Berangkat ke Bandung

1304 Words
Setelah menghabiskan semua makanan dan minuman yang mereka pesan, akhirnya tiba waktunya berangkat. “Udah jam sembilan malam nih, kita berangkat yuk,” ajak Dio. “Kayaknya kalau jam segini jalannya, nanti nggak terlalu macet di tollnya. Tau sendiri kan, toll arah ke luar Jakarta kalau weekend gini.” “Iya bener, jam segini pas lah,” kata Reindra, “tenang aja, kalau lo perlu gantian gue siap kok. Nih, gue udah minum kopi.” Reindra menepuk bahu Dio sembari menunjukkan gelas kopinya yang sudah kosong. “Oke, Bro. Siap!” ujar Dio sembari nyengir pada Reindra. Ia merasa senang teman-teman Mayang cepat akrab dengannya, terutama Reindra yang sesame laki-laki. Membuat dirinya nyaman berada bersama mereka. Terus terang sejak beberapa tahun lalu Dio memang tidak banyak nongkrong bareng dan bersosialisasi dengan teman-temannya karena sibuk merintis usaha dan membesarkan usaha milik mendiang kedua orang tuanya. Mereka kemudian beranjak dari tempat itu dan keluar ke parkiran. Reindra dan Sarah memasukkan barang-barang mereka ke dalam bagasi belakang mobil. “Sar, peralatan fotografi lo di sini aja taruhnya,” ucap Dio sambil menyiapkan sisi bagian samping bagasi yang sudah ia alasi dengan alas lebar yang empuk semacam bed cover tebal. “Biar aman kalau ada guncangan.” “Waaah, lo perhatian banget sih, sama gue Dio! Makasih yah Bro!” ucap Sarah sembari cengengesan pura-pura tersipu. “Dio bukannya perhatian ama lo, Sar. Dia Cuma khawatir peralatan foto lo rusak. Jangan GR deh,” ucap Reindra sembari menjitak kepala Sarah. Dio tertawa. “Gue perhatian juga kok sama kalian semua. Tuh, di dalam udah gue sediain bantal-bantal kalau ada yang mau tidur. Selimut juga ada, barangkali perlu,” ucap Dio. “Ada camilan nggak?” tanya Sarah ngelunjak. “Ada, doong. Tapi cuma yang ringan-ringan aja, sih,” ucap Dio. “Tuh, di kursi tengah.” “Widiihh, prepare banget lo Bro. Oke, gue duduk di tengah,” ucap Reindra sembari beranjak menuju pintu tengah. “Gue juga!” ucap Sarah segera. Ia langsung mengerti dengan tindakan Reindra yang buru-buru menempati tempat duduk tengah agar Mayang duduk di depan bersebelahan dengan Dio. Mayang yang sedang ikut merapikan tas dan barang bawaan mereka yang lain langsung tahu kedua temannya sedang menggodanya. Tapi Mayang diam saja dan membiarkannya, karena jika ia menolak duduk di depan, justru akan lebih terlihat kalau dia menghindari Dio. Dan hal itu akan membuat suasana di antara mereka menjadi kaku. Maka dari itu Mayang memilih bersikap santai saja mengikuti alur. Ia juga ingin menghargai kebaikan hati Dio yang sudah sangat baik terhadapnya dan teman-temannya. Kalaupun Dio melakukan itu demi bisa mendekati dirinya, bagi Mayang hal itu dimaklumi. Toh, sikap Dio memang tulus pada teman-temannya. Mayang bisa melihat bahwa Dio memang benar-benar baik, bukan hanya sedang saat ada maunya saja. Dan akhirnya, dengan Dio di belakang kemudi, dan Mayang duduk di sebelahnya, serta Sarah dan Reindra yang duduk di kursi tengah sibuk memperebutkan keripik kentang dan minuman dingin, berangkatlah keempat orang itu menuju ke arah Bandung. Jam sepuluh lewat tiga puluh malam, setelah terjebak dalam beberapa titik kemacetan dalam perjalanan, mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak di salah satu rest area. Sarah dan Mayang sudah ingin sekali pergi ke kamar mandi gegara terlalu banyak minum sejak di Kafe Daun sebelum mereka berangkat tadi. Setelah Dio memarkirkan mobil di salah satu area parkir mobil dekat denga lokasi toilet, Sarah dan Mayang segera turun dan menghambur masuk ke dalam toilet, diiringi tawa terkekeh-kekeh para laki-laki. Reindra dan Dio mulai menyalakan rokok masing-masing sembari meregangkan otot yang pegal. “Mau gue gantiin nggak, Bro?” tanya Reindra pada Dio. “Nggak usah, nggak apa-apa, kok,” ucap Dio. “Masih aman.” Kemudian Reindra mencondongkan tubuh ke samping dan berbisik pada Dio, “Tenang aja, kalau gue yang nyetir, nanti Sarah ikut pindah ke depan juga. Tukeran sama Mayang. Gimana?” Seketika Dio tersedak asap rokoknya sendiri. Membuat Reindra tertawa tergelak-gelak. Usahanya menggoda Dio berhasil, karena Dio tampak tergagap ingin menjawab sampai tersedak. “Keliatan jelas banget, ya, gue?” tanya Dio akhirnya, merujuk kepada soal perasaannya terhadap Mayang. Dio memilih untuk terus terang pada Reindra karena sudah terlanjur ketahuan. Reindra mengangguk sembari nyengir. “Duh, kurang jago nih gue,” keluh Dio malu sembari garuk-garuk kepala. “Bukan kurang jago, tapi lo emang jujur orangnya, jadi nggak bisa nutup-nutupin,” ucap Reindra. “Lagian ngapain juga ditutup-tutupin, Mayang juga udah paham pasti.” “Aduh, iya ya? Terus … kira-kira … Mayang gimana ya, pendapatnya tentang gue?” tanya Dio dengan suara rendah, khawatir terdengar oleh para cewek jika mereka tiba-tiba keluar dari toilet. “Hmm ….” Reindra mengerutkan dahi. “Gue juga nggak tau gimana pendapat Mayang tentang lo. Soalnya dari kemarin kalau gue sama Sarah ngeledekkin dia tentang lo, si Mayang tuh cuma kalem aja gitu. Nggak komentar apa-apa.” “Ooh, gitu ….” gumam Dio terlihat sedikit kecewa. “Tenaang, selow aja, Bro,” ucap Reindra sembari menepuk punggung Dio. “Nggak komentar apa-apa bukan berarti dia nggak suka sama lo. Kan, dengan Mayang nggak nolak waktu lo ajak jalan ke Bandung, itu tandanya dia menerima pendekatan yang lo lakukan. Iya, kan?” “Mm ... gitu, ya?” tanya Dio tak yakin. “Iya, gitu. Kalau Mayang nggak suka sama lo, atau ngerasa nggak cocok, dia nggak akan mau jalan bareng sama lo, meskipun ada gue sama Sarah. Mayang orangnya nggak suka basa basi. Dia kalau nggak suka sama sesuatu atau seseorang, bakal keliatan banget, kok,” ucap Reindra menyemangati Dio. “Kalau gitu … berarti sekarang gue tinggal ngelanjutin aja, ya?” tanya Dio ragu. "Maksudnya ... gue lanjutin deketin dia kayak gini?" “Yoi. Lanjutin aja pendekatan lo ke dia pelan-pelan. Santai aja. Yah ... lo ngertiin aja, dia kan baru ditinggal suaminya. Dan ini udah yang kedua kalinya pula. Pasti setelah mengalami semua itu, dia juga nggak mau buru-buru untuk memulai hubungan lagi. Go with the flow aja dulu, Bro. Oke!” ucap Reindra. “Oke. Thanks, Bro,” ucap Dio sembari nyengir. Dan tepat pada saat itu Mayang dan Sarah keluar dari toilet perempuan. “Kalian nggak sekalian ke toilet juga?” tanya Mayang pada Dio dan Reindra. “Biar nanti nggak berhenti-berhenti lagi cari toilet.” “Iya deh, mending sekarang aja meskipun belum kepingin banget,” ucap Reindra yang diangguki oleh Dio. Kemudian setelah Reindra dan Dio menghilang ke toilet cowok, Mayang dan Sarah memutuskan untuk menunggu mereka di dalam mobil. “May,” panggil Sarah setengah berbisik sambil menjulurkan kepala ke kursi depan tempat Mayang berada. “Apaan?” jawab Mayang sembari menengok ke belakang. “Si Dio itu so sweet banget deh sama lo,” ucap Sarah sambil senyum-senyum seperti sedang membayangkan hal yang romantis. “Tapi sweetnya nggal lebay, tetap pada porsinya gitu. Cuma emang keliatan banget kalau dia suka sama lo. Tatapannya ke lo itu loh, astaga nggak kuat. Dalem banget, May!” Mayang terkikik geli. Terus terang dia tak pernah bisa menatap mata Dio terlalu lama. Entah kenapa selalu ada perasaan gugup saat dia berusaha melakukannya. Maka Mayang kurang mengerti seperti apa tatapan tajam Dio yang dimaksud oleh Sarah barusan. “Terus gue harus gimana, Sar?” tanya Mayang yang bingung sebenarnya apa yang Sarah harapkan ia lakukan. “Yaa … nggak gimana-gimana, sih. Gue cuma pingin ngasih tau aja hal-hal yang mungkin terlewat oleh lo. Yaah barangkali nanti suatu hari lo perlu data tambahan buat mempertimbangkan apakah lo akan menerima perasaan di Dio atau nggak, lo akan ingat apa yang gue sampaikan tadi. Gitu, loh,” ucap Sarah sembari nyengir. “Oke, deeh, akan gue ingat,” ucap Mayang, “thanks yah Sar.” “Sama-sama,” ucap Sarah. “Eh, mereka udah datang, tuh!” Dan setelah itu, keempat sahabat itu kembali melanjutkan perjalanan, dengan formasi tetap sama seperti sebelumnya, yaitu Dio sebagai pengemudi dan Mayang duduk di sampingnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD