Mayang melangkah menuju ke dapur kecil yang terletak di sudut ruang keluarga lantai dua. Lantai marmer yang diinjaknya terasa sangat dingin hingga menembus sandal kamar yang ia kenakan di kakinya. Mayang merapatkan cardigannya untuk menahan udara dingin yang merembes masuk melalui kisi-kisi di dinding ruangan. Sampai di dapur, Mayang langsung mengambil gelas dan menghampiri dispenser yang terletak di sudut. Saat hendak mengisi air, Mayang mendengar suara itu lagi. Suara geraman di dalam mimpinya.
Mayang tersentak dan menoleh. Sesaat ia merasa seperti sedang bermimpi lagi, karena suara itu persis sama dengan yang ia dengar dari mimpinya. Suara itu seperti berasal dari luar jendela dapur. Tetapi dapur ini berada di lantai dua. Tidak mungkin ada binatang yang bisa menggeram di luar jendela lantai dua kecuali binatang tersebut bersayap. Tetapi binatang apa yang bersayap dan mengeluarkan bunyi geraman seperti itu?
Sebenarnya Mayang bukan perempuan yang penakut. Tetapi mimpi yang baru saja ia alami untuk yang kedua kalinya itu mau tidak mau membuatnya sedikit takut. Apalagi saat ini ia sedang berada di sebuah villa yang baru saja ia masuki untuk pertama kali. Seindah-indahnya bangunan ini, tetap saja asing baginya.
Suara geraman itu tidak terdengar lagi. Tetapi Mayang yakin akan pendengarannya barusan, dan ia juga yakin ia tidak sedang bermimpi. Kemudian Mayang mengendap mendekati jendela yang tertutup tirai putih berbunga itu. Tangannya terulur perlahan untuk meraih tepian tirai. Jantungnya berdegup kencang.
“Mayang?”
Mayang terlonjak kaget dan terpekik. Seketika lampu dapur menyala terang. Dan tampak sosok Dio berdiri di ambang pintu dapur, tangannya terulur ke sisi dinding untuk menyalakan tombol lampu.
Mayang mengembuskan napas dan terengah. Ia merasa dejavu, teringat hal yang pernah dialaminya mirip seperti ini juga dengan Dira, saat ia pertama kali bermalam di kamar kost barunya.
“Maaf, maaf, May! Kaget ya?” ucap Dio terburu-buru melihat Mayang yang tampak shock karena terkejut tadi.
“Huftt. Nggak apa-apa, Dio,” ucap Mayang sembari tersenyum lemah. “Untung aja gelasnya nggak jatuh.”
Dio menghampiri Mayang dan mengambil gelas di tangan Mayang. “Lo mau ambil minum, ya?”
“Iya,” jawab Mayang, memberikan gelas itu pada Dio untuk diisikan.
“Tapi kenapa lo tadi malah ke jendela situ?” tanya Dio sembari mengisi gelas itu.
“Eng … tadi itu gue denger ….” Mayang terhenti sesaat dan berpikir. Sepertinya akan sangat lucu sekali kalau ia mengatakan pada Dio bahwa ia tadi mendengar suara menggeram di luar jendela.
“Denger apa?” tanya Dio sambil memberikan gelasnya pada Mayang. “Nih, minum dulu.”
“Makasih,” ucap Mayang sembari menerima gelas itu dan kemudian meminum isinya sampai habis.
“Duduk dulu, May,” ucap Dio yang sedikit khawatir melihat Mayang yang seperti kebingungan.
Mayang kemudian duduk di salah satu kursi yang mengelilingi meja kecil yang berada di tengah ruang dapur.
“Tadi lo denger apa di luar sini?” tanya Dio sembari menghampiri jendela. Dan dengan sekali sentak, ia membuka tirai putih berbunga itu.
Mayang menjulurkan kepala, melirik dengan sedikit khawatir ke luar jendela, melewati bahu Dio. Tetapi tidak tampak apapun yang menyeramkan di luar sana. Hanya kegelapan malam dengan kerlap kerlip bintang di langit.
“Eng … itu … eheheh … mungkin gue masih kebawa mimpi gue tadi,” ucap Mayang salah tingkah. Suasana dapur yang kini terang benderang membuat dirinya merasa konyol karena telah ketakutan terhadap hal yang aneh tadi.
“Mimpi?” tanya Dio. Mayang mengangguk.
“Tunggu sebentar,” ucap Dio sambil menutup kembali tirai jendela itu lalu menghampiri salah satu laci kitchen set. Kemudian ia mengambil dua buah cangkir dari dalam laci lainnya dan mulai menyeduh teh. Sejenak kemudian ia sudah meletakkan kedua cangkir itu di atas meja di depan Mayang.
“Maaf yah, tadi gue ngagetin lo,” ucap Dio sambil duduk pada kursi di sebelah Mayang. “Tadi itu gue denger suara pintu kamar lo dibuka, jadi gue ikut keluar, mau lihat barangkali lo atau Sarah perlu sesuatu.”
“Iya, gue tadi kebangun, terus haus. Makanya ke dapur,” ucap Mayang.
“Lo habis mimpi buruk, ya? Nih, diminum dulu tehnya. Ini teh jasmine, bisa menenangkan pikiran,” ucap Dio sambil menyorongkan satu cangkir ke depan Mayang.
“Makasih,” ucap Mayang lagi. Ia sekarang jadi merasa tidak enak karena Dio menjadi harus direpotkan olehnya.
“Kalau udah tenang, coba ceritain ke gue. Tadi lo dengar suara apa di luar jendela, terus lo habis mimpi apa tadi,” ujar Dio.
Mayang berpikir sesaat, masih ragu harus bercerita sejauh mana pada Dio.
“Tenang aja, kalaupun mimpi lo aneh, nggak bakal gue ketawain, kok,” ucap Dio sambil tersenyum.
Mayang tertawa kecil mendengar ucapan Dio yang terdengar santai itu. Membuat dirinya semakin yakin untuk menceritakannya saja pada Dio.
“Tadi itu, waktu gue baru mau ambil minum di dispenser, gue denger suara menggeram. Di luar jendela situ,” ucap Mayang sembari menunjuk ke luar jendela.
“Menggeram?” Dio ikut menoleh ke arah jendela itu dengan dahi berkerut.
“Aneh memang. Ini kan lantai dua. Jadi nggak mungkin ada binatang di luar jendela itu, kecuali binatangnya terbang. Dan ternyata memang nggak ada apa-apa kan, waktu lo buka jendela itu tadi,” ucap Mayang. “Makanya gue rasa, gue salah dengar. Atau gue masih terbawa mimpi gue tadi.”
“Mimpi lo tentang apa, sih?” tanya Dio. “Mau cerita?”
Akhirnya Mayang memutuskan untuk menceritakannya saja pada Dio.
“Sebentar,” ucap Dio. “Lo mulai mimpi seperti itu baru sejak pindah ke kamar kost yang baru itu? Yang deket Kafe Daun, kan?”
“Iya,” jawab Mayang. “Pas malam pertama gue tidur di kamar itu.”
“Setelah itu nggak pernah lagi?” tanya Dio.
"Nggak." Mayang menggeleng. “Yang gue heran itu, mimpinya terasa nyata banget, Dio. Gue bisa ngerasain tanah yang kering dan kasar di telapak kaki gue. Gue juga bisa meraba rumput-rumput di bawah kaki gue yang terasa tajam bagian pinggirnya. Dan gue bahkan bisa mencium bau hutan di sekitar gue. Tau kan, bau khas daun-daun dan pepohonan kalau kita masuk ke area kayak hutan gitu?”
“Iya,” sahut Dio mengangguk. “Terus … lo juga denger suara gamelan, kan”
Mayang mengangguk. “Suara gamelannya tuh, bukan berupa sebuah lagu. Tapi cuma kayak dipukul-pukul asal-asalan aja, gitu. Tapi kontinyu, terus-terusan.”
Dio terdiam sesaat. “Lo juga bisa mengontrol mimpi lo, ya?” tanya Dio.
“Maksudnya?” tanya Mayang tak mengerti.
“Iya, di dalam mimpi itu, lo bisa nentuin lo mau pergi ke arah mana. Dan bisa memilih mau ngapain. Intinya, di dalam mimpi itu lo bisa berpikir dan menyadari bahwa lo sedang bermimpi. Iya, kan?” tanya Dio.
“Ooh, iya bener. Gue bisa sadar kalau gue itu lagi di alam mimpi,” ucap Mayang.
“Hmm … kalau gitu, mungkin lo itu lagi ngalamin lucid dream, May,” ucap Dio.
“Hah? Lucid dream?” tanya Mayang. Dahinya berkerut memikirkan istilah yang sepertinya dikenalnya itu.
“Iya. Lucid dream itu artinya ‘mimpi sadar’. Hal yang bisa dialami oleh siapa aja. Katanya sih, semua manusia pasti pernah mengalami lucid dream meskipun hanya sekali seumur hidupnya, dan biasanya orang nggak tau bahwa apa yang ia alami itu namanya lucid dream,” ucap Dio.
“Ooh … gitu, ya. Kayaknya gue juga pernah baca soal itu, tapi udah lama,” ucap Mayang sembari mengingat-ingat tentang hal itu.
“Nah, jadi jawaban atas kenapa lo bisa merasakan sesuatu dengan panca indera di dalam mimpi aneh lo itu, dan kenapa lo bisa berpikir jernih saat sedang bermimpi, itu karena yang lo alami itu adalah sebuah lucid dream. Jadi, lo mimpi, tapi mimpinya bisa lo kontrol. Tapi, mengenai suara geraman yang lo denger di luar jendela dapur tadi itu, masih misteri,” ucap Dio sembari kembali mengamati jendela dapur villanya sendiri.
Mayang terdiam sesaat, berusaha mengingat kembali suara geraman yang ia dengar tadi. Sampai detik ini ia masih merasa yakin kalau tadi ia tidak sedang berhalusinasi. Ia yakin ia benar-benar mendengarnya.
“Lo pernah jalan-jalan ke hutan nggak, May? Terus tersesat, gitu?” tanya Dio, mencoba menganalisa arti mimpi Mayang.
Mayang menggeleng. “Tempat yang pernah gue masuki yang mirip-mirip hutan itu cuma ... Kebun Raya Bogor. Dan itu hutannya sangat berbeda. Pohon-pohonnya beda, suasananya juga beda,” jawab Mayang.
Dio berpikir sejenak. “Kalau suara gamelan? Ada keluarga lo yang suka dengerin musik gamelan mungkin di rumah, sehingga tanpa sadar terekam di dalam otak lo?” tanya Dio lagi.
Mayang kembali menggeleng. “Nggak tuh, nggak ada,” ucapnya.
“Lo pernah dikejar anjing, nggak? Atau binatang apa gitu yang matanya merah?” tanya Dio.
Mayang kembali menggeleng. “Nggak pernah juga,” jawabnya.
“Hmm. Hutan, malam hari, jalan setapak, tanah berbatu, pepohonan, semak-semak, suara menggeram, mata merah ….” Dio berusaha merunut semua bagian dari mimpi Mayang sembari memikirkan perkiraanteori mengapa Mayang mengalami mimpi berulang tentang tempat dan hal-hal tersebut dalam bentuk lucid dream.
“Ngomong-ngomong ….” gumam Mayang dengan suara rendah, “villa lo ini … aman, kan, Dio?”
Dio menoleh ke arah Mayang. “Maksud lo …?” tanya Dio juga dengan nada rendah.
“Ng … nggak serem, gitu …?” tanya Mayang setengah berbisik.
“Mm … gue kurang tau juga. Kan … gue jarang nginap di sini ….” jawab Dio ragu.
“Tapi selama lo nginap di sini, pernah denger yang aneh-aneh, nggak …?” tanya Mayang.
Dio menggeleng.
"Tapi … yang tadi lo denger itu apa, ya?” Dio bertanya balik pada Mayang. Keduanya bertatapan sesaat.
Dan tiba-tiba terdengar suara.