Mayang dan Dio saling pandang dengan wajah tegang. Suara menggeram itu terdengar dari kejauhan. Dan sepertinya berasal dari dalam rumah.
“Sstt ….” Dio berdiri dari kursinya dan meletakkan telunjuknya di depan bibir, memberi isyarat kepada Mayang untuk mendengarkan. Mayang menahan napas dan memasang telinga lebar-lebar sembari mengendap mengikuti Dio di belakangnya.
Mereka berjalan tanpa suara keluar dari dapur dan menuju ke ruang tengah. Suara seperti geraman itu terdengar secara berkala. Semakin mereka melangkah maju, suara itu semakin terdengar jelas. Dan asalnya dari balik pintu salah satu kamar.
Dio dan Mayang kembali saling bertatapan, dan seketika menutup mulut masing-masing, menahan tawa yang hendak menyembur keluar. Secara bersamaan mereka menyadari bahwa suara itu ternyata bukan suara geraman, melainkan suara dengkur yang terdengar dari kamar tengah yang ditempati oleh Reindra.
Mayang dan Dio segera kembali ke dapur, dan melepaskan tawa tertahan mereka di sana.
“Haduuh, gara-gara habis cerita serem, denger suara dengkur temen sendiri jadi ketakutan,” ucap Mayang sembari terkikik.
“Udah gitu, kita pake mengendap-ngendap pula tadi, udah kayak adegan film horror aja,” ucap Dio yang juga masih tertawa, “kalau tadi ada yang liat kita kayak gitu, malu banget ya kita?”
“Iya. Hihihih!” Mayang masih belum bisa meredakan tawanya.
Dio geleng-geleng kepala menyadari kebodohan mereka barusan. Ia meraih cangkir tehnya yang masih penuh dan meneguk isinya. Mayang pun mengikuti jejaknya dan meminum sisa teh di dalam cangkirnya yang sudah habis setengahnya.
“Jadi laper,” ucap Dio sambil mengusap-usap perutnya. “Di lemari es ada apa, ya?” Kemudian ia bangkit dan beranjak menuju lemari es untuk melihat isinya.
“Wah, May, ada kue! Gue lupa kalau Mang Ujang selalu nyiapin makanan kecil kalau tau gue mau datang ke sini,” ucap Dio sembari menarik keluar sebuah kotak dari dalam lemari es dan membawanya ke meja.
“Kue apa tuh?” tanya Mayang dengan penuh minat. Gara-gara Dio berkata lapar, Mayang jadi merasa perutnya juga seolah-olah menagih minta diisi.
“Ooh, bolu s**u! Wah enak nih, rasa keju lagi. Lo suka kan, May? Kita potong, yuk!” ajak Dio yang diangguki oleh Mayang.
Dan sesaat kemudian Dio dan Mayang sudah asyik menikmati potongan bolu s**u mereka masing-masing. Mayang juga sudah menyeduhkan teh panas lagi untuk mereka berdua.
“Lo nggak apa-apa kan, May? Udah nggak takut lagi?” tanya Dio sehubungan dengan mimpi aneh Mayang dan suara geraman yang ia pikir ia dengar tadi sebelum Dio datang.
Mayang menggeleng. “Nggak apa-apa,” ucapnya. “Gue sebenernya nggak terlalu takut sih, sama hal-hal kayak gitu. Cuma tadi karena gue lagi nginep di tempat yang baru, yah jadinya gue agak terpengaruh gitu.”
“Oh, syukurlah kalau lo nggak penakut,” ucap Dio. “Berarti nonton film horror nggak takut, dong?” tanya Dio.
“Mmm ….” Mayang berpikir sebentar. “Tergantung filmnya juga, sih. Kalau film horror barat gue masih berani, tapi kalau horror asia, nggak tau kenapa kayaknya lebih serem, gitu.”
“Iya juga, yah,” ucap Dio sembari mengangguk setuju. “Mungkin karena film horror asia itu alamnya dan suasananya udah akrab dengan kita, jadi kita merasa lebih real gitu. Karena ngebayangin hal yang serem itu terjadi pada kita di lokasi yang kita lihat di film itu.”
“Iya, bener tuh. Kayak … apa yah, feelnya lebih dapet, gitu,” kata Mayang.
“Tapi lo tetep nonton juga kan, film-film horror asia yang terkenal-terkenal gitu?” tanya Dio.
“Ooh, tetep. Cuma kadar rasa takutnya beda. Tapi gue tetep penasaran pingin nonton. Apalagi kalau yang viral di media sosial. Kan rugi kalau nggak nonton,” ucap Mayang. “Apalagi nontonnya di bioskop, seremnya bakal terngiang-ngiang sampai berhari-hari!”
“Ya udah, kapan-kapan kita nonton film horror yuk!” ajak Dio tiba-tiba.
“Eh … nonton …?” tanya Mayang yang sedikit terkejut karena Dio mendadak mengajaknya nonton.
“Ada yang mau tayang di bioskop loh, akhir bulan ini. Liat infonya nggak, di berita sinema?” tanya Dio langsung, antara menutupi kegugupannya sendiri karena telah nekat mengajak Mayang pergi nonton, dan berusaha supaya Mayang terfokus pada pembahasan soal filmnya dan tidak menolak ajakannya.
“Belum, tuh. Apa judulnya?” tanya Mayang.
“Gue juga lupa … apa, yah ….” jawab Dio sembari mengerutkan dahi untuk mengingat-ingat. “Pokoknya ceritanya tuh tentang sekelompok anak muda yang lagi dihukum sama orang tuanya gara-gara nilai sekolahnya jelek semua. Terus mereka janjian menyelinap kelua rumah saat malam hari, dan bikin party di hutan. Nah, di dalam hutan itulah nanti mereka dikejar-kejar sama sesuatu.”
“Wah … kayaknya seru, tuh. Sesuatunya itu apaan kira-kira? Monster atau hantu?” tanya Mayang penasaran.
“Nggak tau, kan nggak dikasih spoiler di trailernya. Biar kita penasaran,” jawab Dio.
“Oh iya yah,” ucap Mayang.
“Nanti kita nonton, ya, kalau udah tayang di bioskop,” ucap Dio lagi karena tadi belum mendapatkan jawaban dari Mayang atas ajakannya.
Mayang berpikir cepat apakah ia harus menolak atau menerima ajakan Dio ini. Kalau dia menolak akan terlihat aneh, seolah Mayang sudah tahu kalau Dio suka padanya dan sedang berusaha mendekatinya, lalu Mayang malah bersikap jual mahal. Padahal kan Dio belum mengatakan apa-apa soal perasaan. Sementara kalau Mayang langsung menerimanya, masih ada sedikit rasa khawatir di hatinya jika Dio berpikir dia adalah perempuan gampangan.
“Tapi Sarah sama Reindra nggak suka film horror,” jawab Mayang cepat. Sebuah kalimat jawaban yang dirasanya paling aman untuk diucapkan, sembari ia memancing Dio lebih jauh. Mayang bersikap seolah sejak tadi ia memang menganggap bahwa ajakan Dio itu berlaku untuk dia dan kedua temannya, karena saat ini mereka sedang pergi bersama berempat.
“Ya udah, kalau Sarah sama Reindra nggak mau, kita aja. Kalau orang nggak suka nonton film horror kan nggak bisa dipaksa. Nanti mereka malah nggak nyaman,” ucap Dio dengan segera.
“Hmm … oke,” jawab Mayang sembari mengangguk, berusaha memberikan jawaban yang tidak terlalu bersemangat, tetapi juga tetap terdengar menghargai ajakan Dio.
“Oke,” ucap Dio sembari tersenyum, tampak cukup puas mendengar jawaban Mayang.
Setelah itu mereka berdua melanjutkan obrolan dengan hal-hal ringan yang membuat mereka banyak tertawa dengan gembira. Saling bertukar hal-hal ringan tentang keseharian mereka berdua hingga tak sadar bahwa waktu sudah menunjukkan pukul tiga lewat tiga puluh menit dini hari.
“Ya ampun! Udah jam segini, nggak terasa, ya?” ucap Mayang tiba-tiba. “Besok lo ada acara launching loh, Dio.”
“Iya yah nggak terasa, keasyikan ngobrol kita dari tadi. Wuaah! Bolu seloyang sampai habis gini?” ucap Dio pura-pura terkejut sembari menjulurkan kepala ke dalam kotak bolu yang telah kosong.
Mayang terkikik. “Gendut deh gue nanti pulang ke Jakarta,” ucapnya.
“Eh, belum. Besok masih ada makanan lagi loh, di pembukaan kafe. Gue udah pesen menu yang enak buat tamu,” ucap Dio sembari nyengir.
“Aduuh, gawat! Naik berapa kilo nih nanti timbanga gue?” ucap Mayang pura-pura sedih.
“Tenang, nanti kan tinggal ngegym aja,” ucap Dio sembari membereskan kotak kue yang sudah kosong itu.
“Gue nggak terlalu suka ngegym sih sebenernya, lebih suka olahraga yang simple dan nggak perlu sosialisasi sama banyak orang,” ucap Mayang.
“Misalnya apa?” tanya Dio.
“Misalnya yah ... kayak yoga di rumah atau jogging aja gitu,” ucap Mayang.
“Oke, kalau gitu pulang dari sini kita jogging di Senayan. Oke?” ucap Dio, lagi-lagi mengejutkan Mayang dengan permintaan persetujuan yang begitu mendadak dan berkesan santai sehingga membuat Mayang serasa tak dapat menolak.
“Oke,” ucap Mayang akhirnya, pasrah saja mengiyakan ajakan Dio. Dalam hati ia berharap Dio tidak menganggapnya sebagai perempuan gampangan yag mudah diajak pergi kemana-mana.
“Ya udah, sekarang kita tidur, yuk,” ajak Dio, udah hampir pagi ini.
“Oh iya, besok kita jalan jam berapa dari sini?” tanya Mayang sembari mengikuti langkah Dio kembali menuju ke kamar mereka.
“Jam sepuluh atau jam sebelas dari sini juga nggak apa-apa,” jawab Dio, “udah ada karyawan yang siapin semuanya kok. Gue datang kan tinggal gunting pita sama kasih kata sambutan. Kayak peresmian posyandu di desa, yah.”
Mayang merasa geli mendengar analogi yang dikatakan oleh Dio barusan. Dalam pikirannya tiba-tiba terbayang sosok Dio yang mengenakan stelan baju safari berwarna kelabu dan peci warna hitam yang bertengger di kepalanya, memegang gunting sembari berdiri tegap, bersiap menggunting pita. Bayangan yang konyol ini membuat Mayang tak kuasa menahan tawanya.
“Dih, ketawa sendiri nggak ngajak-ngajak,”protes Dio saat mereka sudah berdiri di depan deretan pintu-pintu kamar mereka.
“Maaf, maaf,” ucap Mayang sembari nyengir, kemudian menceritakan bayangan yang baru saja tercipta di dalam kepalanya pada Dio.
“Pffftttt … hahahaha!” Dio tertawa mendengarnya. “Enak aja, sori yah. Gue besok nggak bakal kayak gitu. Lebih keren, laah!” ujarnya dengan percaya diri.
“Iya deeh, percaya,” sahut Mayang sembari tersenyum. Dio memang keren, tak ada yang bisa membantah soal itu.
“Ya udah, lo masuk deh. Udah semakin dingin nih, udaranya. Met istirahat, yah,” ucap Dio.
“Oke, lo juga istirahat ya,” ucap Mayang, berusaha keras menjaga nada suaranya agar tak terdengar terlalu mesra sehingga membuat Dio berpikir macam-macam.
"Oke. Sampai besok," ucap Dio sambil melambai dan berlalu menuju ke kamarnya. Mayan membuka pintu kamarnya perlahan dan menutupnya kembali. Kemudian ia menyelinap kembali ke balik selimut dengan sangat hati-hati agar Sarah tidak terbangun.
Mayang tersenyum ketika teringat keakrabannya dengan Dio tadi. Ini adalah malam yang panjang bagi Mayang.