Mayang, Dio, Sarah dan Reindra tiba di kota Bandung hanya dalam waktu tidak sampai tiga puluh menit. Mereka tiba lebih cepat di Kafe Daun dari waktu yang diperkirakan.
Kafe Daun yang ada di Bandung ini memiliki konsep yang senada dengan yang di Jakarta, hanya saja karena tanahnya lebih luas, maka area outdoornya bisa ditata dengan lebih apik dan terasa asri. Apalagi cuaca dan udara Kota Bandung yang lebih dingin dan sejuk dibandingkan Jakarta membuat suasanya terasa sangat nyaman.
Para karyawan dan pekerja sudah selesai mempersiapkan semuanya. Saat masuk ke kafe, Dio langsung bergabung dengan para karyawannya di bagian dapur yang sedang menyiapkan makanan dan minuman. Mayang, Sarah dan Reindra melihat-lihat keseluruhan bagian kafe. Sarah sudah mulai memotret beberapa sudut yang tampak instagramable untuk didokumentasikan.
“May,” panggil Reindra pelan dari belakangnya.
Mayang menoleh. “Kenapa, Rein?” tanya Mayang.
“Tadi … Sarah udah cerita ke gue soal si Dea itu,” ucap Reindra. “Dan Dio juga udah tau.”
“Hah?” Mayang terkejut. “Sarah cerita?”
“Jangan marah sama Sarah ya, May. Jangan salahin dia,” ucap Reindra cepat-cepat. “Tadi gue sama Dio yang maksa Sarah untuk cerita, soalnya kami khawatir sama lo, May.”
Mayang terdiam. Dia sama sekali tidak bermaksud untuk marah atau menyalahkan Sarah. Hanya saja ia merasa malu kalau Dio tahu mengenai masa lalunya. Mungkin suatu saat nanti Dio pasti akan tahu juga, tapi Mayang tidak berharap Dio akan tahu secepat ini.
“Nggak apa-apa kok, May, kalau Dio juga tahu tentang hal ini. Menurut gue justru lebih baik begitu daripada nanti Dio dengar ceritanya dari kakaknya atau dari si Dea itu sendiri. Belum lagi kalau ceritanya dilebih-lebihkan. Nanti malah Dio jadi salah paham,” ucap Reindra.
Mayang terdiam sesaat sebelum kemudian mengangguk menyetujui. “Bener juga, sih, Rein ….” gumamnya.
“Tadi Sarah juga bilang ke gue bahwa dia khawatir akan terjadi sesuatu terhadap lo di acara ini. Soalnya kan, si Dea itu bakal hadir juga di sini nanti. Jadi lo jangan jauh-jauh dari gue ya, May. Biar gue bisa jagain lo kalau ada apa-apa,” pesan Reindra.
Mayang tersenyum pada Reindra. “Makasih yah Rein. Lo sama Sarah udah merhatiin dan ngejagain gue banget. Gue jadi nggak enak kalau harus ngerepotin kalian terus,” ucap Mayang tak enak hati.
“Ahh lo May, pake nggak enak segala. Kayak tamu aja,” seloroh Reindra sembari merangkul bahu Mayang. “Santai aja, Bestie,” ucap Reindra. Sontak Mayang terkikik geli mendengar kata ‘Bestie’ yang diucapkan oleh Reindra.
“Hai, asyik banget ketawa-ketawa berdua. Ngetawain apa?” Tiba-tiba Dio datang menghampiri mereka. Sontak Reindra langsung melepaskan rangkulannya dari bahu Mayang, khawatir Dio berpikir macam-macam.
“Ini si Mayang, masa ngetawain gue gara-gara gue panggil ‘Bestie’. Kan itu istilah gaul anak zaman sekarang,” ucap Reindra sembari nyengir. “Artinya best friend. Iya, kan?”
“Ya best friend sih best friend. Tapi masalahnya kalau lo yang ngomong nggak cocok, Rein. Gue jadi geli dengernya,” ucap Mayang masih sambil terkikik.
Dio tersenyum. “Ooh, gitu. Ya udah, kita masuk dulu yuk, Besties. Acaranya udah mau dimulai, tuh!” ucap Dio usil. Reindra terbahak.
“Astagaa ... Dio juga jadi ikut-ikutan!” Mayang menggeleng-gelengkan kepala sembari ikut tertawa.
Ruang bagian dalam kafe tampak sangat indah. Makanan dan minuman sudah tertata rapi di atas meja-meja panjang yang dijajarkan di sisi-sisi dinding ruangan. Sarah juga telah siap dengan peralatan fotonya. Sesekali ia tampak mengambil foto tamu-tamu yang berdatangan yang kebanyakan adalah relasi bisnis keluarga Dio.
Mayang dan Reindra juga diperkenalkan oleh Dio kepada Aldo, kakak sulung Dio yang datang bersama istrinya Miranda saat mereka baru saja memasuki pintu ruangan kafe.
“Eh … kamu … Mayang yang pimpinan redaksi majalah Style, ya?” tanya Miranda antusias saat bersalaman dengan Mayang.
“Iya, benar,” sahut Mayang sambil tersenyum sopan.
“Waah, pantesan aku kayaknya kenal wajahnya. Ada di halaman redaksional majalah Style, kan? Aku langganan majalah Style loh, tiap bulan. Liat nih, outfit aku hari ini dapat ide dari artikel Outfit Of The Day di majalah Style bulan lalu!” Miranda bicara dengan cepat sambil memamerkan tampilannya yang sangat fashionable pada Mayang.
“Waah, terima kasih ya, udah b**********n majalah kami. Style kamu keren, Miranda,” puji Mayang tulus.
Aldo tertawa melihat tingkah istrinya yang heboh. “Dia ini kalau belum baca majalah Style, nggak mau pergi kemana-mana. Semuanya dari ujung kepala sampai ujung kaki harus sesuai rekomendasi majalah Style dulu, baru deh mau keluar rumah,” ucapnya. Mayang dan Reindra tertawa. Sepertinya Aldo dan Miranda adalah pasangan yang asyik dan santai.
“Ya sudah, kami ke dalam dulu, ya,” pamit Aldo dan Miranda.
“Baik, silakan,” ucap Mayang dan Reindra bersamaan.
“Eh, May, kok kita jadi kayak penerima tamu sih, berdiri di sini,” bisik Reindra pada Mayang.
“Iya juga yah,” balas Mayang berbisik juga. “Ya udah, kita masuk, yuk!”
Mayang dan Reindra masuk ke dalam ruangan dan berbincang-bincang dengan beberapa tamu yang sedang menikmati hidangan yang disediakan. Dio tampak sibuk berbincang dengan rekan-rekan bisnisnya dan menjelaskan beberapa hal tentang kafe yang baru dibukanya ini. Kafe Daun ini memang sudah disiapkan Dio di atas lahan yang lebih luas supaya konsepnya lebih fleksibel. Bisa dipesan untuk pesta kecil dengan undangan paling banyak seratus orang, dan sudah dilengkapi dengan panggung kecil multifungsi. Bisa digunakan untuk live music atau pelaminan pengantin jika diinginkan.
Setelah cukup berbasa basi dengan para tamu, Mayang dan Reindra pergi ke area outdoor dan menempati sebuah meja kecil dengan membawa beberapa hidangan yang mereka letakkan di atas meja. Sarah kemudian mengambil foto mereka berdua dalam jumlah banyak, dan beberapa kali bergabung untuk berfoto bertiga dengan hidangan yang berbeda-beda. Sarah tampak begitu serius dan bersemangat mengerjakan dokumentasi foto untuk acara ini.
“Sar, lo semangat amat gue liat dari tadi,” komentar Reindra. “Makan dulu, sini!”
“Iya, Sar, nanti kehabisan makanan yang enak-enak, loh,” timpal Mayang. “Lagipula kayaknya lo udha ngambil banyak foto deh dari tadi. Udah cukup kali.”
