Hang Out

2200 Words
“Sar, nih, dari nyokap gue. Semalam udah gue masukkin lemari es, kok,” ucap Mayang sambil meletakkan kotak berisi kue yang dibawanya dari Bekasi kemari sore. “Bagi dua sama Reindra, ya, jangan lo abisin sendirian.” “Wuiiihh! Kue apa nih? Kayaknya enak banget!” seru Sarah yang langsung membuka kotak tersebut dengan antusias, dan kini langsung memelototi penampakan kue yang terlihat sangat menggiurkan di atas meja kerjanya itu. “Belum ada namanya, sih. Semacam dessert box, tapi nggak se-full cream biasanya,” jelas Mayang. “Ini tuh, lebih cenderung kayak cake, meskipun teksturnya lembut banget dan terasa creamy. Makanya dia nggak harus masuk ke dalam lemari es, dan juga bisa dibentuk pakai cetakan. Ini resep baru dari tetangga nyokap yang punya toko kue. Kemarin gue praktekkin sama nyokap dan bude gue.” “Woaah! Apaan nih?” Belum sempat Sarah mengomentari penjelasan Mayan, Reindra tiba-tiba sudah berdiri di belakangnya, ikut memelototi kue tersebut. “Yeee, kaget tau! Udah kayak hantu aja lo, tiba-tiba muncul di belakang orang terus teriak!” maki Sarah kesal, membuat Reindra tertawa terkekeh-kekeh. “Belum ada namanya Rein,” sahut Mayang, “tapi masa gue harus jelasin lagi tentang kue ini ke lo? Tadi udah gue jelasin ke Sarah.” “Ya udah, nggak perlu dijelasin, May. Langsung gue makan aja. Kebetulan gue belum sarapan,” sahut Reindra cepat dan segera beranjak hendak pergi ke arah dapur. “Ambilin sendok buat gue juga, Rein!” seru Sarah. “Nggak usah, satu sendok berdua aja kita,” sahut Reindra sembari nyengir. “Dih, jijik! Mending gue pake tangan, deh!” tukas Sarah. “Kalau kayak gitu jadi gue yang jijik,” balas Reindra kalem. “Sial. Rese!” gerutu Sarah. Mayang tertawa melihat percakapan tidak jelas kedua temannya itu. Beberapa saat kemudian Reindra dan Sarah sudah menikmati kue yang dibawakan oleh Mayang. Keduanya saling berebut menyendok dengan porsi yang lebih besar sambil sesekali beradu sendok seperti orang beradu pedang. Membuat Mayang lagi-lagi tertawa geli melihat mereka. “Udah ah, gue ke ruangan gue dulu. Kerja, kerja!” ucap Mayang. “Eh, nanti sore jadi cari kosan, nggak, May?” tanya Reindra mengingatkan. “Mumpung hari ini kita nggak ada deadline.” “Eh, iya. Boleh, yuk. Naik apa, kita?” tanya Mayang. “Naik motor aja,” jawab Reindra. “Sarah nggak jadi ikut, ada kencan. Iya kan, Sar?” tanya Reindra memastikan. Sarah mengangguk sembari masih mengunyah. “Sama siapa, Sar? Si Adelio?” tanya Mayang. “Bukannya lo ngga suka sama dia karena dia ‘melambai’?” “Ya justru itu,” jawab Sarah, “karena gue nggak suka sama dia, makanya gue harus nerima ajakan dia untuk kencan biar dia nggak ngejar-ngejar gue terus. Gila tau nggak, dia tuh sehari ngajakin video call bisa sepuluh kali. Lebih parah daripada orang pacaran. Makanya, kalau dia nanti nembak gue, bisa gue tolak sekalian.” Sarah memanyunkan bibirnya dengan kesal. “Ihh, sadis!” seru Mayang pura-pura terkejut. “Lebih sadis kalau gue nggak ngomong apa-apa. Nanti malah dia salah paham, dikira gue juga naksir,” ucap Sarah. “Berarti kalau dia nggak nembak-nembak lo juga, dia bakal salah paham terus, dong?” ucap Mayang. “Kalau dia sekarang ini udah menganggap lo itu sebagai pacarnya, lalu dia jadi nggak merasa harus nembak lo, gimana Sar. Hayooo!” ujar Reindra menakut-nakuti. “Astagaaa jangan sampe, deh!” tukas Sarah kesal. “Nggak mau! Pokoknya dia harus tau kalau gue nggak suka sama dia!” “Ya udah, ya udah, semoga Adelio malam ini nembak lo, dan lo jadi bisa nolak dia. Oke?” ucap Mayang sembari berbalik dan melangkah menuju ke ruangannya. “Okeee!” seru Sarah. Sore itu sepulang dari kantor, Mayang langsung berangkat mencari tempat kos dengan Reindra. Sebelumnya Mayang sudah mencari di internet dan mendata beberapa kamar kost atau kontrakan yang sesuai dengan keinginan dan budgetnya. Sementara Reindra juga mengetahui beberapa lokasi tempat kos yang sekiranya cocok dengan yang diinginkan oleh Mayang. Selama dua jam penuh mereka berkeliling mendatangi rumah-rumah kos dan kontrakan, sekaligus melihat ke dalam kamarnya untuk melihat kondisinya masing-masing. Dan setelah jam digital di ponsel Mayang sudah menunjukkan pukul tujuh malam, ia mengajak Reindra untuk menyudahi perburuan mereka. “Udahan yuk, Rein,” ucap Mayang, “gue laper. Kita makan dulu sambil gue mikir mau ambil kamar kos yang mana.” “Oke, yuk,” sahut Reindra sambil memberikan helm kepada Mayang. “Makan di mana enaknya?” “Yang ada area outdoornya aja. Lo pasti mau sambil ngerokok, kan?” tanya Mayang. “Tau aja lo,” ucap Reindra sembari cengengesan. “Di kafe yang tadi aja tuh, yang kita lewatin sebelum ke sini. Kayaknya asyik tempatnya.” “Ya udah oke,” ucap Mayang cepat, “gue sih di mana aja oke, yang penting ada makanannya.” “Siip!” sahut Reindra. Sesampainya di Kafe Daun, Reindra memarkirkan motornya di area parkir depan kafe yang bernuansa taman tersebut. Mayang turun dari motor Reindra dan mengamati desain kafe tersebut yang sembilan puluh persennya adalah area outdoor. Pohon-pohon berukuran besar dan kecil menyebar di seluruh area terbukanya yang dilapisi rumput pendek. Di antara pepohonan itu terdapat kursi-kursi pendek dan meja berbagai bentuk yang dikelompokkan untuk empat sampai lima orang dengan posisi yang sengaja dibuat tidak teratur namun justru terlihat aesthetic. Di keseluruhan area outdoor ini dinaungi oleh pergola kayu berhiaskan tanaman rambat, sehingga selain mencegah para tamu agar tidak kehujanan, juga menambah nilai keindahan suasana yang sejuk dipandang mata. Beberapa kelompok pengunjung tampak sedang menikmati pesanan mereka di meja masing-masing sembari mengobrol santai. “Di situ aja, yuk!” Reindra menunjuk ke arah sudut yang terlihat diterangi sederet lampu hias berwarna kuning yang menjuntai di atas tempat duduknya yang berjumlah empat kursi. “Ayuk,” sahut Mayang sembari mengangguk dan mengikuti langkah Reindra menuju ke sudut kafe. Seorang waitress langsung menghampiri mereka berdua dan menyodorkan sebuah lembaran menu besar kepada Reindra. Reindra langsung mengangsurkannya kepada Mayang, mempersilakannya untuk memesan duluan. “Nih, May, lo pesen duluan, deh. Lo kan udah laper,” ucap kata Reindra. Mayang nyengir sambil menerima lembar menu tersebut. “Iya nih laper banget. Sebentar ya, Mbak,” ucap Mayang sopan pada waitress yang masih berdiri si samping meja mereka. “Silakan, Kak,” ucap waitress itu ramah pada Mayang. Setelah menentukan menu makanan dan minuman pilihannya, Mayang memberikan buku menu itu kepada Reindra agar pemuda itu bisa memesan makanannya. Kemudian tiba-tiba ponsel Mayang berbunyi. Mayang meraih ponsel dari dalam tasnya dan mengamati layar sejenak. Ia mengangkat alisnya tinggi-tinggi melihat nama Sarah tampil di layar. Ia langsung saja menggeser tombol hijau dan menempelkan ponsel pada telinganya. “Halo, Sar?” sapa Mayang. “May? Lo di mana? Masih cari kosan? Masih sama Reindra apa udah pulang?” “Masih sama Reindra nih, udah selesai liat kosan terus sekarang gue di kafe mau makan. Lo di mana Sar? Udah selesai kencannya?” “Udah! Dah pulang si Adelio. Lo pada di kafe mana? Gue nyusul, deh!” “Di Kafe Daun. Nih gue share location aja, ya.” “Oke.” “Mau pesen makan sekalian, nggak? Biar gue pesenin.” “Mau.” “Lo lagi mau makan apa?” “Apa aja. Makan orang juga sanggup nih gue.” “Yeee. Serius nih, mau makan apa? Di sini ada macam-macam, ada ….” “Udah, samain aja sama lo semuanya. Oke. Gue on the way ke situ. Tungguin.” “Ya udah, oke. Hati-hati, Sar!” Lima belas menit kemudian, saat Mayang dan Reindra baru hendak memulai suapan pertamanya, Sarah datang bergabung dengan mereka. “Woii! Tungguin!” ucap Sarah sembari meletakkan tas kameranya di atas salah satu kursi yang masih kosong, dan langsung duduk. “Masuk mulut juga belum, masih panas kali,” celetuk Reindra. “Tuh, makanan lo aja masih beruap gitu.” Sarah nyengir kuda sembari meraih gelas jus di atas meja dan meneguk isinya. “Lo cepet banget kencannya, Sar?” tanya Mayang. “Iya cepet lah,” ucap Mayang dengan senyum kalem, “soalnya tadi gue langsung nolak dia dengan tegas. Jadi ya udah, langsung bubar.” Mayang dan Reindra tercengang menatap Sarah yang dengan santainya menceritakan sebuah penolakan pernyataan cinta dengan sedemikian simpelnya. “Ha? Gimana gimana?” tanya Mayang penasaran. “Dia nembak lo tadi?” tanya Reindra. Sarah mengangguk. “Tadinya sih, kita cuma ngobrol biasa aja sambil makan,” cerita Sarah. “Terus lama-lama dia mulai membahas hal-hal yang ‘menjurus’ gitu.” “Menjurus gimana?” tanya Reindra bingung. “Yaa … misalnya kayak semacam kalimat ‘Gue ngerasa nyaman deh, sama lo Sar’ atau kalimat ‘Asyik juga ya kalau kita bisa sama-sama terus kayak gini’ dan sebagainya,” jelas Sarah. “Ooh, oke. Terus, terus?” tanya Reindra penasaran. “Ya terus, karena nggak sabaran, akhirnya gue serang aja langsung,” sahut Sarah. “Gue tanya ama dia, ‘Lo suka sama gue Del?’ gitu.” Mayang dan Reindra sama-sama melongo menatap Sarah. “Buset! Serius lo ngomong gitu ke Adelio?” tanya Reindra tak percaya. “Terus, terus, Adelionya gimana pas lo ngomong gitu, Sar?” tanya Mayang sembari terkikik geli membayangkan bagaimana Sarah bersikap sangat to the point terhadap Adelio tadi. “Ya dia kaget gitu,” jawab Sarah sembari nyengir, “terus dia jadi gugup. Tapi akhirnya dia jawab ‘iya’. Mukanya langsung malu gitu.” Mayang dan Reindra terkekeh-kekeh. “Teruuuuss?” tuntut Mayang. “Ya terus,” lanjut Sarah, “gue langsung jawab aja ‘Sori Del, gue nggak ada perasaan apa-apa sama lo’.” “Sadiiissssss!” seru Mayang dan Reindra berbarengan. “Ya mau gimana lagi, kan gue emang nggak naksir dia,” jawab Sarah cuek. “Udah gitu, dia nyebelin banget, deh. Masa dia sempet bilang katanya kalau dia jalan sama gue, dia merasa ‘terlindungi’. Apaan coba? Emangnya gue bodyguard!” Sarah menggerutu kesal. Seketika Mayang dan Reindra tertawa terbahak-bahak. “Dih, kok kalian malah pada ketawa, sih?” omel Sarah. “Sori, sori,” ucap Mayang nyaris tersedak karena berusaha berbicara saat masih tertawa. “Denger cerita lo ini, gue langsung sadar akan apa yang sebenernya bikin Adelio suka sama lo.” “Apaan emang?” tanya Sarah polos. “Ya yang itu tadi,” sambar Reindra tak sabaran. “Adelio kan meskipun ternyata cowok tulen, karena faktanya dia naksir lo, tapi dia memang pada dasarnya agak feminin. Nah, makanya dia sukanya sama cewek jagoan yang kuat kayak lo, Sar. Bener kan, May?” Reindra menoleh ke arah Mayang. “Bener banget,” sahut Mayang sembari nyengir. “Tapi kan, aneh! Masa cewek yang melindungi cowok? Harusnya kan cowok yang lebih kuat daripada cewek?” bantah Sarah tak senang. “Ah, itu kan standar zaman dulu,” ucap Reindra, “zaman sekarang yang namanya pasangan nggak perlu ngikutin standar khusus kayak orang zaman dulu. Lagian kan lo emang kuat banget secara fisik, Sar? Susah kali, nyari cowok yang lebih kiat dari lo. Kalaupun ada juga stoknya terbatas." Reindra terkekeh. “Iya bener, Sar,” dukung Mayang, “pasangan suami istri zaman sekarang aja ada yang bertukar posisi loh. Istri yang kerja di kantor, suami yang urus anak. Dan itu nggak apa-apa, asalkan udah sepakat sebelumnya dan nggak ada yang merasa direndahkan atau merasa sombong karena bisa berada di atas yang lainnya.” Sarah tercengang menatap kedua temannya. “Emang kayak begitu nggak aneh, ya?” tanya Sarah. “Nggak,” jawab Mayang dan Reindra kompak. “Hmmm ….” Sarah bergumam sembari menatap ke atas meja seperti memikirkan sesuatu. Mayang dan Reindra saling berpandangan dengan penuh arti, kemudian terkikik bersamaan. Sarah menoleh menatap kedua temannya itu. “Ngetawain apa lagi lo berdua?” tanyanya galak. Mayang tersenyum. “Kalau dilihat dari reaksi lo, kayaknya lo sebenarnya suka ya sama si Adelio? Tapi sayangnya pemikiran lo nggak bisa menerima kondisi kalau ada cewek yang lebih kuat daripada cowoknya. Gitu, kan?” tuduh Mayang dengan yakin. “Dih, enak aja. Nggak gitu kali!” bantah Sarah keras, meskipun wajahnya mendadak memerah. “Kayaknya emang gitu deh, Sar,” ucap Reindra sambil mendekatka wajahnya kepada Sarah tiba-tiba. “Gue kan tau wajah lo kalo bohong.” “Siapa yang bohong?” bantah Sarah semakin terdesak. Mayang terkikik lagi. Reindra nyengir sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. “Pantesan dulu kita nggak cocok ya, Sar. Soalnya lo memang tipe cewek kuat dan berani yang nggak butuh perlindungan laki-laki. Cowok yang tipenya seperti gue gini, jadi merasa nggak ada fungsinya kalau jadi pasangan lo. Useless, gitu. Nah, berarti lo memang cocoknya sama yang kayak Adelio tuh. Biar bisa saling melengkapi.” "Setujuuuu!" dukung Mayang sambil bertepuk tangan dengan girang. "Udah, telepon lagi si Adelio, bilang aja lo mau ralat penolakan lo tadi!" “Enak aja! Ngaco lo berdua! Gue terbalikkin juga ni meja!” seru Sarah dengan wajah semakin merah padam yang membuat Mayang dan Reindra semakin terbahak-bahak. Lucu sekali membayangkan Sarah yang bertubuh sedikit kurus tapi kuat, dengan wajah manis, membalikkan meja di depan para pengunjung. “Udah ah, udah! Ganti topik! Males gue ngomongin Adelio mulu!” tukas Sarah yang langsung berpaling pada Mayang. “Jadi gimana kemarin, May? Lo ngobrol apa aja sama nyokap lo dan pakde bude lo?” tanya Sarah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD