Pemikiran Yang Logis

1812 Words
Setelah ibunya keluar dari kamar dan meninggalkannya, Mayang berbaring di atas tempat tidur. Menatap langit-langit kamar dengan pandangan menerawang. Sebelum pulang dari kantor tadi, Mayang mengira ibunya atau pakde dan budenya akan membujuknya agar tinggal bersama lagi di rumah ini. Tapi ternyata tidak. Ada hal lain yang ingin disampaikan oleh ibunya. Tadi saat ibunya sedang membicarakan soal kutukan atau sengkolo yang dinamakan Bahu Laweyan itu, Mayang merasa sedikit terpengaruh. Mungkin karena nada bicara ibunya yang terdengar sangat serius, atau wajah ibu yang terlihat gugup dan ketakutan, dan bahkan setelah itu bahkan menangis terisak-isak. Tapi sekarang setelah ia sendirian dan berpikir sendiri, semua yang dikatakan ibunya tadi terdengar tak masuk akal, dan bahkan membuat Mayang ingin tertawa karenanya. Mayang tahu, sebagai keturunan suku Jawa asli, keluarganya pasti banyak mendengar cerita-cerita tentang hal-hal yang mustahil seperti itu. Kutukan, tahayul, mitos, dan lain sebagainya. Mayang mungkin pernah mendengar sekilas tentang macam-macam kutukan yang berasal dari kisah lama atau cerita tradisional, namun ia tidak pernah menganggapnya serius. Ia menganggap semua itu hanya cerita legenda yang diceritakan secara turun temurun hanya agar keturunan dari para leluhur memiliki kenangan akan adat kebudayaan yang pernah dijalani oleh nenek moyang. Hanya sekadar usaha untuk menghargai para pendahulu kita yang sudah hidup di bumi sebelum kita. Hanya itu saja. Dan bukan untuk dipercayai apalagi dilakukan. Maka dari itu sangat sulit bagi Mayang untuk memercayai kata-kata ibunya tentang Sengkolo Bahu Laweyan yang ada di dalam dirinya. Mayang meraba bahu kirinya perlahan. Ia tidak pernah menganggap tanda lahir berbentuk lingkaran berwarna hitam di bahunya ini adalah tanda kesialan apalagi kutukan. Selama bekerja di redaksi majalah yang berfokus pada dunia mode dan fashion, ia sudah melihat orang yang memiliki tanda lahir di beberapa bagian tubuh mereka, dan bahkan ada yang terletak di wajah. Tetapi itu semua hanya ia anggap sebagai sebuah kondisi yang unik, di mana pigmen kulit seseorang tumbuh dengan tidak wajar, cenderung berlebihan pada satu area di tubuh manusia, sehingga menimbulkan bentuk dengan warna yang jauh lebih gelap daripada warna kulitnya secara keseluruhan. Hal itu bisa dijelaskan di dalam ilmu kedokteran, dan bukan merupakan fenomena tak terjelaskan. Sementara itu, mengenai Bayu dan Ridho …. Mayang menghela napas panjang. Bayu dan Ridho meninggal karena serangan jantung. Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri saat kedua suaminya itu langsung memegangi dadanya dan seperti kesulitan bernapas sebelum mengembuskan napas terakhir mereka. Dan hal itu sudah dikuatkan oleh keterangan dari dokter yang langsung memeriksa jenazah kedua suaminya itu. Mereka berdua mengalami serangan jantung mendadak akibat penyumbatan pembuluh darah. Menurut dokter, ada kalanya seseorang tidak menyadari bahwa ia memiliki penyakit jantung bawaan, atau tidak sadar kalau kerja jantungnya mengalami gangguan. Mereka baru akan tahu saat terlibat dalam suatu aktifitas yang ‘tidak biasa’ atau ‘belum pernah’ mereka lakukan, atau melakukan olahraga yang terlalu berat bagi tubuh mereka. Dan Bayu serta Ridho memang kebetulan sama-sama meninggal setelah mereka melewati malam pertama mereka setelah menikah. Soal ini, Mayang juga sudah membaca berbagai literatur di dunia kesehatan yang membahas tentang itu. Dalam jurnal-jurnal kesehatan, tidak sedikit catatan tentang kasus kematian mendadak setelah melakukan hubungan suami istri. Di luar dari usia Bayu dan Ridho yang tergolong cukup muda untuk mengalami serangan jantung setelah melakukan hubungan intim, kasus seperti itu memang ada. Dan penjelasan dokter yang memeriksa jenazah kedua suaminya saat itu cukup dapat diterima dengan akal sehat oleh Mayang. Maka dari itu, saat ibunya menyampaikan cerita soal kutukan padanya tadi, Mayang benar-benar tidak bisa menerimanya. Mayang bukannya tidak terima bahwa dirinya dilarang untuk menikah lagi. Ia