Villa Yang Indah

1539 Words
Beberapa saat sebelum memasuki area Lembang, Dio mengusulkan untuk makan malam dulu. “Kita makan dulu yuk, jadi nanti sampai di villa udah tinggal istirahat aja. Gimana?” tanya Dio. “Boleh, boleh. Di mana?” tanya Mayang. “Di deket sini nanti ada warung sunda yang buka dua puluh empat jam. Tempatnya enak, lesehan gitu. Makanannya prasmanan. Mau?” tanya Dio lagi meminta persetujuan. “Mau,” jawab Mayang dan yang lainnya. Beberapa menit kemudian mereka berempat sudah tiba di warung yang dimaksudkan oleh Dio. Segera saja mereka memilih menu makanan masing-masing dan menempati sebuah meja di sudut ruangan. Udara dingin dari luar terhalang oleh kehangatan dinding anyaman bambu yang terasa sekali nuansa tradisionalnya. “Padahal tadi waktu Dio ngajakin makan, gue kayak belum laper gitu. Tapi setelah liat lauk pauk yang ada di meja prasmanan tadi, kok kayaknya gue langsung laper, ya. Jadi kalap gitu,” ucap Reinda yang disambut dengan tawa oleh yang lainnya. “Sama, gue juga. Udaranya lumayan dingin soalnya, jadi bawaannya laper terus,” ucap Mayang. “Apalagi nanti di atas ya,” ucap Sarah, “villa lo kan masih jauh di atas ya, Dio?” Dio mengangguk. “Tenang aja, kalau soal makanan sih gampang. Bisa beli di luar, bisa pesen juga via online. Tempatnya masih terjangkau, kok.” Dan keempat orang itu kemudian menikmati santap tengah malam mereka dengan nikmat. Pukul dua belas lewat empat puluh limamenit, Mayang, Dio, Sarah dan Reindra tiba di Lembang. Villa milik keluarga Dio itu tampak sangat indah dari luar, meskipun hari sudah gelap. Lampu-lampu taman keemasan menerangi keseluruhan area bagian depan villa dua lantai tersebut, sehingga menciptakan suasana yang sendu dan hangat. “Jangan lupa pakai jaket dulu, gaes. Dingin banget loh di luar,” ucap Dio memperingatkan saat mereka sudah berhenti di depan gerbang. “Gue bukain gerbang dulu, ya.” “Eh, emangnya nggak ada penjaganya, Dio?” tanya Sarah dari belakang yang sibuk mengenakan sweater tebalnya. “Ada, Mang Ujang. Tapi beliau tidurnya di rumah kecil di belakang villa. Kasihan kalau gue bangunin malam-malam begini,” ucap Dio yang sudah selesai memakai jaketnya dan membuka pintu. Mayang yang sedari tadi sudah mengenakan sweater tebal tidak merasa perlu menambahkan pakaian lain di luarnya, dan langsung ikut turun dari mobil. Begitu juga Reindra yang sudah mengenakan jaket sport di luar kaosnya. “Kalian ngapain ikut turun, di dalam aja,” ucap Dio. “Nggak apa-apa, kan pegel dari tadi duduk terus,” ucap Sarah yang baru saja keluar dari mobil. “Iya, tinggal jalan beberapa langkah lagi juga nyampe ke pintu depan,” ucap Reindra. “Sekalian mau lihat-lihat halaman villa lo nih, bagus banget.” Reindra langsung saja menyiapkan kamera ponselnya berniat untuk berfoto di halaman villa yang tampak cantik itu. Sementara Dio sudah berhasil membuka pintu gerbang dan membukanya lebar-lebar. “Ya udah, kalau gitu kalian langsung aja masuk duluan, gue parkirin mobil dulu ya, di garasi samping sana,” ucap Dio. “Oke!” sahut yang lainnya. Mayang, Reindra dan Sarah berjalan memasuki halaman villa dengan tatapan kagum. Mereka melihat ke kiri dan ke kanan memerhatikan spot-spot unik yang terlihat di sana. Terutama Sarah sebagai fotografer yang nantinya berkepentingan melakukan kegiatan pemotretan, langsung merekam dalam otaknya, nantinya akan membuat konsep fotografi seperti apa di sudut yang mana. “Eh, eh, bagus nih gaes. Ayo foto!” ucap Reindra saat mereka melewati sebuah kursi taman yang diatasnya terdapat sebuah gerbang mini dengan pergola dihiasi tanaman rambat. Ketiganya segera memasang posisi masing-masing dan mengabadikan foto mereka bertiga di sana dalam berbagai pose. Ketiganya tertawa cekikikan menyadari betapa tidak tahu malunya mereka, berfoto di rumah orang yang baru saja mereka masuki seolah tempat tersebut adalah sebuah area wisata keluarga. “Gimana, gimana? Cocok kan buat pemotretan majalah Style? Gimana, Sar?” tanya Dio yang sudah memarkirkan mobilnya dan langsung menghampiri teman-temannya untuk meminta pendapat, terutama Sarah. “Bagus, Dio, keren!” sahut Sarah antusias. “Ini kelihatan jauh lebih bagus daripada di foto-foto yang lo kasih liat ke gue waktu itu. Di taman sini aja bisa dibikin beberapa konsep nih. Terus bisa dibikin nuansa yang berbeda-beda, tergantung motretnya siang atau malam atau sore.” “Iya,” sahut Dio sambil mengangguk. “Nanti di kolam renang belakang juga bisa dibikin banyak konsep kok, perlengkapan buat dekorasi juga lengkap di gudang. Kalau lagi mau pemotretan di sini, Mang Ujang pasti siap bantu.” “Oke, oke,” ucap Sarah yang terlihat senang. Di antara semua property milik Dio yang ditawarkan kepada majalah Style, menurut Sarah villa ini yang terlihat paling mewah dan megah. “Yuk, kita masuk,” ajak Dio. Suasana di dalam villa itu ternyata tak kalah menakjubkan. Benar dugaan Sarah bahwa villa ini mungkin akan menjadi lokasi pemotretan favoritnya, karena paling besar dan paling banyak ruangannya. Jangankan ratusan, mungkin ribuan background foto dengan ambience yang berbeda bisa ia hasilkan di rumah ini, saking lengkapnya. Mulai dari ruang tamu, ruang keluarga, ruang tidur, ruang santai, ruang kerja, ruang bemain anak, ruang gym, mini teater, hingga dapur dan ruang kebersihan dapat ia kreasikan. “Waah, May, pokoknya kita harus segera deal sama Dio nih. Gila, ini tempat keren banget. Indoor, outdoor, semua bisa gue pakai buat foto. Itu di sebelah sana kelihatan gunung pula, bisa buat tema nature yang bagus, loh!” ujar Sarah bersemangat. “Di lantai atas juga ada rooftop, viewnya gunung juga. Kalau pagi langitnya bagus, bisa buat tema olahraga pagi atau yoga. Kalau sore juga bisa bikin nuansa coffe break sore hari, soalnya rooftopnya berbentuk letter U, jadi bisa ambil foto sunrise, juga sunset,” jelas Dio. “Wuidiiihh! Tuh kan, May! Pokoknya harus deal, ya! Awas kalau nggak!” ancam Sarah galak. Mayang tertawa geli. “Iya, iyaa. Tenang aja. Pasti deal,” ucapnya. “Aseeekkk!” seru Sarah. Sejurus kemudian keempat orang itu asyik melakukan villa tour dengan dipandu oleh Dio. Meskipun waktu sudah menunjukkan tengah malam, namun karena mereka sudah penat duduk terus sepanjang perjalanan, maka berjalan-jalan keliling villa adalah kegiatan yang menyenangkan dan merelaksasi bagi kedua kaki serta punggung mereka. Sarah dan Reindra tak henti-hentinya berseru kagum setiap memasuki ruangan demi ruangan. Dalam hati mereka tak menduga kalau kedua orang tua Dio ternyata lebih kaya daripada yang mereka duga. Yang dijadikan lokasi bisnis saja ada banyak dan mewah, bagaimana dengan yang dijadikan tempat tinggal oleh Dio dan kakak-kakaknya? Pasti jauh lebih mewah. Hal paling menonjol yang mereka lihat adalah kepribadian Dio yang sederhana. Dalam artian, dia tidak terlihat sombong atau bersikap ngeboss terhadap anak buahnya. Dia juga tak malu dan segan ikut membantu anak buahnya melayani tamu di kafe. Dia juga tak malu mengendarai mobil yang menurut Mayang dan teman-temannya bukanlah mobil kelas mahal, karena kalau dilihat dari asset keluarganya, pasti Dio memiliki kendaraan yang lebih mewah daripada yang dia bawa ke sini. Ditambah lagi, Dio tidak merasa direndahkan karena ia yang harus menyupiri teman-teman barunya. Bagi Mayang, hal ini merupakan nilai plus untuk Dio. Mapan, kaya, tapi sehari-harinya biasa saja dan tida bersikap angkuh. Mayang teringat saat pertama kali Dio datang ke ruangannya pagi itu untuk menawarkan kerjasama. Bahkan saking sopan dan rendah hatinya Dio, Mayang sempat mengira Dio adalah sales atau marketing perumahan yang hendak menawarkan promo pembelian rumah atau apartemen. Padahal ia dan kakak-kakaknya adalah pewaris semua harta kekayaan orang tuanya. Terbersit di hati Mayang, bahwa kakak-kakak Dio mungkin saja sikapnya sangat berbeda dari Dio. Terlihat dari bagaimana mereka menyerahkan urusan menyusahkan seperti ini kepada Dio. Mungkin kakak-kakak Dio sudah memiliki bisnis yang jauh lebih besar dan terlihat lebih keren daripada mengurusi kafe kecil tempat nongkrong anak muda dan penyewaan property. “Wuaah, gilaa, villa lo ini bener-bener luas banget, Dio! Itu Mang Ujang apa nggak pingsan tuh ngebersihin villa ini setiap saat?” tanya Sarah saat mereka sudah berada di area kolam renang belakang yang sangat besar. Dio terkekeh. “Mungkin pingsan, tapi kan nanti kalau udah bangun lagi kan bisa langsung bersih-bersih lagi,” jawab Dio sembari menahan tawa, “Buset, kejam amat lo!” celetuk Reindra. “Nggak lah, nggak,” jawab Dio. “Mang Ujang itu kan boss pengurus rumah tangga di sini. Sehari-hari ada yang bantuin, kok. Ada istrinya, ada tetangganya di kampung belakang. Pokoknya gue udah serahin semua ke Mang Ujang, jadi terserah dia mau bikin sistem kayak gimana untuk mengurus rumah ini.” “Ooh, gitu,” ucap Reindra dan Sarah sambil mengangguk-angguk. “Ngomong-ngomong, Mang Ujang udah tau belum kalau kita mau nginap di sini?” tanya Mayang. “Oh, udah kok,” jawab Dio sambil mengangguk. “Kamar buat kita udah disiapin. Yuk, kita masukkin barang-barang kita ke kamar.” "Kamar kita di mana?" tanya Sarah. "Kita di lantai dua aja, ya," ucap Dio. "Mayang sama Sarah di kamar yang besar di tengah, yang ada balkonnya menghaadp kolam renang. Kalau Reindra kamar di sebelahnya, nggak terlalu besar tapi ada balkonnya juga." "Nah lo sendiri di mana?" tanya Reindra. "Di sebelah kamar lo, paling ujung. Itu memang kamar yang selalu gue tempatin kalau lagi nginap di sini," jawab Dio. Mayang merasa salut pada sikap Dio. Padahal ada seorang Mang Ujang yang seharusnya bisa disuruh-suruh tapi Dio tidak melakukannya karena khawatir mengganggu tidur sang pengurus ruah. Orang kaya lain mungkin akan langsung membangunkan pengurus rumahnya hanya untuk membukakan pintu gerbang dan membawakan barang-barang mereka ke dalam kamar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD