiliki rumah itu karena umur pernikahan mereka yang hanya satu hari.
Dan sekarang, Mayang yakin ibu, pakde dan budenya akan membujuknya untuk kembali tinggal di sini. Mungkin mereka merasa tidak tega jika dirinya harus tinggal sendirian dalam kondisi sedih dan kesepian setelah dua pernikahannya gagal. Namun itu tidak mungkin, karena jarak dari Bekasi ke kantor Mayang di Jakarta Pusat terlalu jauh.
Mayang melangkah masuk ke dalam pekarangan dan mengetuk pintu.
“Mmm … kenyang banget nih, Mayang,” ucap Mayang sembari mengusap-usap perutnya, “masakan ibu dan bude terlalu enak, sih. Mayang jadi nambah terus. Bakalan gendut, deh.”
Pakde dan bude tertawa melihat tingkah Mayang yang terkadang masih seperti anak remaja.
“Ya makanya, sering-sering pulang ke sini, Mayang. Tiap weekend, gitu. Nanti bude masakkin terus yang enak-enak!” ucap Bude.
“Mau tinggal di sini lagi juga boleh, Mayang,” lanjut Pakde menguatkan ucapan istrinya. “Lha itu, kamarmu masih ada.”
Mayang hanya tersenyum. Pakde yang adalah kakak kandung dari ibunya
“Sayangnya kantor kamu jauh banget ya, dari sini,” ucap ibu, berusaha menetralkan situasi, agar Mayang tak merasa dipojokkan atau disarankan untuk pindah kerja ke daerah Bekasi. Ia sangat mengerti anaknya itu tidak akan mau meninggalkan pekerjaan yang dicintainya. Apalagi jabatannya saat ini sudah cukup bagus.
“Iya, Bude, Pakde. Kalau tiap hari Mayang pulang pergi dari sini, kayaknya bakalan kurus kering deh Mayang kehabisan energi,” seloroh Mayang, membuat semua tertawa mendengarnya.
“Ya sudah, pokoknya sekarang-sekarang ini, kapan saja kamu mau nginap, mau berapa hari, silakan saja. Pakde dan Bude senang, kok,” ucap Pakde.
“Mayang, Ibu mau bicara sama kamu. Yuk,” bisik ibu pelan saat Mayang selesai membantunya mencuci piring. Pakde dan Bude sudah masuk ke dalam kamar mereka sendiri.
“Iya, Bu,” balas Mayang ikut berbisik dan mengikuti langkah ibunya ke dalam kamar.
Mereka berdua duduk berhadapan di atas tempat tidur Mayang.
“Soal apa, Bu? Kayaknya penting banget?” tanya Mayang penasaran.
Ibu menghela napas panjang sekali. Sepertinya sedikit berat untuk memulainya.
“Ini tentang … kematian suamimu, Mayang .…”
“Mas Bayu?”
“Dua-duanya. Bayu dan Ridho.”
“Apa yang mau dibicarakan lagi, Bu? Kan, udah jelas menurut dokter mereka berdua kena serangan jantung?” tanya Mayang heran.
“Mayang, yang mau Ibu sampaikan ini adalah sesuatu yang berada di luar ranah medis dan kedokteran. Ibu harap kamu mau berpikiran lebih terbuka untuk mendengarkannya.” Ibu mengulurkan tangan untuk menggenggam tangan Mayang.
Mayang mengerutkan dahi, sedikit bingung ke mana arah pembicaraan ibunya. Namun ia tetap menjawab, “Iya, Bu. Mayang dengerin.”
“Kamu ingat ya, Mayang. Ibu menyampaikan hal ini karena sayang sama kamu. Begitu juga pakde dan bude. Kami nggak tega kalau kamu harus menderita terus-menerus seperti ini untuk ke depannya.”
Mayang mengangguk.
“Jadi begini. Kematian kedua suamimu itu, Ridho dan Bayu, bukan karena serangan jantung, Nak.”
“Ha?” Maya mengangkat alis menatap ibunya. “Bukan serangan jantung? Terus apa?”
“Itu karena … sengkolo ….” ucap ibu lirih, nyaris tak terdengar.
“Apa, Bu? Sengkolo? Apa itu?” tanya Mayang.
Ibu menggenggam tangan Mayang lebih erat lagi.
“Sengkolo itu adalah kesialan. Kutukan.” Suara ibu terdengar bergetar saat mengatakannya.
“Hah? Kutukan?” Mayang tercengang. Seolah tak percaya kata-kata seperti itu akan keluar dari mulut ibunya.
Ibu mengangguk sembari menunduk, tak sanggup menatap wajah Mayang.
“Kutukan apa, Bu?” tanya Mayang luar biasa heran. “Memangnya siapa yang mengutuk suami-suamiku, Bu?”
Ibu kemudian menengadah menatap wajah Mayang. Air mata tampak merebak di pelupuk matanya. Ia mengulurkan tangan ke arah bahu Mayang, kemudian menarik kerah baju tidurnya hingga turun melewati pundak, menampakkan sebuah tanda lahir berwarna hitam pekat yang tergambar di bahu kiri Mayang.
Mayang menoleh ke samping, berusaha melihat bahunya sendiri.
“Kutukan itu … ada di dalam tubuh kamu sendiri, Mayang. Sengkolo Bahu Laweyan.”