hanya merasa tidak bisa menerima sebuah teori yang tidak berdasarkan pada ilmu pengetahuan atau sains yang seperti itu. Tak bisa dibayangkannya bagaimana sebuah kutukan, yang entah bagaimana bentuknya, bisa ditempatkan di dalam tubuh seseorang, lalu kutukan itu digunakan tanpa sadar oleh orang yang menerima kutukan itu untuk menyebabkan kematian orang lain, tanpa harus menyerangnya secara langsung dan hanya memberikan efek serangan jantung. Benar-benar tidak bisa diterima oleh akal sehat. Yang lebih mengganggu pikiran Mayang saat ini justru adalah soal bapak. Baru sekali ini ibunya membicarakan soal bapak, meskipun hanya sekilas dan tidak dapat dilanjutkan entah untuk alasan apa. Sebelumnya, sejak dulu, bahkan untuk menyebutkan kata ‘Bapak’ saja sepertinya ibunya sangat antipati. Setiap ada pembicaraan yang melibatkan tentang keluarga dan membahas tentang peran seorang bapak, ibu Mayang selalu menghindarinya atau terang-terangan membelokkan pembicaraan. Tetapi tadi, ibunya bahkan mengatakan bahwa kutukan yang ada di dalam tubuhnya ini adalah karena bapak. Sayangnya, ibu tidak bisa melanjutkan pembahasan soal itu karena mungkin rasa bencinya pada bapak kembali muncul. Ibu Mayang masih menolak untuk mengatakan siapa namanya dan bahkan sampai mengatakan kalau bapak bukan manusia. Mayang mendesah pelan. Ia berpikir keras tentang apa yang sekiranya telah membuat ibunya sedemikian benci pada suaminya, bapak dari putrinya sendiri. Apakah bapak orang yang suka berbuat kasar pada istrinya? Apakah bapak tidak bertanggung jawab menafkahi keluarganya? Ataua apakah bapak berselingkuh dengan perempuan lain? Ingin rasanya Mayang melanjutkan pembahasan soal bapak seandainya ibu tadi tidak menghentikan kalimatnya sendiri. Ibu mengatakan bahwa beliau belum bisa menceritakannya. Mungkin apa yang dialami oleh ibu memang terasa sangat menyakitkan sampai-sampai ibu tak kuasa untuk menceritakannya pada Mayang. Atau mungkin … bapaklah yang telah menempatkan kutukan itu di tubuhku? Seperti yang ibu katakan tadi? Sibuk memikirkan hal itu, tanpa disadari Mayang pun terlelap dalam tidur nyenyaknya. Esok paginya, saat Mayang bangun dan sudah keluar dari kamar, ibu tampak biasa-biasa saja meskipun matanya terlihat sedikit sembab. Pakde dan bude juga tampak seperti biasa, meskipun Mayang bisa merasakan bahwa ibu pasti sudah bercerita kepada kedua kakaknya itu bahwa beliau sudah menyampaikan cerita soal kutukan itu kepada Mayang. Dan sepertinya ketiga orang tua itu juga sudah tahu kalau Mayang menolak untuk mempercayainya. Namun mereka tetap berusaha untuk bersikap biasa-biasa saja di depan Mayang dan tidak membahas apapun yang berhubungan dengan soal kutukan itu. Mereka sarapan pagi bersama dengan suasana santai dan hangat seperti biasanya. Ibu dan bude sudah menyiapkan nasi goreng telur dengan tambahan lauk tahu dan tempe goreng tepung. Mayang menyantap sarapannya dengan lahap sembari becerita tentang teman-teman kantornya. Pakde dan bude juga asyik bercerita tentang para tetangga dan hal-hal kecil yang terjadi di lingkungan mereka. Ibu tampak tidak terlalu banyak bicara, tapi tetap bersikap biasa saja. Mengambilkan makanan untuk Mayang dalam porsi banyak dan berpesan agar Mayang selalu menjaga kesehatan dan jangan terlambat makan meskipun sedang sibuk di kantor. Siang harinya, Mayang membantu ibu dan budenya membuat kue dengan resep baru yang didapatkan bude dari salah satu tetangga yang membuka usaha makanan kecil. Mereka sibuk berkutat di dapur mencoba resep baru tersebut. Suasana penuh tawa dan canda selama memasak membuat Mayang melupakan pembicaraannya dengan ibu semalam. Ibu Mayang juga sepertinya sudah memutuskan untuk tidak membahas lagi dan tidak memikirkan soal itu lagi, karena beliau sudah banyak bicara kembali dan bahkan ikut tertawa terbahak-bahak saat melihat hasil masakan pertama mereka gagal total gara-gara bude salah menakar salah satu bahan pembuat kue. Dan merekapun mengulang lagi pembuatan kue itu dengan lebih teliti agar tidak gagal lagi. Sore harinya, Mayang berpamitan pulang. Ibunya sudah siap dengan bungkusan besar berisi kue yang baru saja mereka buat siang tadi untuk dibawa pulang oleh Mayang. “Kamu … jadi mau cari kost, Mayang?” tanya ibu. Mayang mengangguk. “Jadi, Bu. Katanya Reindra sama Sarah mau bantuin cari kost besok pulang kantor.” “Kamu … nggak apa-apa tuh, menyerahkan kembali rumah yang sudah Bayu belikan untuk kamu ke keluarga Bayu?” tanya ibu. “Nggak apa-apa, Bu,” jawab Mayang, “Mayang malas ribut. Memang sih, rumah itu udah hak Mayang, karena Mas Bayu membelikan rumah itu sebelum menikah dan sudah dibalik nama dengan nama Mayang. Tapi yah, keluarga Mas Bayu berpendapat bawah dengan usia pernikahan kami yang hanya satu hari, Mayang nggak berhak untuk memiliki rumah itu. Yah, kecuali kalau Mayang punya anak dari Bayu.” “Kamu … udah cek ke dokter?” tanya ibu. “Kan ini baru empat puluh hari? Barangkali kamu ….” Mayang menggeleng sambil tersenyum. “Mayang nggak hamil, Bu. Ini aja Mayang baru datang bulan dua hari lalu. Makanya Mayang semakin mantap untuk mengembalikan aja rumah itu ke keluarga Mas Bayu.” Ibu tersenyum dan membelai lengan Mayang. “Ya sudah, kembalikan aja. Kamu toh nanti masih bisa cari tempat tinggal sendiri, kan?” Mayang mengangguk. “Iya, Bu. Mayang masih nabung, nih. Nanti kalau udah banyak, Mayang mau beli rumah yang bagus di Jakarta aja, biar dekat kantor. Nanti Ibu temenin Mayang tinggal di rumah baru, loh!” ucap Mayang pura-pura galak. Ibu terkekeh. “Iya, iya. Nanti ibu temenin,” ucap ibu lembut. “Kalau perlu, pakde dan bude juga ikut ke Jakarta,” lanjut Mayang. “Nah, kalu itu Ibu nggak yakin. Pakde dan budemu kayaknya udah cinta banget deh, sama Kota Bekasi. Pasti susah diajak move on,” jawab ibu Mayang dengan bahasa gaul yang membuat Mayang terkikik geli. Ibu Mayang yang memang selalu bersikap lemah lembut terhadap semua orang, tidak pernah memarahi Mayang sejak kecil. Selain memang Mayang bukan anak bandel yang sering berbuat kenakalan sehingga harus ditegur atau dimarahi, namun ibu Mayang memang termasuk tipe orang yang tidak suka mengumbar emosi. Maka dari itu, hasil yang tidak diharapkan dari pembicaraan semalam dengan putrinya itu pun, tidak membuat ibu Mayang marah. Ia bahkan bisa tetap berpikir positif dan menghargai keputusan anaknya yang memilih untuk tidak memercayai semua ceritanya tentang kutukan. Mayang pun yang sejak kecil dididik untuk berani bicara dan mempertahankan pendapatnya, menjadi berani berargumen dan menyatakan ketidakpercayaan pada kata-kata ibunya, meskipun semuanya itu disampaikannya dengan sopan dan tetap menghormati ibunya sebagai orang tua. Hal inilah yang membuat hubungan sepasang ibu dan anak itu tetap dekat dan penuh kasih sayang. “Ya udah, sekarang Mayang pulang dulu ya, Bu. Kalau kesorean nanti kereta apinya penuh. Kuenya bisa berantakan nih kalau berdesakan di dalam kereta,” ucap Mayang. “Aduh, iya! Jangan sampai berantakan, loh. Nanti bentuknya jadi jelek. Kamu kan, mau bagi-bagi ke temen-temen kantor kamu besok. Siapa tadi namanya?” tanya ibu berusaha mengingat nama teman-teman Mayang yang paling sering diceritakan oleh Mayang. “Sarah sama Reindra,” jawab Mayang, “tapi kalau mereka berdua sih, Ibu tenang aja. Waktu itu pernah Mayang bawain donat buat mereka setelah pulang dari ketemu klien. Nah, terus nggak sengaja kotak donatnya ketindihan buku-buku tebal sampai gepeng. Benar-benar gepeng sampai topping-toppingnya udah berantakan nggak jelas gitu. Tapi tetap aja kok, mereka makan sampai habis itu donat sekotak. Bahkan, pernah juga ada temen kantor yang bawain oleh-oleh kacang goreng dari Bali, tapi kacang gorengnya udah remuk gara-gara ketindihan koper. Eh, tetap aja loh, itu kacang ludes sama mereka berdua. Cara makannya langsung dituang ke mulut gitu dari plastiknya, Bu!” Ibu tertawa terbahak-bahak mendengar cerita Mayang. “Lucu banget sih temen-temen kamu itu,” komentar ibu. “Kapan-kapan ajak dong mereka main ke sini. Kayaknya rame, deh.” Mayang tertawa lebar. “Iya, Bu. Nanti kapan-kapan Mayang ajak mereka ke sini. Sekarang Mayang pulang dulu ya, Bu.” “Iya, Sayang. Hati-hati, ya,” ucap ibu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD