“Udah May, ambil makanannya?” Tiba-tiba terdengar suara Reindra dari belakang Mayang. “Sini gue bantuin bawa.”
Dari suara Reindra yang terdengar tegas, dan cengkeraman kuat tangan Reindra di bahunya, Mayang tahu bahwa Reindra sengaja menghentikan pembicaraannya dengan Dea sekaligus ingin menyelamatkan Mayang dari interogasi tak menyenangkan itu. Mayang menoleh ke arah Reindra dan melihat tatapan tajam Reindra yang ditujukan pada Dea. Tatapan yang menyiratkan pengibaran bendera perang yang sepertinya cukup dimengerti oleh Dea agar menutup mulutnya.
Tanpa mengatakan apa-apa lagi Mayang segera berbalik dan mengikuti langkah Reindra yang membawa beberapa piring berisi makanan. Sementara Mayang hanya membawa dua buah gelas berisi minuman dingin dengan tangannya yang gemetar. Mereka berdua kembali duduk di meja yang mereka tempati sebelumnya di area outdoor. Reindra segera meletakkan piring-piring yang dibawanya dan segera membantu Mayang meletakkan gelasnya. Mata Reindra menangkap tangan Mayang bergetar, dan segera menariknya untuk duduk di kursi.
“May, lo nggak apa-apa, kan?” tanya Reindra. “Nih, minum dulu, deh.”
Mayang menerima gelas yang diangsurkan oleh Reindra padanya dan meneguknya hingga habis. Ia menarik napas dalam-dalam, membuang rasa sesak yang memenuhi dadanya.
“Maaf ya May, gue seharusnya tadi jagain lo. Harusnya tadi gue aja yang ambil makanan ke dalam supaya lo nggak usah ketemu sama nenek lampir itu,” ucap Reindra kesal. “Kurang ajar banget dia ngomong gitu di depan orang-orang. Dia pasti sengaja melakukan hal itu supaya orang-orang ikut dengar. Apa untungnya bagi dia coba?”
Mayang hanya diam. Ia sendiri sangat terkejut dan mempertanyakan perkataan Dea tadi. Yang pertama, dari mana Dea tau kalau suami keduanya juga telah meninggal? Yang kedua, kata ‘juga’ yang ia sertakan setelah kata ‘meninggal’ itu seolah mengibaratkan bahwa hilangnya nyawa dua orang suami Mayang itu adalah akibat kesalahan Mayang.
Apa maksud Dea? Bukankah dia sudah mendengar dan melihat sendiri hasil pemeriksaan dokter visum yang mengatakan bahwa Ridho meninggal karena serangan jantung? Dan kalau dia memang sudah menyelidiki tentang Mayang, bukankah seharusnya Dea juga mengetahui bahwa Bayu, suami kedua Mayang juga meninggal karena serangan jantung? Lalu mengapa Dea bicara seperti itu, seolah-olah Mayang adalah seorang perempuan yang ceroboh yang membiarkan kedua suaminya meninggal?
“May … mau pergi ke luar dulu? Kalau mau menjauh dulu dari sini, gue temenin,” ujar Reindra yang sepertinya mengerti perasaan Mayang.
Mayang menoleh menatap Reindra. “Tapi nggak enak sama Dio, Rein. Acaranya kan masih berlangsung,” ucap Mayang.
“Dio pasti ngerti. Lo tunggu sini dulu, gue mau pinjam kunci mobil sama Dio,” ucap Reindra.
“Eh, jangan! Nanti malah mengundang perhatian. Gue males kalau si Dea dan kakak-kakaknya Dio malah jadi merhatiin kita,” ujar Mayang. “Gue malah pingin perginya diam-diam aja.”
Reindra menjulurkan kepala melihat ke arah ruangan dalam kafe, kemudian mengangguk. “Ya udah, kalau gitu kita jalan kaki aja keluar. Gue liat tadi nggak jauh dari kafe ini, ada kafe lain yang bisa buat tempat kita nongkrong. Masih satu deretan, tapi agak jauh. Nggak apa-apa?” tanya Reindra, menatap Mayang meminta persetujuan.
Mayang mengangguk. “Boleh. Yuk.”
Reindra segera berdiri dan menggandeng tangan Mayang, mengajaknya keluar. Reindra sengaja melakukannya untuk mengantisipasi seandainya apa yang ia pikirkan tentang Dea adalah benar. Ia ingin Dea dan semua orang yang melihat mereka mengira dirinya dan Mayang adalah pasangan agar Mayang tidak dikira sedang mengincar Dio. Mengenai Dio bisa saja berpikiran yang sama terhadap mereka, itu urusan belakangan. Saat ini prioritas Reindra harus melindungi Mayang terlebih dahulu. Tetapi saat mereka melewati ruangan dalam kafe untuk menuju ke pintu keluar, Sarah melihat mereka.
“Woi, mau ke mana lo berdua? Eh, lo kenapa, May?” tanya Sarah yang heran melihat wajah Mayang yang tampak sedikit pucat.
“Gue bawa Mayang keluar dulu ya, tadi ada serangan dari nenek lampir,” bisik Reindra pada Sarah sembari mengedikkan kepala ke arah dalam.
Sarah yang sepertinya langsung mengerti, mengangguk cepat. “Ya udah, kalian cari udara segar dulu deh di luar. Gue nanti nyusul, oke.”
Mayang serta Reindra mengangguk dan langsung meninggalkan Kafe Daun.
“Di sini aja yuk, May,” ucap Reindra sambil menunjuk sebuah kafe kecil di hadapan mereka. Kafe yang tampak asri itu hanya berjarak sekitar lima bangunan dari Kafe Daun.
“Oke,” Mayang mengangguk.
Setelah masuk dan mendapatkan tempat duduk, Reindra memesankan minuman untuk mereka berdua. Meskipun perut mereka masih terasa penuh, tetapi tidak etis rasanya kalau duduk di dalam tempat makan namun tidak memesan apa-apa.
Reindra menepuk bahu Mayang. “Udah aman,” ucapnya sambil tersenyum. “Lo rileks aja dulu ya, May.”
Mayang tersenyum pada Reindra. “Thanks, Rein,” ucapnya.
“Maaf ya, May, gue tadi harus ngegandeng lo keluar dari Kafe Daun,” ucap Reindra. “Supaya orang-orang mengira kalau lo sama gue ada hubungan special. Biar si Dea nggak mengira lo pacaran sama Dio.”
Mayang menatap Reindra dengan sedikit bingung. “Maksud lo?” tanyanya.
“Kalau dari yang gue liat tadi, Dea kayaknya sengaja ngomong kayak gitu supaya kakak-kakaknya Dio dengar dan tau apa yang pernah terjadi dengan diri lo,” jelas Reindra.
“Untuk apa si Dea melakukan itu?” tanya Mayang.
“Ya … gue rasa dia udah menduga kalau Dio suka sama lo. Atau lo suka sama Dio. Dan dia pingin mencegah itu terjadi, dengan membuat kakak-kakaknya Dio tahu bahwa lo punya pengalaman nggak bagus dengan dua suami lo sebelumnya,” jawab Reindra.
“Terus, keuntungannya buat dia apa?” tanya Mayang masih tak mengerti.
“Gue rasa Dea naksir Dio,” kata Reindra.
“Ha …? Lo tau dari mana?” tanya Mayang.
“Gue liat sendiri waktu Dea tadi pagi datang ke villa. Waktu dikenalin sama Dio, cara dia menatap dan senyum sama Dio itu kelihatan beda,” ucap Reindra. “Dia jelas naksir Dio.”
“Tapi kalau niat Dea mau mendapatkan Dio, kenapa nyerang gue? Kenapa ngga Sarah? Kan ada dua cewek di villa tadi. Kenapa dia langsung ngincernya gue, sih?” tanya Mayang semakin heran.
“Ya ampun, May,” ucap Reindra sembari geleng-geleng kepala. “Dio itu keliatan banget suka sama lo. Dia tipe orang yang nggak bisa nutupin perasaan. Dio bahkan lebih transparan lagi daripada Dea. Orangnya polos banget dalam berekspresi,” ucap Reindra sembari menahan senyum. Mayang mau tak mau ikut tersenyum juga mendengar pendapat Reindra tentang Dio.
“Nah, jadi intinya sekarang keluarganya Dio udah tau kalau lo udah pernah menikah dua kali. Dan pastinya sekarang mereka juga udah tau kalau kedua suami lo meninggal oleh sebab yang sama. Jadi, kalau lo ada rencana mau melanjutkan hubungan dengan Dio setelah ini, lo perlu banyak bersabar May. Karena pasti lo akan mendapatkan reaksi yang berbeda-beda dari setiap orang,” ucap Reindra to the point.
“Ya udah, gue nggak usah punya hubungan apa-apa dengan Dio,” kata Mayang dengan tanpa ekspresi. “Gue nggak mau nanti ada seseorang di kesempatan lain yang tiba-tiba ngomong kayak si Dea tadi gitu. Rasanya nggak enak banget, Rein. Gue jadi merasa kayak seorang terdakwa perbuatan kriminal.”
Reindra tersenyum. “Ya maksud gue bukan gitu, May. Kalau lo merasa cocok sama Dio, ya silakan lanjutkan aja. Gue sama Sarah pasti ngedukung dan ngebantu lo, kok. Tapi gue cuma mau lo siap kalau menghadapi orang yang model kayak Dea itu.”
Mayang hanya mengangkat bahu. Gara-gara kejadian tadi, Mayang jadi merasa enggan melakukan apapun yang berhubungan dengan kedekatan bersama laki-laki. Mayang tak memungkiri bahwa ia pasti suatu hari akan tertarik juga pada laki-laki. Kalau bukan Dio, mungkin laki-laki lainnya lagi. Tetapi jika memikirkan keengganan menghadapi orang seperti Dea, rasanya malas sekali punya pasangan lagi.
“Nih, minum dulu,” ucap Reindra sembari menyorongkan segelas minuman yang baru saja diantarkan oleh pelayan kafe tersebut.
Mayang mengangguk dan meneguk minuman tersebut. “Sarah nggak apa-apa kan, kita tinggalin di sana?” tanya Mayang merasa tidak enak hati karena tadi langsung pergi begitu saja tanpa berpamitan dengan jelas pada sahabatnya itu.
“Nggak apa-apa,” ucap Reindra. “Kalaupun dia belum jelas kenapa kita tiba-tiba pergi, nanti kan bisa kita jelasin setelah ketemu.”
Selama beberapa saat kemudian, Mayang dan Reindra hanya duduk diam di kursinya masing-masing sembari menikmati minuman mereka. Mayang menatap ke jalan raya yang ramai di depan kafe dengan bermacam-macam pikiran, sementara Reindra dengan sabar menunggu Mayang selesai menenangkan pikirannya.
Setelah kira-kira setengah jam kemudian, ponsel Reindra berbunyi. “Halo?” sapa Reindra.
Reindra tampak menyimak sebentar, kemudian menjawab, “Artisian Kafe, masih deretan Kafe Daun juga, kok. Oke.”
Mayang menoleh menatap Reindra. “Siapa, Ren?” tanyanya.
“Sarah. Dia sama Dio mau jemput kita di sini,” ucap Reindra.
Mayang mengerutkan dahi. “Emangnya acaranya Dio udah selesai?” tanya Mayang.
Reindra mengangkat bahu. “Udah, mungkin,” sahutnya.
Tak berapa lama kemudian, mobil Dio tampak berhenti di tepi jalan di depan Artisian Kafe tempat Mayang dan Reindra berada.
“Itu mereka. Yuk,” ajak Reindra sembari berdiri dari kursinya.
“Oke,” sahut Mayang mengikuti Reindra.
Mayang dan Reindra masuk ke dalam mobil Dio. Sarah tampak sudah siap duduk di sebelah Dio dengan peralatan fotografinya.
“Emang acaranya udah selesai, Dio?” tanya Reindra. “Cepet banget.”
“Acara intinya udah. Tinggal makan-makan aja. Biarin aja. Kan, ada karyawan gue,” ucap Dio santai.
“Kata Dio, kita mau diajak jalan-jalan ke tempat wisata hutan pinus, loh!” ucap Sarah bersemangat.
“Di mana hutan pinusnya?” tanya Mayang.
“Deket kok dari sini, May,” ucap Dio sembari menoleh ke belakang dan tersenyum pada Mayang. “Masih area Lembang juga.”
“Ooh ….” Mayang mengangguk.
“Di sana nanti kita bisa sewa tenda, bisa foto-foto juga,” jelas Dio.
“Kita mau nginap di sana?” tanya Reindra.
“Bebas sih, terserah kalian aja,” ucap Dio. “Nginap asyik juga. Tapi kalau nanti malam udah merasa cukup atau ngerasa lebih enak pulang ke villa, ya ayuk aja. Gue cuma mau ngajak kalian refreshing aja.”
“Oke, siipp!” sahut Reindra.
Mayang melihat ke luar jendela mobil. Dio pasti sudah mendengar cerita tentang kejadian tadi meskipun mungkin belum jelas. Tapi dari sikap Dio yang memilih untuk meninggalkan acara launching kafenya dan mengajak mereka jalan-jalan, sepertinya Dio sudah mengerti kalau telah terjadi sesuatu yang membuat Mayang tidak nyaman dan berusaha menghiburnya dengan suasana yang berbeda. Mereka juga tidak sekalipun membahas atau menanyakan kepada Mayang soal kejadian yang membuatnya pergi dari kafe tadi. Dan Mayang merasa sangat berterima kasih untuk hal itu.
Tak berapa lama mereka tiba di lokasi wisata hutan pinus. Panasnya siang hari kota Bandung tadi terasa jauh lebih redup ketika mereka memasuki lokasi wisata ini. Baru di area parkirnya saja, udaranya sudah terasa begitu sejuk. Setelah memarkirkan mobilnya, Dio mengingatkan Mayang, Sarah dan Reindra agar membawa jaket tebal masing-masing yang sejak kemarin memang mereka tinggalkan di dalam mobil.
Setelah membayar retribusi, mereka bertiga masuk ke area wisata.
“Wuaaah, ini keren banget buat foto-foto!” seru Sarah kegirangan.
“Iya, keren banget!” timpal Mayang yang terkagum-kagum melihat barisan pohon pinus yang berjajar rapi memenuhi seluruh area di dalam tempat itu.
“Rumah-rumah kecil itu lucu banget!” Reindra menunjuk ke arah pondok-pondok kecil yang tersebar di beberapa titik. “Itu disewain, ya?” tanyanya.
“Iya, disewain,” jawab Dio. “Tapi sekarang pasti udah penuh. Kalau mau nginap di penginapan-penginapan itu, harus jauh-jauh hari bookingnya. Tapi kalau sewa tenda sih biasanya selalu ada.”
“Waah, kita ke situ, yuk!” Sarah menunjuk ke sebuah jalan kecil yang membelah pepohonan pinus itu hingga jauh. “Foto di situ!”
“Ayuk!” sahut Mayang yang langsung mengikuti Sarah. Dio dan Reindra juga mengekor tak jauh di belakang mereka.
“Rein,” bisik Dio, “Mayang baik-baik aja, kan?”
“Baik,” ucap Reindra. “Sempet shock sih, tapi sekarang kayaknya udah nggak apa-apa.”
“Hmm … syukurlah,” ucap Dio sembari memerhatikan Mayang dari belakang.
“Emang lo tau kejadian tadi, Dio?” tanya Reindra.
“Tadinya gue nggak tau,” ucap Dio sambil memperlambat langkahnya, agar dapat berbicara dengan Reindra lebih leluasa tanpa risiko terdengar oleh Mayang dan Sarah yang berjalan di depan mereka. “Gue cuma liat dari jauh, lo sama Mayang tiba-tiba pergi dari kafe. Terus gue nanya Sarah, tapi Sarah juga nggak ngerti ada apa. Eh, tiba-tiba Mbak Miranda deketin gue, terus ngasih tau soal kejadian di meja prasmanan.”
“Mbak Miranda ….” Dahi Reindra sedikit berkerut, berusaha mengingat siapa Miranda.
“Istrinya Mas Aldo, kakak ipar gue,” jelas Dio.
“Oh, iya. Tadi memang dia ada di sana,” ucap Reindra.
“Iya. Mbak Miranda ngasih tau gue, Dea ngomong apa aja ke Mayang. Katanya setelah Mayang pergi sama lo ke area outdoor, si Dea ngasih tau Mbak Mir, Mas Aldo dan Mbak Shita tentang masa lalu Mayang,” ucap Dio.
“Soal Mayang udah pernah menikah dua kali?” tanya Reindra.
“Iya. Tapi kalau cuma soal itu sih, gue udah pernah dikasih tau sama Sarah,” ucap Dio. Ia mengerutkan dahinya berpikir. “Tapi yang gue baru tau itu adalah penyebab meninggalnya kedua suami Mayang yang sama-sama akibat serangan jantung. Dan juga ….” Dio menjeda sesaat.
“Juga apa?” tanya Reindra.
“Dan juga, kedua suami Mayang itu meninggalnya di waktu yang sama. Tepat setelah … ng … setelah malam pertama mereka,” ucap Dio merasa sedikit sungkan mengatakan hal seperti itu.
“Hmm ….” Reindra hanya bergumam tak jelas. Sesaat ia teringat cerita Mayang tentang mitos sengkolo bahu laweyan yang ia dengar dari ibunya dan peringatan ibunya untuk tidak menikah lagi. Reindra berpikir apakah ini waktu yang tepat baginya untuk membahas soal itu dengan Dio, dan apakah pantas jika dirinya yang mengatakannya pada Dio dan bukannya Mayang sendiri.
“Sebenernya sih menurut gue itu bukan hal yang aneh,” lanjut Dio, “itu kan hanya sebuah kebetulan. Tapi tadi itu, dari cara Dea cerita ke kakak-kakak gue, kok seolah-olah hal itu adalah … mm … apa ya, seolah Dea itu menganggap kalau kematian kedua suaminya Mayang itu adalah akibat perbuatan Mayang. Padahal kan udah jelas, hasil pemeriksaan dokter mengatakan kalau suaminya itu sakit jantung.”
Reindra hanya diam, masih bingung hendak menanggapi apa. Dari yang ia dengar melalui Dio barusan, sepertinya Dea memiliki dugaan soal kutukan itu terhadap Mayang.
“Si Dea itu kok bisa tau kalau suami kedua Mayang juga meninggal dengan cara yang sama seperti kakaknya, ya? Padahal Bayu dan Ridho kan nggak saling kenal?” Reindra bertanya-tanya.
“Kalau dari cerita Mbak Miranda, kayaknya si Dea itu emang sengaja menyelidiki kehidupan Mayang. Mungkin dia masih dendam sama Mayang karena kakaknya meninggal setelah menikah dengan Mayang,” ucap Dio.
“Terus, pendapat kakak-kakak lo tentang cerita Dea, gimana?” tanya Reindra menyelidik. Ia tidak ingin Mayang kembali menerima perlakuan tidak menyenangkan dari orang lain, misalnya kakak-kakak Dio karena gosip tentang mitos tersebut.
“Kalau Mbak Miranda sih kayaknya netral, dia orangnya easy going banget dan nggak suka nyinyir. Mas Aldo juga nggak pedulian sama hal kayak gitu. Tapi kalau Mbak Shita gue nggak tau deh. Apalagi Dea itu temennya Mbak Shita, kan?” ucap Dio ragu.
“Hmm ….” Reindra kembali bergumam tidak jelas.
“Tapi gue masih bingung dan penasaran nih,” ucap Dio, “sebenarnya apa sih yang mau diungkapkan oleh Dea? Hal apa yang sebenarnya mau dia katakan tentang Mayang mengenai cara kematian kedua suaminya yang sama persis itu? Gue bingung. Pasti ada yang mau dikatakan oleh si Dea mengenai hal itu, kan? Dia mau bilang Mayang kenapa sih, sebenernya? Pesugihan? Atau apa?” tanya Dio.
Mendengar kata ‘pesugihan’ membuat Dio terkejut dan sontak menoleh pada Dio. Dia tak menyangka Dio bakal mengarah kepada hal mistis seperti itu.
“Emang … lo bakal percaya kalau Dea nuduh Mayang pesiguhan?” tanya Reindra langsung.
“Nggak,” jawab Dio sambil menggelengkan kepala. “Gue yakin Mayang nggak kayak gitu.”
Reindra mengembuskan napas lega mendengar kata-kata Dio.
“Tapi dari nada bicara Dea yang disampaikan oleh Mbak Miranda ke gue itu, seolah-olah Dea menyiratkan sesuatu yang misterius atau bahkan mistis mengenai kejadian kematian suami-suaminya Mayang itu,” ucap Dio yang semakin penasaran.
Sejenak Reindra kembali terdiam. Ingin rasanya ia memberitahukan Dio kemungkinan apa yang mungkin dipikirkan oleh Dea, tapi ia juga tak ingin berkesan menceritakan hal buruk tentang Mayang meskipun itu hanya mitos.
“Dio! Reindra! Sini cepet! Kita foto di sini!” panggil Sarah dari kejauhan sembari melambai-lambai dengan bersemangat.
“Eh, kita dipanggil tuh,” ucap Reindra. “Nanti aja kita lanjutin bahas tentang si Dea ya, kasian Mayang kalau tau kita ngomongin dia, nanti tambah sedih.”
“Tapi gue tuh maksudnya pingin minta maaf sama Mayang,” ucap Dio.
“Minta maaf soal apa?” tanya Reindra heran. “Emang lo bikin salah?”
“Minta maaf karena Dea udah bikin Mayang nggak nyaman sampai harus pergi ninggalin acara di kafe gue. Kan, Dea itu temennya Mbak Shita. Nah, Mbak Shita kan kakak gue. Jadi gue merasa perlu minta maaf, Rein. Gue ngerasa bersalah udah bikin suasana hati Mayang jadi rusak gara-gara salah satu tamu gue,” ucap Dio sungguh-sungguh.
Reindra tersenyum dan menepuk-nepuk punggung Dio. “Gue hargain sikap lo ke Mayang. Tapi sebaiknya minta maafnya nanti aja pas lo ada waktu untuk berduaan aja sama dia, biar lebih private. Kalau ada gue sama Sarah, nanti malah Mayang tambah ngerasa nggak nyaman. Nah, sekarang kita foto-foto dulu. Oke!"
“Oke. Thanks, Rein,” sahut Dio balas tersenyum pada Reindra.
Siang hingga sore itu, Mayang, Sarah, Dio dan Reindra asyik menikmati suasana hutan pinus yang sejuk dan asri. Meskipun cukup banyak pengunjung yang datang, namun tempat tersebut tetap terasa nyaman untuk bersantai. Dio menyewa sebuah tenda besar untuk mereka duduk-duduk sembari menikmati makanan kecil dan minuman hangat yang mereka beli di restoran lokasi wisata tersebut.
“Nanti sore kalau udah gelap, lampu-lampu yang di jembatan itu nyala semua,” ucap Dio sembari menunjuk ke arah jembatan yang pada sepanjang kayu-kayu penopangnya dipasangi lampu-lampu kecil berderet. "Bagus banget buat foto.”
“Siap! Nanti kita foto juga di situ!” sahut Sarah tanpa dikomando lagi.
Senja tiba dan kemudian berganti malam. Mereka berempat masih asyik menikmati suasana sampai akhirnya terdengar keluhan dari mulut Sarah.
“Laper, euy ….” ucapnya lirih sembari bersandar pada sebatang pohon pinus.
“Buset, Sar,” tukas Reindra, “Bukannya barusan kita udah makan cemilan? Tadi siang juga lo bukannya udah makan?”
Sarah mendelik pada Reindra. “Ya memang. Tapi kenyataannya gue udah laper lagi, nih. Pingin makan yang berat-berat.”
Dio tertawa. “Ya udah yuk, kita pulang. Sebelumnya cari makan dulu. Udah cukup kan, foto-fotonya?”
“Aseeekk! Makan!” ucap Sarah bersemangat.
“Lo lagi pingin makan apa, May?” tanya Dio sembari menoleh pada Mayang.
“Lah? Woi, Dio!” seru Sarah pada Dio. “Yang bilang laper kan gue, kenapa jadi Mayang yang ditanya?”
Protes keras Sarah membuat yang lain tertawa termasuk Mayang.
“Lo sih, berisik, Sar,” ucap Mayang. “Makanya kalem aja kayak gue. Nanti juga ditawarin makan.”
“Alaa emang aja si Dio pilih kasih,” omel Sarah sembari membereskan peralatan fotonya.
“Ya udah, ya udah,” sela Dio sembari terkekeh. “Lo pingin makan apa, Sar?” tanyanya.
“Ng … apa, yah?” Sarah berpikir sambil menyatukan kedua alisnya. “Ada rekomendasi, nggak?” tanya Sarah pada Dio.
“Ya elah ngeselin,” tukas Reindra. “Pingin ditanya, tapi begitu udah ditanya, jawabannya malah gitu.”
Sarah terkikik geli. “Biarin, yey!” kilahnya.
“Gimana kalau sate kambing dan sop kambing?” usul Dio. “Pada suka nggak? Ada sum sum juga loh!”
“Enak nggak?” tanya Reindra ragu. “Soalnya pengalaman gue makan sate kambing itu ….”
“Satenya empuk kok, enak. Nggak ada aroma aneh-aneh juga. Yang masaknya jago soalnya. Lo bakalan mengira yang lo makan itu daging sapi, bukan daging kambing,” ucap Dio cepat.
“Weiss … oke, setuju kalau gitu!” ucap Reindra.
“Oke, gue juga!” sahut Sarah.
Dio menoleh ke arah Mayang. “Gimana, May? Mau?” tanya Dio.
“Oke aja,” ucap Mayang sembari tersenyum. “Gue ngikut.”
Dan satu jam setengah jam kemudian, karena kemacetan kota Bandung di malam Minggu, mereka tiba di restoran yang dimaksud oleh Dio tadi. Segera saja mereka memesan semua menu yang ada di restoran yang terletak di tepi jalan besar itu. Dengan mengelilingi sebuah meja kecil yang diletakkan di luar restoran, mereka saling berbagi semua makanan yang terhidang di atas meja.
“Kayaknya setelah pulang ke Jakarta timbangan gue bakal naik dua kilo, deh,” gumam Mayang.
“Kalau gue kayaknya tiga kilo,” ucap Reindra.
“Gue dua kilo setengah,” kata Sarah.
“Tanggung amat pake setengah, kayak ibu-ibu nawar pas beli daging di pasar,” komentar Dio geli. Dan semua tertawa mendengarnya.
“Soal berat badan, tenang aja. Nanti kita jogging di Senayan setiap akhir minggu,” ucap Dio. “Gimana? Setuju? Kemarin sih gue sama Mayang udah rencana mau rutin olahraga. Iya kan, May?”
Mayang mengangguk. “Iya. Yuk, Sar, Rein. Biar sehat kita,” ajak Mayang.
“Ah, nanti kita malah ganggu kalian, lagi,” ucap Sarah sembari cengar cengir usil.
“Iya, nggak usah. Kalian berdua aja yang jogging di Senayan. Gue sama Sarah nanti lari-lari di tempat aja,” ucap Reindra kalem. Dan kata-kata Reindra malah membuat Mayang dan Dio kembali tertawa terbahak-bahak meskipun dalam hati malu dengan kalimat menggoda yang dilancarkan pada mereka.
Selesai makan dan perut mereka sudah terasa sangat penuh, keempat orang itu memutuskan untuk beranjak dari restoran yang semakin malam justru semakin penuh pengunjung itu. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat tiga puluh malam dan sudah waktunya mereka kembali ke villa Dio.