“Belum,” sahut Sarah sembari menggeleng. “Itu tamunya masih pada berdatangan. Gue mau usahakan fotoin semua tamunya. Lagian gue dibayar mahal untuk ini.”
Seketika Mayang dan Reindra saling tatap dan kompak membulatkan mulut membentuk huruf ‘O’ besar.
“Pantesaaaan dia rajin banget dari tadi,” ucap Reindra.
“Pantesaaaan giat banget sampai lupa makan,” ucap Mayang.
Sarah tertawa. “Tadinya sih nggak ada perjanjian apa-apa. Gue kan awalnya cuma iseng aja mau bikin dokumentasi acara sebagai balasan atas nginap gratis di villanya. Tapi tadi waktu kita baru sampai di sini, Dio tiba-tiba minta gue sekalian bikin dokumentasi yang bagus dan proper untuk promosi dia di berbagai media. Dio janji nanti dia bakal bayar dengan tarif tanpa nawar,” jelas Sarah bangga.
“Buset. Ngeri banget tuh janjinya Dio,” ucap Reindra sambil geleng-geleng kepala. “Tarif tanpa nawar. Kalau sampai Sarah minta sepuluh milyar gimana? Bisa miskin mendadak keluarganya Dio."
Mayang dan Sarah tertawa berbarengan.
“Sialan lo, Rein. Ya nggak gitu juga, kaliii. Tarif yang wajar aja, laah,” ucap Sarah. “Ya udah gue keluar lagi ya, mau motretin tamu. Kalian makan aja duluan, gue gampang. Nanti kalau udah dibayar, gue bakal traktir lo berdua di Jakarta. Oke!”
“Okee!” sahut Mayang dan Reindra kompak.
Tamu-tamu semakin banyak berdatangan. Beberapa orang menempati meja-meja dan kursi yang diletakkan di area outdoor di mana Mayang dan Reindra berada. Beberapa pelayan kafe tampak hilir mudik membawakan bermacam-macam makanan yang dipesan oleh para tamu. Sedangkan Mayang dan Reindra lebih memilih untuk berjalan dan mengambil sendiri makanan dan minuman yang mereka inginkan dari meja-meja prasmanan yang ada di area indoor.
“May, lo mau makan apa lagi? Gue ambilin, ya?” Reindra menawarkan.
“Mm … gue ambil sendiri aja deh, Rein. Gue mau liat dulu ada makanan apa lagi di dalam,” ucap Mayang.
“Oke,” sahut Reindra.
Myaang berjalan ke area ruangan dalam kafe dan menghampiri meja prasmanan. Ia sedang mengambil makanan kecil yang ia inginkan ketika sebuah suara menyapanya.
“Halo, Mayang.”
Mayang segera berbalik, dan tampak Dea berdiri di hadapannya. Tatapannya terlihat sinis. Di sebelah Dea terlihat Shita kakak kedua Dio, dan Aldo kakak pertama Dio beserta istrinya yang juga sedang mengambil makanan.
“Halo, Dea,” jawab Mayang berusaha terdengar biasa-biasa saja.
“Masih kerja di majalah Style rupanya?” tanya Dea.
“Masih,” jawab Mayang singkat.
“Udah nikah lagi?” tanya Dea.
Mayang terkesiap. Pertanyaan Dea yang to the point dan terang-terangan itu terasa tidak sopan didengar. Tampak Shita, Aldo dan Miranda menoleh ke arah mereka berdua, karena mungkin merasa aneh mendengar nada suara Dea yang ditujukan kepada Mayang begitu dingin. Meskipun shock, nmun Mayang tidak mungkin mengabaikan pertanyaan itu karena justru akan menimbulkan tanda tanya dari orang-orang yang mendengarnya.
“Udah,” jawab Mayang.
“Tapi meninggal lagi, ya?” timpal Dea cepat dengan intonasi tajam, seolah sudah sangat ingin mengatakan hal itu kepada Mayang.
Wajah Mayang sontak memucat.