Tamu Tak Terduga

1631 Words
Mayang membuka matanya. Secercah sinar matahari menerobos masuk melalui celah tirai jendela yang sedikit terbuka. Ia mengerjap-ngerjapkan kelopak matanya beberapa kali sembari berpikir sejenak, di mana ia berada. Setelah beberapa detik barulah ia teringat bahwa ia sedang berada di villa milik Dio. Mayang segera bangkit terduduk, sadar bahwa sangat tidak baik kalau bangun terlalu siang saat sedang berada di rumah orang lain. Meskipun semestinya hal itu dimaklumi karena semalam ia mengobrol hingga pagi dengan Dio.   Mayang menoleh ke samping, dan tidak menemukan Sarah di sampingnya. Tentu saja, dia pasti sudah bangun lebih dulu karena tidurnya cepat semalam. Mayang meraih ponsel di atas meja kecil di samping tempat tidur. Jam tujuh lewat lima belas menit. Mayang menguap dan menggeliat sebentar, lalu bangun dan menuju ke kamar mandi. Udara Lembang yang cukup dingin meskipun matahari sudah bersinar terang membuatnya berpikir dua kali apakah ia akan mandi atau sekadar mencuci muka saja.   Setelah mandi singkat dan berganti pakaian, Mayang keluar dari kamar. Ia mendengar suara orang mengobrol dan tertawa dari arah dapur. Mayang segera menuju ke sana.   “Pagi,” sapa Mayang pada tiga orang yang berada di situ. Sarah dan Reindra yang sedang menyantap sesuatu di meja makan dan seorang laki-laki paruh baya yang sedang sibuk di atas kompor membuat sesuatu.   “Haaai, pagi!” sapa Sarah dan Reindra. “Naah, Mang Ujang, ini nih, boss kami.”   Laki-laki itu segera berbalik. Mayang tersenyum dan mengatupkan kedua tangan di depan d**a sembari sedikit membungkukkan badannya, sikap memberi salam paling aman dan sopan bagi orang Indonesia.   “Mang Ujang, saya Mayang,” ucap Mayang ramah.   “Ooh, ini Mbak Mayang,” balas Mang Ujang sembari menundukkan badannya juga, “silakan, Mbak, sarapan dulu. Saya lagi buatkan ini, s**u jahe.”   “Iya. Makasih, Mang,” ucap Mayang dan bergabung dengan Sarah dan Reindra di meja makan. Tampak dua buah mangkuk bubur ayam yang belum tersentuh di atas meja, yang diasumsikan oleh Mayang bahwa Dio belum bangun.   “Siang amat lo bangun?” tanya Reindra.   “Semalam gue tuh ngobrol sama Dio di sini, sampai jam setengah empat,” ucap Mayang.   “Whaaatt?” Sarah tercengang. “Buset, nongkrong nggak ngajak-ngajak!” protes Sarah.   “Nongkrong apaan,” jawab Mayang sembari tertawa. “Gue tuh semalam kebangun, mau ambil minum. Eh Dio keluar juga dari kamar, jadi ya udah malah ngobrol. Sambil makan kue.”   “Huuuu … pantesan tadi Mang Ujang nyariin kue yang di lemari es nggak ada,” protes Sarah kesal.   Mang Ujang ikut tertawa. “Maaf ya, saya belinya cuma satu. Nanti saya belikan lagi, Mbak,” ucapnya merasa tidak enak hati.   “Nggak usah minta maaf, Mang. Dan nggak usah beli lagi,” cegah Sarah. “Dia nih, yang harus bertanggung jawab!” Sarah menunjuk ke arah Mayang yang sudah mulai menyantap buburnya.   “Tanggung jawab apa?” Tiba-tiba terdengar suara di belakang mereka. Tampak Dio berdiri dengan pakaian kusut dan wajah masih belum sepenuhnya terbangun.   “Hei, Dio,” sapa Reindra. “Met pagi. Ayo sarapan bareng,” ajaknya.   “Iya.” Dio menguap sambil mengucek-ngucek matanya lalu duduk pada kursi di sebelah Mayang. Ia langsung menoleh kepada Mayang. “Bangun jam berapa, May?”   “Baru kok,” ucap Mayang.   “Baru apanya. Udah mandi dan dan rapi gitu,” ujar Dio memerhatikan Mayang.   “Ya maksudnya baru bangun dan mandi dan ganti baju,” ucap Mayang sembari tertawa kecil.   “Semalam gue ngobrol sama Mayang sampai jam setengah empat,” ucap Dio lebih ditujukan pada Reindra dan Sarah.   “Iya tau, ngabisin kue bolu s**u sekotak,” ucap Sarah dengan kesal.   Dio tertawa terkekeh, diikuti oleh Mayang. “Maaf, maaf,” ucap Dio, ”nanti gue beliin lagi.”   “Halaah, ngapain lo nurutin dia, Dio,” kata Reindra, “nanti di acara soft opening kafe lo pasti banyak makanan, kan?”   “Pasti,” ucap Dio sambil menyantap bubur ayamnya. “Semua menu kafe dibikinin buat tamu. Kan sekalian buat tester dan bikin testimoni.”   “Wooww! Asyiik!” seru Sarah dengan mata berbinar-binar.   “Ini Mas, Mbak, s**u jahenya sudah jadi. Biar badannya hangat. Kan semalam habis capek di perjalanan,” ucap Mang Ujang sambil meletakkan baki berisi empat gelas s**u jahe.   “Makasih ya, Mang,” jawa Dio dan yang lainnya.   “Nanti malam mau disiapkan makanan apa, Mas Dio?” tanya Mang Ujang.   “Mm ….” Dio berpikir sesaat. “Nggak usah deh, Mang. Kita nanti makan di luar aja,” ucapnya.   “Baik, Mas,” ucap Mang Ujang. “Kalau kamar-kamarnya, nanti siang mau dibersihkan?”   Dio menoleh pada teman-temannya dan bertanya, “Mau dibersihin nggak gaes, kamar lo semua?”   “Eh, nggak usah,” ucap Mayang segera, “mending sekalian aja nanti kalau kita udah pulang. Kan, besok juga kita udah balik Jakarta? Jangan bikin capek Mang Ujang.”   “Iya, bener.” Reindra mengangguk. “Nggak usah, Mang Ujang. Kamarnya juga masih bersih banget, kok.”   “Iya, Mang Ujang, nggak usah repot-repot,” timpal Sarah, “lagian kita juga udah biasa berantakan kok, di rumah masing-masing.”   Mang Ujang dan Dio tertawa terkekeh.   “Ya sudah kalau gitu saya mau bersihin taman dulu, Mas, Mbak,” ucap Mang Ujang.   “Iya Mang Ujang, terima kasih ya buburnya,” ucap Dio.   “Makasih Mang Ujang!” ucap Mayang, Sarah dan Reindra berbarengan.   Setelah Mang Ujang pergi, Sarah bertanya pada Dio. “Eh, Dio, Mang Ujang itu orang asli sini apa bukan?”   “Orang asli Sukabumi, tapi sejak muda udah kerja di keluarga gue. Kenapa emangnya?” tanya Dio balik pada Sarah.   “Oh, nggak, gue heran aja kok beliau manggil kita Mas dan Mbak, kan orang Sunda?” tanya Sarah. “Biasanya kan kalau orang Sunda nyebutnya Akang ama Teteh, gitu kan, ya?”   Dio tertawa. “Iya Mang Ujang emang orang Sunda, tapi keluarga gue kan orang Jawa. Jadi Mang Ujang biasa manggil gue dengan sebutan Mas, gitu.”   “Ooh ….” Sarah manggut-manggut.   “Gue baru tau lo orang Jawa,” ucap Reindra. “Kirain asli Bandung.”   Dio menggeleng. “Jadi dulu itu, bokap gue pergi ke Jakarta setelah nikah sama nyokap. Setelah kakak gue yang kedua lahir, bokap dapat tawaran kerja di Bandung. Nah, sejak saat itu keluarga gue tinggal di Bandung. Gue juga lahir di Bandung,” jelas Dio.   “Berarti lo ada rumah keluarga juga di Bandung?” tanya Rendra.   Dio mengangguk. “Ada, di daerah Antapani. Tapi ditempatin sama kakak pertama gue yang cowok. Kalau kakak kedua gue di Jakarta Barat ikut suaminya.”   “Terus lo?” tanya Sarah yang baru sadar kalau mereka tidak tahu di mana Dio tinggal.   “Gue di apartemen, di Jakarta Pusat,” jawab Dio.   “Kenapa lo nggak tinggal aja di salah satu rumah yang lo tawarin buat disewakan ke majalah Style?” tanya Reindra heran.   Dio tertawa. “Terlalu besar. Kan gue cuma sendirian. Mending apartemen aja, kan? Lebih simple.” ucapnya.   “Ooh … iya, ya ….” ucap Reindra.   “Eh, nanti habis ini gue boleh berenang, nggak? Kita berangkat ke kafe lo jam berapa sih?” tanya Sarah.   “Boleh, silakan aja, Sar. Nanti kita jam sebelas aja berangkatnya. Cukup kok, waktunya,” ucap Dio.   “Asyiiikkk!” seru Sarah. “Ayo berenang, May!”   “Yaah … gue udah mandi,” ucap Mayang.   “Ya nanti tinggal mandi lagi, laah!” ucap Sarah.   Mayang berpikir sejenak, kemudian menjawab. “Oke!”     Beberapa belas menit kemudian, mereka bertiga sudah berada di halaman belakang villa di mana kolam renang besar itu berada. Mayang dan Sarah yang sudah mengenakan pakaian untuk berenang, meskipun bukan pakaian renang betulan, sedang melakukan pemanasan sebelum masuk ke air. Reindra dan Dio yang hanya mengenakan celana boxer juga sudah siap untuk terjun ke air, ketika tiba-tiba terdengar suara memanggil dari dalam rumah.   “Dio? Dioo?”   Semua segera membatalkan niatnya untuk masuk ke air dan menoleh ke arah datangnya suara.   Dari arah pintu dalam rumah, muncul seorang perempuan dengan tampilan mewah dan berkelas, berjalan ke arah mereka. Dia tersenyum lebar ke arah Dio.   “Haai!” ucapnya sembari melambai.   “Mbak Shita?” ucap Dio sembari menghampiri perempuan itu, tampak terkejut. “Mbak kok nggak bilang kalau mau datang ke sini?”   “Iyaa, aku baru datang, langsung dari Jakarta,” jawab Shita menghampiri adiknya. “Aku cuma mampir aja, mau say hello sama kamu.”   “Ooh gitu,” ucap Dio. “Oh ya Mbak, kenalin. Ini teman-temanku dari Majalah Style, yang mau kerjasama dengan kita untuk sewa properti di sini.”   “Ooh … majalah Style. Haloo semua!” sapa Shita ramah sambil melambaikan tangan pada Mayang, Sarah dan Reindra yang ada di situ.   “Halo!” balas Mayang, Sarah dan Reindra sembari tersenyum sopan.   “Mbak sama siapa ke sini? Mas Indra mana?” tanya Dio.   Shita mendadak mengerucutkan bibirnya saat mendengar nama suaminya disebut.   “Indra nggak ikut. Biarin aja dia sama urusannya sendiri,” ucap Shita sambil mengibaskan tangannya memberi kesan acuh. “Aku cuma berdua sama temen, kok, ke sininya.”   “Terus, mana temennya, Mbak?” tanya Dio.   “Eh iya, mana ya, si Dea tadi?” Shita menoleh ke belakang mencari-cari. “Nah, itu dia.”   Dari pintu, kembali muncul seorang perempuan dengan tampilan yang sama berkelasnya seperti Shita.   “Dea, sini! Kenalin nih, ini adik aku, Dio,” ucap Shita. Perempuan yang dipanggil Dea itu melangkah mendekat menghampiri Dio.   “Halo, aku Dea,” ucap perempuan itu sembari berjabat tangan dengan Dio. Dio membalas jabatan tangannya sambil menyebutkan namanya.   “Nah, kalau itu teman-temannya Dio. Dari Majalah Style,” ucap Shita sembari melambaikan tangan ke arah Mayang, Sarah dan Reindra.   Perempuan bernama Dea itu menoleh ke arah mereka. Dan ia terkejut saat melihat sosok Mayang. Begitu juga Mayang, yang wajahnya langsung memucat saat melihat Dea.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD