Jemputan Tak Terduga

1504 Words
Segera saja Mayang merasa betah tinggal di tempat kost barunya. Kebanyakan yang tinggal di situ adalah karyawati, dan sebagian kecilnya mahasiswi usia dewasa yang sudah mulai mengerjakan skripsi. Semua penghuni kamar saling mengerti dengan aktifitas dan kepentingan masing-masing sehingga semua berusaha menjaga ketenangan dan ketertiban. Tidak ada yang memutar musik atau menyalakan televisi terlalu keras, dan tidak ada yang menerima tamu terlalu ramai dan menjadi berisik. Mayang sudah menjadi sangat akrab dengan Dira. Ternyata Dira gadis yang baik dan ramah, meskipun wajahya terlihat galak dan suaranya keras seperti orang sedang marah. Mereka sering makan malam bersama di luar, terkadang bersama dengan Sari, Nurin dan Indah, penghuni kost lainnya yang juga sudah akrab dengan Dira. Semuanya perempuan single yang usianya berada di bawah Mayang, namun mereka tidak mempermasalahkan soal status Mayang yang sudah janda dua kali. Mayang sendiri yang memang berjiwa muda dengan mudah dapat berbaur dengan candaan dan pergaulan mereka. “May, malam Sabtu kita nongkrong, yuk!” ajak Nurin malam itu saat mereka sedang menikmati santap malam dengan menu soto ayam yang mereka pesan melalui alikasi online. “Eh iya, ke Kafe yang di situ itu yuk, Kafe Daun!” ucap Sari bersemangat. “Aduh, maaf gaes, gue weekend ini mau ke Bandung, pulangnya Minggu sore,” jawab Mayang. “Iih, ke Bandung nggak ngajak-ngajak,” tukas Indah. “Ke Bandung sama siapa lo?” tanya Dira. “Sama temen-temen kantor gue, dan klien kantor. Yang punya Kafe Daun itu,” jelas Mayang. “Whattt? Lo kenal sama yang punya Kafe Daun itu?” tanya Sari kagum. Mayang mengangguk. “Gue juga baru tau kemarin Sabtu, waktu gue ke sana sama temen-temen gue. Jadi yang punya Kafe Daun itu memang lagi ada kerjasama dengan majalah Style, nyewain properti buat keperluan foto dan video majalah Style. Rumah, villa, dan resto gitu. Nah, weekend ini kita diundang ke pembukaan cabang Kafe Daun yang di Bandung, sekalian mau lihat villa di Lembang yang mau disewain ke kita. Jumat malam diajak sama dia berangkat bareng ke sana. Gue, satu fotografer, dan satu reporter,” jelas Mayang. “Kalian diajak nginap di villanya yang di Lembang itu?” tanya Indah takjub. Mayang mengangguk. “Gilaa asyik banget kalian,” ucap Indah mendadak iri, “orangnya masih muda, ya, May?” “Masih, umurnya di bawah gue,” ucap Mayang. “Tapi nggak tau deh beda berapa tahun.” “Wuiih, cocok tuh sama gue,” ucap Dira segera. “Heh, enak aja. Gue dulu woi,” sela Sari. “Idih, gue mau dikemanain! Inget temen lah!” celetuk Indah. “Eh, eh, haloo? Gue mau ikut daftar juga loh!” Nurin melambai-lambaikan tangannya, membuat yang lain tertawa geli. “Apaan sih lo semua?” Mayang terkekeh. “Emangnya kalian tau dia udah punya pacar atau belum?” “Belum,” jawab Dira, Indah, Sari dan Nurin kompak. “Tanyain, dong, May!” kata Nurin dengan nada memerintah. “Iya, bantuin temen, lah,” ucap Sari. “Eh, sebentar, sebentar,” lerai Dira. “Dari tadi kita main daftar-daftar aja minta kenalan. Jangan-jangan cowok yang kita bahas dari tadi udah ada sesuatu nih sama Mayang?” “Heei, kenapa jadi ke gue, sih?” elak Mayang sambil tertawa. “Ya siapa tau aja lo sukanya brondong,” ucap Dira asal. “Oh iya, ya,” ucap Indah baru sadar kalau Mayang juga berpotensi dekat dengan si pemilik Kafe Daun itu. “Eh, by the way, namanya siapa sih tuh cowok?” tanya Sari. “Namanya Dio,” jawab Mayang. Dan jantung Mayang berdebar saat menyebutkan nama itu. Jumat sore, Mayang, Reindra dan Sarah setelah selesai rapat internal redaksi, langsung pulang ke rumah masing-masing untuk menyiapkan barang-barang yang akan dibawa ke Bandung. Mereka berjanji akan berkumpul di Kafe Daun pukul delapan malam untuk berangkat bersama dari sana. Pukul tujuh lewat empat puluh lima menit, pintu kamar Mayang diketuk. “Mbak Mayang?” Terdengar suara Marni, asisten rumah tangga yang bertugas menjaga dan membersihkan kamar-kamar kost. Mayang segera membukakan pintu. “Ya, Mbak?” tanya Mayang dari ambang pintu. “Ada tamu, Mbak. Katanya mau jemput Mbak Mayang,” ucap Marni. “Ha … tamu? Mau jemput?” Mayang berpikir sejenak karena ia tidak merasa meminta Reindra menjemputnya. “Namanya siapa, Mbak?” “Mas Dio, Mbak,” ucap Marni. “Oh ….” Mayang merasa sedikit terkejut Dio menjemputnya tanpa konfirmasi lebih dulu. “Ya udah tolong suruh tunggu di teras aja ya, Mbak. Saya siap-siap dulu,” ucap Mayang pada Marni. “Baik, Mbak,” jawab Marni. Mayang segera menutup pintu kamarnya kembali dan membereskan barang-barang yang hendak dibawanya. Setelah semuanya selesai, Mayang membuka pintu dengan membawa dua buah tas ransel. “Hai,” sapa Dio yang sudah duduk di teras depan kamar Mayang. “Hai, Dio,” balas Mayang, “kaget gue. Hehehe. Kok nggak bilang kalau mau jemput?” “Iya, maaf ya,” ucap Dio. “Ini gue kebetulan lewat sini. Kalau dari arah rumah gue kan lewatnya ke sini dulu baru ke Kafe Daun. Jadi sekalian gue jemput lo, gitu.” “Oh, gitu. Ya udah, makasih ya,” ucap Mayang sambil tersenyum. “Barang-barang lo ini aja, May?” tanya Dio sembari mengulurkan tangan untuk mengambilnya dari Mayang. “Sini gue bawain.” “Iya, cuma ini aja,” jawab Mayang sembari mengulurkan salah satu tasnya pada Dio. “Makasih.” “Lo udah bawa jaket tebal atau sweater, kan? Di area Bandung sama Lembang suhunya lagi dingin banget sekarang-sekarang ini. Sering hujan soalnya,” ucap Dio mengingatkan. “Udah, kok,” jawab Mayang. “Ada jaket tebal di dalam tas itu, sama sweater yang gue pakai ini.” Mayang menunjuk ke dirinya sendiri yang mengenakan sweater tebal oversize dengan bawahan celana jeans stretch dan sepatu sneakers tinggi. Tak lupa sling bag mungil dan topi rajut di kepalanya. Dio tersenyum-senyum sembari memerhatikan penampilan Mayang. “Eh, kenapa? Aneh ya baju gue?” tanya Mayang sembari kembali memerhatikan pakainnya. Dio menggeleng cepat. “Nggak, nggak. Sama sekali nggak aneh. Justru keren, lo kayak artis korea. Girlband gitu.” Mayang sontak tertawa. “Ya ampun, apanya yang kayak girl band? Outfit yang kaya gini, ya?” “Iya. Hehehe. Bagus kok,” ucap Dio jujur. “Ya udah, yuk berangkat.” “Oke, yuk!” jawab Mayang sembari menutup pintu kamar dan menguncinya. Setelah berpamitan pada Marni, Mayang dan Dio keluar dan memasuki mobil Dio. Dio meletakkan kedua tas ransel Mayang pada bagasi belakang mobil dan membukakan pintu depan untuk Mayang. Setelah itu, mereka melaju menuju ke Kafe Daun. Sesampainya di Kafe Daun, ternyata Reindra dan Sarah sudah tiba di sana. Kedua orang itu duduk di salah satu meja kafe, dengan tas-tas besar di bawah kaki mereka. “Yeee, ditungguin ternyata datangnya berdua,” gerutu Sarah. “Kok gue nggak dijemput sih, Mayang doang yang dijemput.” Dio tertawa. “Sori, sori. Gue kan emang arahnya dari sana, ngelewatin kosannya Mayang. Jadi y ague sekalian nyamperin Mayang.” “Lo sirik aja sih, Sar. Lagian rumah lo kan jauh, beda arah. Ya masa Dio suruh jemput-jemput lo segala. Tuan putri banget. Biasa juga naik ojek,” tukas Reindra. Sarah hanya cengar cengir, dalam hati senang melihat kedekatan Mayang dan Dio yang sudah mulai terlihat. “Eh, kita mau jalan jam berapa nih?” tanya Sarah. “Sebentar ya, kalian minum aja dulu. Atau mau makan sekalian juga boleh. Gue control dapur sama anak-anak dulu, ya,” ucap Dio. “Okay!” sahut Sarah dan Reindra berbarengan. Setelah Dio menghilang menuju dapur kafe, Mayang duduk di samping Sarah dan langsung ikut memesan makanan. Berhubung hendak melakuka perjalanan malam dalam udara dingin, mereka memutuskan untuk memesan makanan yang cukup mengenyangkan dan bisa menghangatkan tubuh. “Cieee Dio udah mulai bergerak, nih,” desis Sarah. Mayang yang biasanya selalu langsung membantah, kali ini hanya nyengir malu. Ia tahu rumah Dio memang searah dengan lokasi kosannya, tetapi dari cara Dio menjemputnya tadi, dari gestur dan sikapnya, jelas sekali kalau Dio sudah menentukan sikap untuk mendekati Mayang. “Berisik!” ucap Mayang. “Ya udah biarin sih, Sar,” kata Reindra. “Kan bagus kalau Mayang dan Dio jadi deket. Jadi kita kalau nongkrong bareng jumlahnya genap.” “Biar genap atau biar ada cowoknya juga, jadi lo nggak cowok sendiri terus?” tuduh Mayang telak. Reindra tertawa. “Iya juga, sih.” Tak lama kemudian makanan dan minuman pesanan mereka datang. Dan ketiga orang itupun segera menyantap makan malam mereka. Ketiganya merasa bersemangat untuk liburan bersama kali ini. Bandung dan Lembang memang tidak terlalu jauh, tapi bagi mereka yang jarang sekali bisa berkesempatan pergi berlibur bersama, momen ini terasa sangat menyenangkan. Dio datang setengah jam kemudian dengan membawa satu baki berisi beberapa makanan dan minuman. “Kalian udah pesan apa? Nih, gue tambahin,” ucap Dio. “Lo juga belum makan, kan, Dio,” ucap Mayang mengingatkan. “Nanti mau nyetir loh.” “Iya, ini gue makan sekalian bareng-bareng,” ucap Dio yang tampak senang sekali mendapatkan perhatian kecil dari Mayang. Sarah dan Reindra saling lirik dan tersenyum simpul.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD