Pembahasan

1936 Words
Mendengar pertanyaan dari Sarah, mendadak Mayang membeku sejenak. Ingatannya kembali kepada pembicaraan dengan topik aneh kemarin dengan ibunya. Meskipun sampai saat ini Mayang masih tidak percaya dengan kata-kata ibunya, namun tak urung hal itu tetap saja mengganggunya. Dan sekarang saat pertanyaan mengenai itu terlontar dari kedua temannya, mau tak mau Mayang mendadak bingung juga, karena harus memikirkan tentang bagaimana ia akan menceritakannya pada mereka. “Mm … nanti gue ceritain,” ucap Mayang akhirnya, “sekarang kita fokus ke makanan dulu, yuk! Gue udah nahan laper dari tadi. Udah hampir dingin juga nih makanan.” “Oh iya, ya udah yuk makan dulu. Gue juga laper,” ucap Sarah yang mulai menyendok makanannya diikuti oleh Reindra. Selama beberapa belas menit kemudian ketiga sahabat itu menyantap makanan mereka dengan nikmat sembari berbincang tentang hal yang ringan. Mayang menceritakan tentang tempat kos yang ia minati pada Sarah sambil menunjukkan foto-fotonya. Sarah dan Reindra juga berjanji akan membantu Mayang mengemasi barang-barangnya untuk pindah di akhir minggu nanti. Suasana Kafe Daun yang tampak hangat meskipun di udara terbuka membuat mereka merasa sepertinya akan betah menghabiskan waktu semalam di sini. Setelah menyelesaikan makanan masing-masing, ketiganya bersandar pada sandaran kursi masing-masing dengan ekspresi kekenyangan.  “Enak juga ya makanannya,” komentar Sarah, “bisa kita jadiin tempat nongki favorit, nih.” Mayang mengangguk. “Setuju. Porsinya juga banyak, ya, gue sampe kekenyangan.” “Kalau bagi gue sih, cukup. Nggak kebanyakan dan nggak terlalu sedikit juga. Pas, lah,” ucap Reindra. “Kok gue baru denger dan baru tau yah, Kafe Daun ini,” ucap Sarah sembari melihat ke sekelilingnya di mana pengunjung kafe tampak semakin ramai. “Iya, laah. Kita kan dari kemarin lebih banyak masuk ke kafe yang ada di dalam mall, soalnya deket banget sama kantor,” ucap Mayang. “Nah, sekarang kan gue bakal tinggal di tempat kos deket sini, jadi kita kalau nongkrong di sini aja, biar gue deket.” Mayang terkikik. “Curang lo!” omel Sarah. “Eh tapi nggak apa-apa juga, sih. Gue tinggal naik ojek online ke rumah. Tempatnya juga oke.” “Gue apalagi. Tinggal ngebut aja naik motor gue,” komentar Reindra yang sama sekali tidak keberatan kalau tempat tersebut ditasbihkan menjadi tempat nongkrong bareng dan kumpul mereka untuk selanjutnya. “Eh iya, Sar, lo kan tadi nanya, gue ngobrol soal apa aja sama nyokap gue kemarin,” ucap Mayang. “Nah, sekarang gue mau cerita, nih.” Mayang yang merasa sudah siap untuk bercerita pada teman-temannya, dan merasa Reindra dan Sarah pasti bisa menerima ceritanya dengan pikiran terbuka dan tetap bersikap santai, akhirnya menceritakan semuanya tentang kutukan yang dikatakan oleh ibunya kemarin. Sarah dan Reindra mendengarkan dengan seksama hingga Mayang selesai bercerita. “Hmm ….” Reindra menopangkan dagunya pada sebelah tangan yang ia topangkan juga ke lututnya. “Sengkolo Bahu Laweyan, ya ….” “Gue … pernah denger juga soal itu,” ucap Sarah pelan. “Bokap gue kan orang Jawa, jadi kayaknya sih pernah menyebutkan soal ini sama nyokap gue atau sama saudara gue yang kebetulan lagi datang berkunjung ke rumah. Tapi kalau dari sekilas yang gue denger, kayaknya bokap gue nggak percaya deh sama persoalan kutukan dan semacamnya begini." “Gue juga pernah denger,” ucap Reindra. “Kan nyokap gue juga orang Jawa. Pernah ngomong soal macam-macam kutukan yang ada di kepercayaan masyarakat Jawa. Tapi cuma sekadar mengomentari acara televisi aja, bukan percaya soal itu.” “Nah, itu dia,” ucap Mayang, “gue juga udah bilang ke nyokap gue kalau gue nggak percaya soal kutukan atau semacamnya. Bagi gue itu adalah hal yang nggak bisa diterima oleh pikiran gue yang terbiasa berpikir secara modern. Gue nggak bisa menemukan sebuah penjelasan, atau bahkan minimal sekadar perkiraan teorinya aja, gimana caranya sebuah kutukan bisa ada di dalam badan manusia.” “Terus, nyokap lo reaksinya gimana?” tanya Reindra. “Yaa … nyokap gue sih, bisa nerima kalau gue nggak