Malam itu Mayang tiba kembali di rumah besarnya dengan hati lumayan tenang. Kedua temannya itu selalu bisa membuat moodnya bangkit lagi. Memang, obat untuk bad mood adalah tertawa lepas tanpa beban. Dan itu semua tidak akan berhasil tanpa bantuan Sarah dan Reindra.
Mayang masuk ke dalam kamarnya dan langsung membersihkan diri. Perutnya sudah kenyang dengan menu di Kafe Daun tadi sehingga ia bisa langsung istirahat. Selesai mandi dan berganti pakaian, Mayang membaringkan tubuhnya di atas kasur sambil menatap langit-langit. Ia sedang berpikir untuk mulai mengemasi barangnya sedikit-sedikit untuk dipindahkan ke tempat kostnya yang baru. Memang sih, barang-barang pribadinya tidak banyak, tetapi alangkah baiknya jika dikerjakan sedikit demi sedikit, sehingga saat tiba hari kepindahan nanti ia tidak terlalu repot dan terburu-buru.
Mayang mendesah, mengembuskan napas panjang saat teringat pembicaraan terakhirnya dengan Jennifer, kakak kandung dari Bayu. Saat itu seluruh keluarga Bayu berkumpul di rumah ini untuk acara empat puluh harian meninggalnya Bayu. Dan saat semua tamu sudah pulang, kakak iparnya itu mendatanginya ke dalam kamar.
Gini ya, Mayang. Ini kan udah empat puluh hari meninggalnya Mas Bayu. Kita udah nggak akan bikin acara apa-apa lagi di rumah ini. Yaah, palingan nanti waktu peringatan seribu harian meninggalnya Mas Bayu, kita akan bikin acara doa bersama lagi. Itu juga nanti bisa diadakan di rumah mama atau rumahku aja, nggak perlu di sini. Nah, aku tahu rumah ini surat-suratnya sudah atas nama kamu, karena rumah ini dibeli oleh Bayu untuk tempat tinggal kalian setelah menikah. Setelah kamu menjadi istrinya Bayu. Tapi, kamu tahu sendiri kan, usia pernikahan kalian itu cuma satu hari. Bahkan nggak sampai dua puluh empat jam, loh. Jadi, kalau dipikir-pikir, kamu itu bisa dibilang belum sempat menjalankan tugas secara keseluruhan sebagai istrinya Bayu, kan? Maka dari itu, menurut kami, kamu juga nggak berhak memiliki rumah ini. Yah, kecuali kalau Bayu meninggal setelah kalian punya anak. Tapi … ternyata nggak, kan? Kamu nggak hamil, kan? Maka dari itu, aku minta, dalam bulan ini juga kunci rumah ini harus sudah dikembalikan ke keluarga kami, ya. Kamu kirim aja kuncinya ke rumahku kalau barang-barang kamu sudah dikeluarkan dari rumah ini. Oke.
Sebuah kalimat panjang yang diucapkan oleh Jennifer dengan penuh penekanan sehingga Mayang yakin bahwa itu bukan sekadar permintaan, tetapi sebuah perintah tegas. Saat itu. Mayang yang masih dirundung kesedihan yang mendalam, langsung mengiyakan saja. Mayang paling tidak suka keributan, apalagi karena soal harta.
Mayang kembali mendesah. Ia sama sekali tidak berniat mengincar harta Bayu. Pernikahannya dengan Bayu didasari oleh rasa cinta di antara mereka berdua. Kebetulan saja kehidupan Bayu yang sudah cukup mapan membuatnya mampu membelikan rumah sebesar ini untuk Mayang. Maka dari itu ia sama sekali tidak keberatan untuk mengembalikan rumah ini kepada keluarga Bayu meskipun secara resmi rumah ini adalah miliknya. Mayang yang memang tidak suka membuat keributan dan tidak suka dirinya dituduh materialistis merasa lebih baik untuk segera pindah saja dari rumah ini. Lebih cepat akan lebih baik.
Air mata mulai merebak lagi di pipi Mayang, teringat akan sosok Bayu yang begitu lembut. Bayu adalah tipe suami yang ideal baginya setelah Ridho. Selama mereka pacaran, Bayu tidak pernah bicara kasar dan selalu bersikap menghargai terhadap pasangannya. Dan Mayang yakin seandainya Bayu masih hidup, sikapnya tidak akan berubah meskipun mereka sudah menikah selama bertahun-tahun.
Mayang kembali menarik napas panjang, dan menghapus air mata yang meleleh di pelipisnya, memutuskan untuk berhenti meratapi kepergian Bayu dan melanjutkan hidup seperti biasanya.
Kemudian Mayang berguling ke samping.
Sesosok tubuh terbaring kaku di sisinya. Matanya membelalak lebar dengan wajah pucat kebiruan.
“AAAAHHHHH!!” Mayang menjerit dan melompat menjauh.
Ia jatuh tertelungkup di lantai. Jantungnya berdentum-dentum kencang. Pandangan matanya berkunang-kunang.
“Mas … Mas Ba … yu …?” rintih Mayang dengan suara bergetar. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Ini nggak mungkin! Aku cuma berhalusinasi, kan? Mas Bayu kan udah meninggal! Nggak mungkin Mas Bayu masih ada di sini!
Mayang berusaha menyadarkan dirinya. Memaksa otaknya untuk berpikir dengan akal sehat. Sosok Bayu yang baru saja ia lihat berada di tempat tidurnya dengan posisi yang sama seperti saat ia meninggal, pasti hanya halusinasi. Dan ia sudah beberapa kali mengalami hal ini sebelunnya. Jadi ini pasti hanya sekadar proyeksi random dari otaknya yang terlalu lelah.
Kemudian, sekuat tenaga berusaha menetralkan detak jantungnya yang seperti mau meledak, Mayang menopang tubuhnya dengan kedua lengan, bangkit menegakkan tubuh dan menjulurkan kepala ke atas tempat tidur.
Tidak ada apa-apa di atas kasur. Hanya dua buah bantal dan dua buah guling yang berserak di atas seprai kusut.
Mayang mengembuskan napas lega menyadari dirinya barusan memang hanya berhalusinasi, meskipun ia tak mengerti bagaimana mungkin ia bisa berhalusinasi tentang saat kematian Bayu padahal tadi dia tidak sedang memikirkan soal itu. Mayang kemudian meraih ke atas tempat tidur, memindahkan satu bantal dan satu guling yang tidak terpakai ke dalam lemarinya, dan kemudian kembali berbaring di atas tempat tidur. Menempati posisi di tengah kasur dan berguling ke samping, seolah menguasai tempat tidur agar tidak ada lagi penampakan Bayu yang terbaring kaku di sampingnya.
Langkah Mayang memasuki ruangan kantor langsung disambut oleh Dery, si anak baru yang selalu terlihat bersemangat.
“Mbak Mayang, ada tamu di ruangan Mbak!” ucap Dery setengah berbisik, karena posisi mereka saat itu memang cukup dekat dengan ruangan Mayang.
Mayang mengerutkan dahi. “Tamu siapa pagi-pagi begini? Perasaan aku nggak janjian sama siapa-siapa, deh,” balasnya ikut berbisik. Mayang memang jarang sekali kedatangan tamu di kantor. Jika hendak bertemu dengan klien atau relasi dalam urusan pekerjaan, ia lebih suka melakukannya di luar kantor, atau maksimal di lobby kantor atau kafe. Saat sudah terjalin kerjasama, mereka akan langsung menggunakan ruang meeting untuk mendiskusikan soal pekerjaan.
“Iya, Mbak, maaf,” bisik Dery lagi. “Tadi memang aku yang membolehkan dia menunggu di ruangan Mbak Mayang. Soalnya dia tiba-tiba udah masuk ke ruangan sini dan langsung ngajak ngobrol kita gitu. Kan nggak enak Mbak, kalau langsung aku suruh keluar lagi dan nunggu di lobby. Maaf ya, Mbak,” ucap Dery dengan wajah takut-takut.
Mayang tersenyum. “Iya udah, nggak apa-apa. Udah dibikinin minum belum tamunya?” tanya Mayang yang memang tak mudah marah oleh hal kecil seperti ini. Dery adalah karyawan yang baik, dan dia bisa mempertimbangkan tindakan yang harus dilakukan saat berada dalam kondisi tertentu. Jadi jika Dery memasukkan tamu tersebut ke ruangannya, pasti sebelumnya sudah berusaha ia pertimbangkan dengan baik dalam waktu singkat.
“Udah dibawain teh manis sama Mas Nur barusan, Mbak,” jawab Dery.
“Oh, ya udah kalau gitu. Aku temuin dia sekarang. Makasih ya, Der,” ucap Mayang sembari menepuk lengan Dery.
“Sama-sama, Mbak,” ucap Dery yang langsung kembali ke mejanya.
Mayang melangkah masuk ke dalam ruangannya. “Selamat pagi, Pak," sapanya pada laki-laki yang duduk membelakanginya.
Laki-laki itu segera berdiri lalu berbalik, dan langsung berhadapan dengan Mayang.
“Selamat pagi, Bu Mayang,” ucap laki-laki muda itu sambil sedikit membungkukkan tubuhnya yang tinggi. Senyum sopan menghias wajahnya yang ramah dan cukup tampan.
“Maaf mengganggu, Bu. Perkenalkan, saya Dio,” ucapnya sambil mengulurkan tangan kepada Mayang. Mayang menjabat tangan Dio sembari menyebutkan namanya. Kemudian Mayang mempersilakan Dio duduk sebelum ia menduduki kursinya sendiri yang berseberangan dengan Dio.
“Maaf saya datang pagi-pagi begini, Bu,” ucap Dio.
“Oh, nggak apa-apa, Pak,” sahut Mayang ramah sembari mencondongkan tubuh ke depan dan melipat kedua lengannya di atas meja. “Ada yang bisa saya bantu?”
“Saya mau minta waktu Ibu sebentar untuk menawarkan property,” kata Dio sembari mengeluarkan sesuatu dari dalam tas yang ia bawa.
“Property?” tanya Mayang sembari mengangkat alis, langsung berpikir bahwa laki-laki yang ada di hadapannya ini adalah seorang agen real estate yang hendak menawarkan rumah atau apartemen padanya. Padahal sementara ini Mayang masih belum mantap mempertimbangkan untuk membeli rumah atau jenis hunian lain sebagai tempat tinggalnya.
Melihat wajah Mayang yang sepertinya mengira dirinya adalah sales perumahan, Dio buru-buru menjelaskan agar Mayang tak salah paham dan keburu mengusirnya. “Saya mau menawarkan property untuk keperluan pemotretan majalah Style, Bu,” ucapnya.
“Ooh,” ucap Mayang mengerti dan mengangguk.
Dio kemudian meletakkan sebuah tab dengan layar menyala di atas meja Mayang, dan menghadapkannya ke arah Mayang. “Silakan dilihat-lihat dulu, Bu, sambil saya menjelaskan,” ucap Dio mempersilakan Mayang.
“Oke,” ucap Mayang yang langsung menggeser-geserkan jemarinya di atas layar tab untuk melihat-lihat foto-foto yang ada di sana.
“Jadi begini, Bu,” jelas Dio. “Properti-properti ini adalah milik mendiang orang tua saya. Setelah keduanya meninggal, rumah-rumah serta villa ini nggak ada yang menempati. Saya dan kakak-kakak saya juga sudah memiliki pekerjaan dan kegiatan sendiri, dan tidak ada waktu untuk mengurus semuanya. Jadi, kami memutuskan untuk menyewakan property ini untuk keperluan photoshoot atau shooting video. Saya menawarkan kepada Ibu, karena majalah Style kan banyak sekali melakukan pemotretan untuk para foto model dan produknya. Sementara properti kami ini cukup lengkap variasi areanya, Bu. Mulai dari area indoor sampai outdoornya, masing-masing ruangan sudah didekorasi dengan berbagai gaya. Di setiap sudutnya juga sudah diberi ornamen-ornamen unik yang sangat bagus untuk latar belakang foto. Kalau diperkirakan perhitungan rata-ratanya, di dalam satu property ini bisa dilakukan hingga seratus kali pemotretan dengan latar belakang yang berbeda dan ambience yang juga berbeda. Kalau nanti suatu hari semua sudut sudah pernah dipakai untuk latar belakang foto, kami akan memperbaharuinya. Bisa juga disesuaikan dengan keinginan penyewa.”
“Hmm ….” Mayang mengangguk-angguk sembari tetap mengamati foto-foto yang terpampang di layar. Memang benar apa yang dikatakan oleh tamunya ini, bahwa property milik keluarganya ini sangat cocok untuk dijadikan lokasi foto untuk majalahnya. Semua ruangan dan sudut sepertinya sudah dipersiapkan untuk menerima tangkapan layar tanpa harus repot mendekor lebih dulu. Mereka telah mendesain masing-masing ruangan dengan gaya yang sangat berbeda satu sama lain. Mulai dari bohemian, coastal, rustic, pop art, vintage, kontemporer, eklektik, hingga industrial. Dari dapur hingga kolam renang, semuanya sudah dilengkapi dengan hiasan-hiasan cantik yang bisa di mix and match untuk menimbulkan suasana yang berbeda.
“Kalau majalah Style mau bekerjasama dengan kami,” lanjut Dio, “akan kami berikan harga paket dan kontrak eksklusif, Bu. Masa kontraknya bisa kita sesuaikan dengan keinginan Ibu. Jadi, tiga buah rumah dan dua buah villa, serta satu kafe resto ini, hanya akan digunakan untuk keperluan majalah Style saja. Tidak akan kami sewakan kepada pihak lain selama masa kontrak berlangsung.
“Begitu, ya,” ucap Mayang sembari melepaskan pandangannya dari layar tab dan menatap tamunya. “Memang bagus-bagus dekorasinya, Pak. Cocok dengan tema majalah Style. Tapi ini lokasinya di mana, Pak?” tanya Mayang.
“Yang dua rumah ini ada di Jakarta Selatan, Bu. Yang satu di Bogor kota. Kalau villanya, yang dua di puncak, yang satu lagi di Lembang. Kalau resto dan kafe ini udah nggak beroperasi lagi ya, Bu. Lokasinya di Jakarta Barat,” jelas Dio.
“Nggak terlalu jauh juga ya,” komentar Mayang. “Paling jauh cuma di Lembang.”
“Iya, Bu,” jawab Dio.
“Oke, Pak Dio,” ucap Mayang. “Untuk hal ini, nanti saya bicarakan dulu dengan pihak manajemen dan fotografer saya. Bisa tolong kirimkan foto-foto ini ke email saya? Untuk bahan diskusi saya dengan rekan-rekan saya nanti.”
“Bisa, Bu. Baik, akan saya kirimkan,” ucap Dio.