“Mayang …?”
“Dea …?”
Shita mengangkat alisnya menatap temannya dan Mayang bergantian. “Kalian udah saling kenal?”
“Ng … iya, pernah kenal,” jawab Dea dengan wajah kaku, seperti sedang menahan perasaan entah apa. Sementara Mayang hanya diam saja dan bahkan mengalihkan pandangan dari Dea.
Melihat situasi yang terasa aneh dan terasa tidak nyaman ini, Dio segera memecah kekakuan yang terjadi. “Ya udah, Mbak Shita sama Mbak Dea silakan masuk aja. Nanti aku minta Mang Ujang siapin minuman sama makanan,” ucap Dio segera.
“Eh, nggak usah Dio, aku sama Dea tadi rencananya mau langsung ke Bandung, cari sarapan terus shopping dulu. Nanti acara kafe kita jam berapa ya?” tanya Shita.
“Jam dua belas, Mbak. Jam makan siang,” jawab Dio.
“Oh, oke. Kita ketemu di sana aja nanti, ya!” ucap Shita. “Yuk, semuanya, kami pergi dulu, ya! Bye!”
“Iya, bye!” sahut Sarah dan Reindra. Sementara Mayang hanya melemparkan senyum tipis pada Shita dan Dea.
Setelah Shita dan Dea tidak terlihat lagi, sebelum Sarah yang merasa penasaran akan sikap Mayang yang aneh saat melihat Dea bertanya macam-macam, Mayang segera bangkit dari tepi kolam.
“Eeng … gue nggak jadi berenang, deh, Sar. Gue mau ke kamar dulu, ya,” ucap Mayang yang langsung pergi meninggalkan kolam dan masuk ke dalam rumah.
Sarah, Reindra dan Dio saling berpandangan seolah melempar tanya. Tetapi hasilnya mereka hanya mengangkat bahu bersama-sama karena tidak tahu apa yang terjadi dengan Mayang barusan. Akhirnya Sarah ikut bangkit dan berkata pada Dio dan Reindra. “Kalian berenang aja, gue mau ke kamar nyusul Mayang. Maybe it’s only a girl thing,” ucap Sarah.
“Oke,” ucap Dio dan Reindra berbarengan. Meskipun tampak sangat penasaran dan seperti ingin mengikuti langkah Sarah untuk mencari Mayang, namun Dio menahan diri dan tetap di tempatnya bersama Reindra.
Sarah masuk ke dalam rumah dan langsung menuju ke kamar tidurnya. Tanpa mengetuk pintu, Sarah langsung masuk dan menemukan Mayang sedang duduk di tepi tempat tidur. Kepalanya bertopang pada kedua lengan yang bertumpu pada kedua lututnya.
“May …? Lo kenapa?” tanya Sarah.
Mayang menggeleng tanpa melepaskan pandangan pada dinding kosong yang ada di hadapannya. Sarah mendekat dan ikut duduk di tepi tempat tidur, di samping Mayang.
“Lo kenal ya, sama cewek yang tadi itu? Siapa tadi namanya ….” Sarah mengerutkan dahi berpikir.
“Dea,” ucap Mayang.
“Iya, itu,” sahut Sarah. “Dea itu siapa sih, May? Kok, kalian kayak sama-sama kaget tadi?” tanyanya.
Mayang menarik napas panjang sambil menegakkan tubuhnya. Kemudian dia menoleh pada Sarah.
“Dea itu, adiknya almarhum Mas Ridho, Sar,” ucap Mayang.
“Hah …?” Sarah terkejut. “Adiknya … Mas Ridho mantan suami lo ….?”
Mayang mengangguk. Sarah terdiam. Saat dulu Mayang menikah dengan Ridho empat tahun lalu, mereka sudah sama-sama bekerja di Majalah Style, tetapi belum terlalu akrab. Sarah dan Reindra saat itu juga masih berpacaran dan tidak terfokus pada kehidupan Mayang. Mereka bertiga baru akrab setelah Ridho meninggal dan Sarah putus dari Reindra. Dan Sarah tidak terlalu tahu tentang kejadian setelah Ridho meninggal dan juga tidak sempat mengenal kerabat keluarga Ridho.
“Gue dulu sempat bertengkar hebat sama Dea,” ucap Mayang. “Setelah Mas Ridho diketemukan meninggal pagi itu, entah kenapa Dea kalap dan langsung menuduh kalau gue sengaja membunuh Mas Ridho.”
“Hah? Dia … nuduh lo bunuh Ridho? Atas dasar apa?” tanya Sarah emosi.
“Soal harta. Ridho kan asetnya banyak, Sar. Dan Ridho itu udah nggak punya orang tua sejak remaja. Dia adalah tulang punggung keluarga. Makanya waktu Ridho meninggal, si Dea itu langsung nuduh gue sengaja meracuni Mas Ridho karena ingin menguasai hartanya,” jelas Mayang.
“Astaga ….” Sarah menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kok lo nggak pernah cerita ke gue soal ini, May?”
Mayang tersenyum pahit. “Jangankan cerita. Gue aja pingin segera menghilangkan memori itu dari pikiran gue, Sar. Itu kan kenangan yang sangat nggak enak untuk disimpan. Waktu itu Dea dan adik-adiknya sampai minta penyelidikan lebih lanjut tentang kematian Mas Ridho. Mereka minta visum untuk membuktikan kalau Mas Ridho memang meninggal karena serangan jantung, bukan karena diracun,” jelasnya lemah.
“Ya ampun … keterlaluan! Masa mereka nuduh lo ngeracun suami lo sendiri, sih? Lagian kalau lo mau ngebunuh orang untuk menguasai hartanya, masa lo bunuh dia pas di malam pertama? Yang pinter dikit lah kalau mau berbuat kejahatan. Nanti-nanti dulu, gitu!” omel Sarah emosi.
Mayang menggelengkan kepalanya perlahan. “Karena sejak awal si Dea ini memang kelihatan nggak suka banget sama gue, entah kenapa. Padahal waktu nikah, gue nggak minta dipestain dan nggak minta macam-macam supaya nggak dianggap matre. Tapi tetep aja dia nggak suka sama gue. Makanya setelah Mas Ridho ternyata meninggal, dia jadi punya alasan untuk semakin benci sama gue.”
“Ya terus setelah terbukti kalau Ridho bener-bener meninggal karena serangan jantung, gimana reaksi dia? Nggak minta maaf sama lo karena udah sembarangan nuduh?” tanya Sarah ketus.
Mayang menggeleng. “Boro-boro minta maaf. Dia tetep aja memerlihatkan ketidaksukaannya sama gue dan langsung mengusir gue dari rumah. Yah, sama seperti yang gue alami kemarin sama keluarga Mas Bayu.”
Sarah menatap Mayang dengan perasaan miris. Betapa menyedihkannya nasib sahabatnya ini. Ternyata masih banyak kepahitan yang disembunyikan oleh Mayang dibalik sikap ramah dan cerianya setiap sedang bersama mereka. Sarah melingkarkan lengannya di bahu Mayang.
“Sabar ya, May,” ucapnya lembut. “Gue yakin si Dea tadi itu nggal bakal bisa nuduh lo macam-macam lagi. Buktinya tadi waktu dia ngeliat lo, dia cuma bisa kasih muka tanpa ekspresi gitu, kan? Karena dia nggak punya bahan untuk menyerang lo. Lagipula kalau dipikir-pikir, harusnya dia yang minta maaf sama lo karena udah nuduh lo yang nggak-nggak. Tadi itu, seharusnya dia yang malu!”
Mayang hanya terdiam. Ia sendiri tidak yakin Dea akan malu bertemu dengannya. Dari kilatan matanya yang terlihat tajam menusuk tadi, Mayang malah punya perasaan kalau Dea akan segera memberitahu Shita, kakak Dio, tentang kejadian di masa lalu itu. Dan setelah itu sudah bisa dipastikan Shita akan memberitahu Dio tentang masa lalu Mayang dan mungkin akan memperingatkannya untuk tidak terlalu dekat dengan Mayang.
Mayang mengembuskan napasnya dengan kasar. Kepalanya terasa sedikit pusing. Mungkin karena baru tidur sebentar tadi malam.
“Gue … mau tiduran sebentar ya, Sar,” ucap Mayang. “Lo kalau mau berenang lanjutin aja. Nanti kalau udah mau berangkat ke acara kafe, bangunin gue, ya.”
“Oke, May. Ya udah lo istirahat aja, ya,” ucap Sarah sembari mengusap lembut bahu sahabatnya, kemudian beranjak pergi keluar dari kamar itu.
Rasanya baru beberapa menit Mayang tertidur, ia sudah terbangun kembali karena mendengar suara aktifitas di dalam kamarnya. Saat ia membuka mata, tampak Sarah sedang berganti pakaian.
“Mmh … udah mau berangkat, ya?” tanya Mayang sambil bangkit dari posisi berbaringnya.
“Hei, May, udah bangun? Baru aja mau gue bangunin,” tanya Sarah sembari tersenyum. “Iya, lagi pada siap-siap mau berangkat. Nih, gue baru selesai mandi.”
“Ya udah gue siap-siap, ganti baju dulu. Tadi kan gue udah mandi,” ucap Mayang sambil beranjak bangkit dari tempat tidur.
“Eh, May, tunggu,” cegah Sarah. “Tadi Dio bilang kalau lo nggak enak badan, lo di sini aja nggak apa-apa. Jangan dipaksain pergi. Nanti gue temenin kalau emang lo mau tinggal di sini. Biar Dio pergi berdua sama Reindra aja.”
Mayang menggeleng. “Gue udah enakan, kok. Tadi itu gue pusing karena kaget aja liat si Dea, dan gue emang kurang tidur semalam. Lagian masa udah sampai sini nggak jalan-jalan ke mana-mana, sih? Rugi, dong. Ya udah gue cuci muka dulu yah, terus ganti baju,” ucap Mayang.
“Ya udah, oke,” kata Sarah.
Beberapa menit kemudian Mayang dan Sarah sudah keluar dari kamar dalam balutan pakaian santai yang tampak cukup stylish. Keduanya memakai pakaian yang sedang hits saat ini menurut versi Majalah Style, dengan gaya make up yang juga sedang in. Mereka memang berusaha tampil sebaik mungkin untuk menghormati undangan dari Dio sebagai pemilik Kafe Daun yang akan dilaunching itu. Lagipula rencana awal mereka adalah memang untuk bertukar endorse, saling berbalas promosi di media sosial masing-masing.
“Wuiiihh, gila! Kalian keren banget, udah kayak foto model Majalah Style aja!” komentar Reindra saat melihat Mayang dan Sarah berjalan ke arah ruang keluarga.
Mayang dan Sarah sama-sama meledak tertawa mendengar komentar dari Reindra.
“Lo juga kenapa tumben banget keliatan keren, Rein? Biasanya kan tampilan lo standar banget,” celetuk Sarah santai.
“Sialan!” maki Reindra yang memang saat itu mengenakan fashion yang up to date sekali.
“Kalian bertiga keren-keren banget, sampai minder gue,” ucap Dio jujur sembari menatap ketiga orang yang ada di hadapannya itu. “Bener-bener kayak model profesional. Bakal keren banget nih, foto-foto promosi kafe gue.”
“Oh, kalau soal foto yang keren, itu tergantung fotografernya juga, laah,” ucap Sarah menyombongkan diri.
“Ngomong-ngomong, lo ngapain ikutan dandan kayak gitu, Sar? Kan lo tukang fotonya, nggak ikut difoto, dong?” ucap Reindra.
“Ya elah, kan gue ada asisten pribadi. Nih,” ucap Sarah sembari menyambar tripod yang ia sandarkan di samping sofa lalu mengacungkannya. “Jangan salah Rein, dengan adanya penemuan teknologi mutakhir ini, fotografer zaman sekarang juga bisa ikut eksis!” Dan semua tertawa mendengar perkataan Sarah.
“Ya udah, kita jalan, yuk!” ajak Dio.