percaya dengan hal seperti itu,” jawab Mayang. “Nyokap bilang beliau menghargai pemikiran gue. Nyokap cuma mau ngasih tau ke gue bahwa ada hal seperti itu di kebudayaan leluhur, dan tanda-tanda yang gue miliki itu dan gue alami itu persis sama dengan tanda-tanda yang mencirikan tentang pembawa kutukan tersebut." “Tanda lahir di bahu lo itu, emangnya beneran ada?” tanya Sarah yang memang tak pernah melihat Mayang mengenakan pakaian terbuka sehingga tidak tahu menahu soal itu. Mayang mengangguk sembari meraba bagian bahunya. “Ada. Dan gue nggak pernah berpikir aneh-aneh tentang tanda lahir ini. Kan, banyak orang yang punya tanda lahir.” “Iya juga, sih,” ucap Sarah. “Yang bikin gue lebih kepikiran itu sebenarnya bukan soal kutukan ini,” ucap Mayang. “Tapi lebih ke soal bokap gue. Gue penasaran banget kenapa nyokap tetap nggak mau kasih tahu siapa nama bokap gue dan malah nangis waktu gue tanya. Nyokap bahkan bilang kalau bokap gue itu bukan manusia." "Ha? Bukan manusia?" Sarah tercengang. “Itu mungkin karena … nyokap lo menganggap bokap lo udah jahat banget sama beliau. Makanya sampai timbul ungkapan seperti itu,” ucap Reindra. “Iya. Gue juga menduga kayak begitu. Gue bahkan udah nanya ke nyokap, apa bokap jahat banget ke nyokap sampai dibilang bukan manusia. Tapi nyokap cuma nangis aja, dan setelah itu bilang kalau belum bisa cerita sekarang. Ya udah, gue nggak bisa maksa nyokap buat cerita, kan. Tapi gue jadi makin penasaran, sebenarnya apa hubungannya kutukan yang nyokap anggap ada di tubuh gue ini dengan bokap gue.” “Coba deh nanti gue googling di rumah soal kutukan Bahu Laweyan ini. Sebenarnya gimana sih, menurut orang-orang yang percaya soal itu, tentang bagaimana sebuah kutukan bisa ada di dalam tubuh manusia,” ucap Reindra. “Tapi gue rasa mau sebanyak apapun kita ngumpulin data dari internet, jawabannya tetap aja nggak logis buat pemikiran yang modern dan berbasis sains kayak kita,” ucap Sarah. “Pasti yang ada di dalam literatur sejarah dan budaya tentang kutukan dan semacamnya itu, nggak ada penjelasan ilmiahnya, kan. Gue pernah baca terjemahan naskah kuno Babad Tanah Jawa di perpustakaan nasional, dan banyak banget isi di dalamnya yang nggak ada penjelasannya. Kayak soal kesaktian seorang tokoh, keris pusaka, sampai soal bidadari dari kahyangan, semuanya nggak ada penjelasan lebih lanjutnya. Kita diharapkan percaya begitu saja tanpa perlu dijelaskan." “Nah itu dia,” ucap Mayang, “makanya bakal susah kalau gue mau mendebat nyokap gue juga, karena basic pemikirannya aja udah beda. Kalau kita jadi orang zaman dulu, ya mungkin kita nggak akan mempertanyakan hal seperti itu karena kita anggap wajar untuk terjadi sehingga nggak perlu dipertanyakan dan dibahas. Atau mungkin aja, hal-hal tersebut menjadi berubah makna seiring berjalannya waktu karena udah diceritakan dari mulut ke mulut secara turun temurun sehingga membuat persepsi orang yang membaca atau mendengarnya di zaman sekarang jadi berbeda.” “Atau perbedaan persepsi tentang suatu hal," ucap Reindra. “Seperti misalnya orang zaman dahulu menganggap petir dan halilintar itu terjadi karena dewa sedang marah, nah kita di zaman sekarang berbeda persepsi tentang itu, kan. Kita tau petir itu karena sebuah proses yang terjadi di atmosfer yang bisa dijelakan secara ilmiah." “Eh, May,” ucap Sarah tiba-tiba dengan suara direndahkan. “Maaf nih gue mau nanya.” “Nanya apa?” tanya Mayang. “Kan, dua orang mendiang suami lo itu … Mas Bayu dan Mas Ridho sama-sama kena serangan jantung,” ucap Sarah. “Kira-kira … mm … maaf nih, ya. Kira-kira … apakah karena … eng … permainan lo di tempat tidur terlalu ‘hot’, gitu? Jadi mereka berdua nggak bisa mengimbangi lo dan tanpa sadar memaksakan diri, lalu ….” Sarah menggantung kalimatnya, merasa tidak enak dan malu sendiri menanyakan hal seperti itu pada Mayang. Mayang dan Reindra tercengang menatap Sarah. Seandainya suasana dan topik utamanya bukan tentang kehidupan Mayang sendiri dan menyangkut pautkan dengan kedua suaminya yang telah meninggal, mereka berdua pasti sudah tertawa mendengar pertanyaan Sarah barusan, dan kemudian saling meledek. Tetapi karena pembahasan mereka adalah pembahasan serius sejak tadi, maka selama beberapa detik mereka hanya terbengong-bengong sembari berpikir cepat. Sarah menatap wajah Mayang seolah masih menunggu jawaban, dan Reindra juga ikut menoleh menatap Mayang dengan ekspresi penasaran, sehingga mau tak mau wajah Mayang berubah menjadi merah padam. “Eng … emang … emang gitu, ya?” tanya Mayang gugup. “Lah, jangan tanya gue, kan, gue nggak tau gimana perilaku lo di tempat tidur bersama pasangan?” jawab Sarah dengan wajah polos, membuat Reindra mau tak mau terkekeh geli. “Bener juga sih, May,” ucap Reindra berusaha menggiring pembahasan ke ranah yang lebih ilmiah agar Mayang tidak terlalu malu. “Secara teori, seperti yang ada di majalah-majalah dan media kesehatan, saat sepasang suami istri melakukan hubungan intim, kan semua organ tubuh ikut bekerja dengan fokus dan terkonsentrasi. Mulai dari otak sampai jantung dan semua system saraf yang ada di tubuh kita. Anggap aja, pada saat melakukan hal tersebut, semua organ akan dipaksa untuk bekerja keras. Nah, bagi orang yang benar-benar sehat, mungkin hal ini tidak masalah. Anggap aja seperti sedang berolahraga biasa. Tapi bagi orang yang memiliki gangguan kesehatan, entah dia mengetahui atau tidak kalau dirinya sebenarnya memiliki penyakit bawaan atau gangguan salah satu organ tubuh, kegiatan berhubungan intim ini sebenarnya terlalu berat untuk mereka. Dan kemudian salah satu organ tubuh, dalam hal ini jantung, akhirnya tiba pada batas kemampuannya untuk bekerja.” Sejenak Mayang terdiam dan memikirkan penjelasan Reindra itu. Teorinya sangat masuk akal memang, meskipun Mayang tidak merasa dirinya terlalu ‘hot’ di tempat tidur. “Kayak orang olahraga aja ya,” ucap Sarah. “Kan sebenarnya kalau kita mau melakukan olahraga, kita harus menyesuaikan dengan kekuatan tubuh dan kondisi kesehatan kita.” Reindra mengangguk setuju. “Iya, yang kalian katakan itu benar, sih. Secara teori memang seperti itu. Tapi ….” Mayang mengerutkan dahinya seperti memikirkan sesuatu yang sangat sulit. “Tapi apa?” tanya Sarah dan Rendra. “Tapi gue … nggak merasa gue terlalu hot di tempat tidur. Perasaan gue biasa aja, deh,” jawab Mayang dengan wajah memerah karena malu sendiri. Meskipun Sarah dan Reindra adalah teman dekatnya, tetap saja ia merasa malu untuk membahas hal seperti ini. Ditambah lagi ada Reindra yang seorang laki-laki, berlawanan jenis dengan dirinya. Tetapi sikap santai kedua temannya itu membuat Mayang mau membahas soal ini meskipun sebenarnya enggan. “Tapi itu kan menurut perasaan lo, May,” sahut Sarah to the point. “Gimana kalau sebenarnya ternyata lo itu termasuk kategori ‘terlalu hot’ menurut standar hubungan intim, tapi lo nggak sadar?” Mayang menoleh pada Sarah dengan wajah tercengang untuk yang kesekian kalinya. “Sebentar, Sar,” ucap Mayang. “Emangnya ada ya, standar hubungan intim? Siapa yang bikin tuh standarnya? Terus, gimana cara ngukurnya? Dan pakai apa?” “Mungkin pakai seismograf. Jadi,standar ukurannya pakai satuan skala richter,” seloroh Reindra. “Gempa bumi kaleeeee!” sambar Sarah. Dan ketiga orang itu tertawa terbahak-bahak. “Maaf ya, May, gue tadi cuma tiba-tiba terpikir aja, gitu,” ucap Sarah pada Mayang. “Gue berusaha mencari rantai penghubung antara kedua musibah yang lo alami ini. Yah, paling tidak, gue mencoba mencari teori yang lebih rasional daripada sekadar soal kutukan yang nggak bisa dijelaskan secara sains atau ilmu kesehatan.” “Nggak apa-apa kok, Sar,” jawab Mayang kalem, “makasih banget lo udah mau bantu mikirin tentang ini. Paling tidak, gue jadi tau kapasitas gue sendiri. Mungkin gue harus berusaha mengurangi kekuatan untuk di kesempatan berikutnya, biar nggak terlalu 'hot'.” Dan Mayang langsung terkikik, geli sendiri dengan ucapannya. “Astagaaaa, kenapa jadi bangga gitu, ini cewek? Sombong banget, berasa paling hot sedunia,” tukas Sarah sembari mendelik ke arah Mayang. Dan kembali ketiga sahabat itu tertawa terpingkal-pingkal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD